Maling Teriak Maling

Minggu, 17 Desember 2017 | 10:29 WIB
0
343
Maling Teriak Maling

Di tengah frustrasi, kadang muncul kecurigaan. Jangan-jangan, brengseknya Indonesia ini, karena orang-orang yang ngerti hukum, justeru mempermain-mainkan hukum.

Padahal, hukum adalah tolok ukur, ketika kita berbusa-busa ngomong demokrasi, keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan berbagai sendi yang berkait hak azasi manusia, dalam sistem ketatanegaraan kita bernama Republik Indonesia.

[irp posts="1110" name="DKI Butuh Pemimpin Asketis, Bukan Kampanye Berlabel Agama"]

Lihat perdebatan hukum kita atas kasus Setya Novanto. Bukan hanya kelas mahasiswa atau sarjana S1 Hukum. Pun yang bergelar Master, Doktor, atau berpangkat Profesor, perbedaan pandang mereka bukan lagi soal teknis ataupun semantic, melainkan pada kepekaan mereka atas yang disebut keadilan. Sudut pandang mereka yang bertolak-belakang, dalam hal berkait nilai-nilai etik, hati nurani, dan keberpihakan pada yang lemah.

 

Di televisi, sering kita melihat orang pintar-pintar dalam hal hukum itu. Mereka yang makan sekolahan, bisa ngotot begitu rupa, dan senyampang itu tak bisa menutupi keberpihakannya pada sang penguasa, pada yang kaya, pada yang punya banyak pilihan, dan bahkan dalam ukuran subjektif kejengkelan masyarakat; berpihak pada yang lalim.

Sekaliannya, dalam hal itu, mereka menunjukkan ketidakpekaan atas jeritan hati-nurani rakyat, yang merasa terinjak hak-haknya, namun tak kuasa apa-apa. Tak ada yang bisa membaca hati-nurani rakyat.

Dimulai Reformasi 1998, kita melihat perubahan itu. Begitu banyak profesi atau pekerjaan ahli, masuk dalam pusaran perubahan. Hukum adalah salah-satunya. Namun hanya dipakai medianyas, sementara dalam manifestasinya lebih berwarna politik. Hukum sering menjadi alasan, baik bagi korban maupun sang penindas. Azas politiknya tetap yang dominan.

Bersamaan dengan itu, jika hukum dipakai sebagai legitimasi, dengan berbagai nilai dan kepentingannya, ada pula nilai lain; agama (atau yang disebut demikian). Kepolitikan Indonesia hari-hari ini, dibungkus hal tersebut. Hukum dan agama, seolah anak kembar, dan keduanya bertumpu pada claiming, yang bisa menisbikan apa saja, termasuk akal sehat. Padahal, konon, akal sehat mendekatkan pada setan. Sementara jika yang dekat pada agama bertindak seperti setan, kasihan setannya. Difitnah kanan-kiri.

[irp posts="5390" name="Manusia Lintas Agama"]

Tentu saja tak semua yang berlatar hukum, pintar hukum, adalah jelek. Tidak semua. Pasti ada yang tidak jelek. Sama seperti politik, dan juga di lapangan agama. Ada yang baik ada yang buruk. Itu artinya, hukum politik, juga agama, bukan jaminan untuk segalanya. Apalagi jaminan menjadi baik.

Claiming kebanyakan orang, jika sudah “demikian” maka “pasti demikian”. Padahal, fakta sering menunjuk, “tak selalu demikian”. Bukan status yang menentukan, namun bagaimana pikiran, ucapan, dan tindakkannya hari ini, dengan melihat latar-belakang dan berbagai implikasinya.

Tidaklah penting segala macam atribut, pakaian dan bendera-bendera itu. Karena ada maling teriak maling, ada polisi teriak maling. Ada pula maling ngaku polisi.

***