Kejujuran dan Kepercayaan

Selasa, 19 Desember 2017 | 18:04 WIB
0
397
Kejujuran dan Kepercayaan

Tunggu dulu. Dua kata ini, yakni kejujuran dan kepercayaan, memang tampak terkait erat. Sekilas, orang akan mengira, bahwa tulisan ini akan mengajarkan hal-hal luhur terkait moralitas, yakni bahwa orang yang jujur akan mengundang kepercayaan. Saya tidak mau membahas soal itu.

Sejujurnya, dua hal ini, yakni kejujuran dan kepercayaan, bisa dilihat dengan cara berbeda. Keduanya saling bertentangan, bahkan meniadakan satu sama lain. Kejujuran terkait kebesaran hati seseorang untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya. Kepercayaan terkait dengan sikap keras kepala untuk yakin pada sesuatu yang sama sekali belum jelas.

Jika kita jujur, kita akan berkata, bahwa sesungguhnya kita tidak tahu apa-apa. Semua pengetahuan kita hanya merupakan perkiraan cerdas semata, tanpa ada unsur kepastian di dalamnya. Jika kita jujur dengan ini, maka kita bisa mulai belajar, dan melihat dunia dengan keterbukaan pikiran. Dunia lalu menjadi tempat yang penuh dengan pertanyaan menarik untuk dijawab.

Kepercayaan memiliki pola yang berbeda. Orang percaya cenderung tidak bertanya. Mereka menerima begitu saja apa kata orang, terutama orang-orang yang dianggap berpengaruh di lingkungan sosial mereka. Kepercayaan membuat pikiran dan pertanyaan menjadi beku.

Kejujuran mengakui, bahwa kita tidak tahu, merupakan awal dari pengetahuan. Inilah yang mendorong para filsuf pertama untuk memikirkan tentang alam dan kehidupan dengan akal budinya.

Inilah pula yang melahirkan ilmu pengetahuan maupun teknologi, sebagaimana kita nikmati sekarang. Seni dan kebudayaan agung juga lahir, ketika manusia mengakui secara jujur, bahwa ia tidak bisa tahu sepenuhnya tentang inti dari kehidupan ini.

Sebaliknya, kepercayaan adalah awal dari kesempitan berpikir. Ketika orang sudah percaya, ia tidak mau mendengar pandangan lain. Ia menjadi buta dan fanatik dengan pandangannya sendiri. Perilakunya menjadi kasar, diskriminatif dan memicu konflik maupun perang dengan orang lainnya yang berbeda pandangan.

Ketidaktahuan adalah kecerdasan alami manusia. Di dalamnya, ada peluang untuk memahami inti dari kehidupan alam semesta ini yang sesungguhnya. Ketidaktahuan menghasilkan kerendahan hati sekaligus rasa takjub terhadap segala yang ada. Ketidaktahuan yang jujur adalah dasar utama dari kebijaksanaan yang sejati.

Agama dan ideologi (seperti nasionalisme, komunisme, liberalisme dan isme-isme lainnya) seringkali berubah menjadi sebentuk kepercayaan buta yang membuat kita menjadi sempit dalam berpikir, dan kasar di dalam pergaulan dengan orang lain yang berbeda. Sebaliknya, ketidaktahuan menghasilkan kelembutan hati serta welas asih. Inti spiritualitas dan religiositas terdasar manusia terletak pada kerendahan hati di hadapan alam semesta yang tak pernah bisa sepenuhnya dipahami dengan akal budi. Disinilah segala sesuatu berawal, dan kembali nantinya.