Sebahagian tulisan ini, saya kutip dari tulisan saya sendiri di Kompasiana. Saya mencoba melihat masalah Palestina sekarang sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Penduduk Palestina yang terdiri dari kelompok Islam dan Kristen, dulu memiliki wilayah yang sangat luas. Memiliki penduduk, bahkan sekarang memiliki Duta Besarnya di beberapa negara, termasuk di Indonesia.
Tetapi secara Hukum Internasional baru diakui secara fakta, "de facto," belum secara hukum, "de jure." Negara besar ini belum mengakui, terutama Amerika Serikat (AS). Bahkan AS sekarang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, sehingga memunculkan gejolak, khususnya dari rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
[irp posts="5461" name="Donald Trump Cemas atas Bersatunya Fatah dan Hamas"]
Ada yang menyerukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus bertindak. Apa yang bisa dilakukan badan dunia itu? Jika AS memboikot iuran terbesarnya untuk PBB, saya kira badan dunia itu kelimpungan. Belum lagi kalau kita bicara masalahnya sudah sampai ke Dewan Keamanan PBB, sudah pasti AS akan menggunakan hak vetonya.
Setelah Perang Dunia II, negara pemenang perang, AS, Inggris, Perancis, Rusia dan RRC diberi hak istimewa untuk memiliki "hak veto." Saya pernah berseloroh, ya, untuk menghapus "hak veto," harus ada Perang Dunia III. Boleh jadi Indonesia menang perang juga, saya berkali-kali membaca kekuatan militer kita di dunia cukup diperhitungkan.
Empat tahun yang lalu, saya membaca komunike pertemuan puncak para pemimpin kelompok G-77, di Santa Cruz, Bolivia dan melihat foto Presiden Bolivia Evo Morales yang dengan tegasnya mengkritik tatanan dunia. Saya terharu dan bangga karena masih ada pemimpin negara Dunia Ketiga membicarakan masalah tatanan dunia.
Langsung saya berimijinasi seandainya saja Presiden Pertama RI Soekarno masih hidup, maka saya bisa melihat dua pemimpin negara itu berfoto berdampingan, karena Indonesia sudah lama menggagas tatanan dunia yang diberi nama Tatanan Dunia Baru ini ketika Bung Karno berpidato di Perserikatan Bangsa-bangsa.
Evo Morales menghendaki agar Dana Moneter Internasional (IMF) diubah tatanan keuangannya. Menurut saya hal ini sangat menarik, karena bantuan IMF bukannya menambah kesejahteraan rakyat suatu bangsa tetapi lebih menyengsarakan rakyat yang memang sejak awal sudah miskin. Bahkan IMF memperlihatkan keangkuhannya terhadap Dunia Ketiga dengan meminjamkan dana. Lembaga ini bisa saja mendikte kemauannya terhadap negara yang sedang dilanda masalah.
[caption id="attachment_6295" align="alignleft" width="449"] Camdessus dan Soeharto[/caption]
Contohnya Indonesia. Pernahkah kita melihat foto ketika Direktur IMF Michael Camdessus melipat tangannya dengan angkuh, sementara Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intend (LoI) pada 15 Januari 1998 di Jakarta?
Marahkah bangsa Indonesia? Tidak, karena kita butuh dana pinjaman dari IMF. Kemudian pertanyaan selanjutnya, apa syarat pokok pinjaman itu. Mengagetkan. Pemerintah Indonesia tidak dibenarkan menyalurkan dana satu sen dollar pun kepada Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Pemerintah Indonesia waktu itu memang butuh dana. Akhirnya keluarlah Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1998 tertanggal 21 Januari 1998. Isinya , menghentikan pemberian bantuan keuangan kepada PT IPTN dan menghentikan pemberian fasilitas kredit yang dijamin Pemerintah kepada IPTN.
Kalau kita kembali berpikir ke belakang, IPTN itu menjadi Pusat Unggulan Teknologi yang dibanggakan Indonesia pada waktu itu. Terlepas ada yang bilang, IPTN terlalu boros. Akhirnya, IPTN ambruk karena tidak ada dana. Cita-cita bangsa untuk memproduksi pesawat terbang sendiri gagal. Intinya terpaksa beli dari luar negeri, termasuk Pesawat Kepresidenan, yang kalau tidak salah dibeli dari Amerika Serikat.
Pernyataan Evo Morales kedua, bubarkan Dewan Keamanan PBB. Seperti diketahui Indonesia pernah juga keluar dari keanggotaan PBB karena Bung Karno mengkritik ketidak adilan Badan Dunia tersebut. Ketidakadilan itu nyata terlihat ketika Irak diinvasi oleh Amerika Serikat dan Sekutunya. Pada waktu itu, PBB yang dimotori Amerika Serikat (Badan Dunia ini sangat tergantung dana dari AS karena negara Paman Sam ini memberi sumbangan terbesar kepada PBB) mengecam masuknya Irak ke Kuwait.
[irp posts="6103" name="Peta Koalisi Perang Dunia III Bisa Dimulai oleh Tindakan Trump"]
Pada waktu ini sebahagian pengamat menganggap Badan Dunia tidak adil. Bahkan ada yang mengatakan PBB waktu itu perpanjangan tangan Amerika Serikat dan Sekutunya. Buktinya dapat dilihat dari keputusan-keputusan Dewan Keamanan yang waktunya sangat berdekatan, di samping tidak memberi kesempatan kepada Irak untuk membela diri.
Ketika Irak memasuki wilayah Kuwait pada hari itu juga Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No.660, yaitu berisi hukuman terhadap Irak karena menyerbu Kuwait. Sebelum Irak menjalankan Resolusi Dewan Keamanan itu muncul lagi Resolusi No.661 yang dikeluarkan tanggal 6 Agustus 1990. Lihat waktunya sangat berdekatan, karena Irak memasuki wilayah Kuwait pada tanggal 2 Agustus 1990.
Isi Resolusi terakhir ini tentang embargo perdagangan. Hal ini menyakitkan rakyat Irak, sebagaimana dinyatakan Menlu Irak waktu itu bahwa ia tidak diberikan kesempatan untuk mempertahankan pendirian Irak. Bahkan juga tidak ditanyakan sikap Irak atau alasan apa menyerang Irak.
Kesimpulannya dengan embargo ini, rakyat Irak tambah menderita. Hal ini bisa dibaca sendiri bagaimana penderitaan rakyat selama Irak diembargo. Embargo ini tidak pernah dicabut hingga Amerika Serikat menginvasi Irak dan menggantung pemimpinnya yang sah, Saddam Hussein.
Oleh karena itu, meskipun kita tahu ucapan Evo Morales ini menghadapi benturan-benturan karena tidak mungkin terealisasi (Amerika Serikat memiliki hak Veto di Dewan Keamanan PBB. Rencana sebaik apa pun dari Dunia Ketiga, jika kelima negara tetap menggunakan hak vetonya, termasuk Amerika Serikat, keinginan itu gagal), saya bangga karena masih ada negara Dunia Ketiga berpihak kepada keadilan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews