Di tengah frustrasi, kadang muncul kecurigaan. Jangan-jangan, brengseknya Indonesia ini, karena orang-orang yang ngerti hukum, justeru mempermain-mainkan hukum.
Padahal, hukum adalah tolok ukur, ketika kita berbusa-busa ngomong demokrasi, keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan berbagai sendi yang berkait hak azasi manusia, dalam sistem ketatanegaraan kita bernama Republik Indonesia.
[irp posts="1110" name="DKI Butuh Pemimpin Asketis, Bukan Kampanye Berlabel Agama"]
Lihat perdebatan hukum kita atas kasus Setya Novanto. Bukan hanya kelas mahasiswa atau sarjana S1 Hukum. Pun yang bergelar Master, Doktor, atau berpangkat Profesor, perbedaan pandang mereka bukan lagi soal teknis ataupun semantic, melainkan pada kepekaan mereka atas yang disebut keadilan. Sudut pandang mereka yang bertolak-belakang, dalam hal berkait nilai-nilai etik, hati nurani, dan keberpihakan pada yang lemah.
Di televisi, sering kita melihat orang pintar-pintar dalam hal hukum itu. Mereka yang makan sekolahan, bisa ngotot begitu rupa, dan senyampang itu tak bisa menutupi keberpihakannya pada sang penguasa, pada yang kaya, pada yang punya banyak pilihan, dan bahkan dalam ukuran subjektif kejengkelan masyarakat; berpihak pada yang lalim.
Sekaliannya, dalam hal itu, mereka menunjukkan ketidakpekaan atas jeritan hati-nurani rakyat, yang merasa terinjak hak-haknya, namun tak kuasa apa-apa. Tak ada yang bisa membaca hati-nurani rakyat.
Dimulai Reformasi 1998, kita melihat perubahan itu. Begitu banyak profesi atau pekerjaan ahli, masuk dalam pusaran perubahan. Hukum adalah salah-satunya. Namun hanya dipakai medianyas, sementara dalam manifestasinya lebih berwarna politik. Hukum sering menjadi alasan, baik bagi korban maupun sang penindas. Azas politiknya tetap yang dominan.
Bersamaan dengan itu, jika hukum dipakai sebagai legitimasi, dengan berbagai nilai dan kepentingannya, ada pula nilai lain; agama (atau yang disebut demikian). Kepolitikan Indonesia hari-hari ini, dibungkus hal tersebut. Hukum dan agama, seolah anak kembar, dan keduanya bertumpu pada claiming, yang bisa menisbikan apa saja, termasuk akal sehat. Padahal, konon, akal sehat mendekatkan pada setan. Sementara jika yang dekat pada agama bertindak seperti setan, kasihan setannya. Difitnah kanan-kiri.
[irp posts="5390" name="Manusia Lintas Agama"]
Tentu saja tak semua yang berlatar hukum, pintar hukum, adalah jelek. Tidak semua. Pasti ada yang tidak jelek. Sama seperti politik, dan juga di lapangan agama. Ada yang baik ada yang buruk. Itu artinya, hukum politik, juga agama, bukan jaminan untuk segalanya. Apalagi jaminan menjadi baik.
Claiming kebanyakan orang, jika sudah “demikian” maka “pasti demikian”. Padahal, fakta sering menunjuk, “tak selalu demikian”. Bukan status yang menentukan, namun bagaimana pikiran, ucapan, dan tindakkannya hari ini, dengan melihat latar-belakang dan berbagai implikasinya.
Tidaklah penting segala macam atribut, pakaian dan bendera-bendera itu. Karena ada maling teriak maling, ada polisi teriak maling. Ada pula maling ngaku polisi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews