Jangan Sampai Mantan KSAU Ini Menjadi Setya Novanto Jilid II

Jumat, 15 Desember 2017 | 20:31 WIB
0
397
Jangan Sampai Mantan KSAU Ini Menjadi Setya Novanto Jilid II

Kasus korupsi di Indonesia seolah tak pernah habisnya. Komisi Pemberantasan Korupsi pun dibuat repot oleh sejumlah oknum tersebut. Anehnya, kasus-kasus yang menyita perhatian publik itu dilakukan oleh orang-orang yang punya posisi strategis dalam pemerintahan.

Sebut saja kasus dugaan korupsi pembelian helikoper Agusta Westland AW101 yang disebut-sebut menjerat nama mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna beberapa waktu lalu, yang belum menemukan titik terang sebab KPK masih menyelesaikan kasus megaproyek KTP Elektronik.

Namun, dalam sejumlah media, sejak Jumat 15 Desember 2017 nama tersebut kembali menghiasi pemberitaan yang terkesan dramatis layaknya kasus mantan Ketua DPR Setya Novanto, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara itu untuk kedua kalinya tak memenuhi panggilan KPK sebagai saksi dalam kasus itu.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, ketidakhadiran Agus untuk menjadi saksi dalam kasus tersebut disampaikan oleh pengacaranya yang mendatangi KPK. Selain itu, kata Febri, pengacara Agus juga meminta KPK untuk melakukan penundaan pemeriksaan. "Alasan tidak hadir karena sedang berada di luar negeri," kata Febri saat dikonfirmasi.

Pengunduran pemeriksaan ini bukan baru terjadi kali ini saja. Agus tercatat sudah dua kali mangkir dari panggilan KPK. Sebelumnya pada 27 November 2017 Agus juga tidak hadir dan pada saat itu alasan Agus juga sedang berada di luar negeri.

Sedianya, Agus akan diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Irfan adalah pihak swasta yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka pengadaan helikopter AW101.

Sebelumnya, TNI telah menetapkan lima orang tersangka yakni Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas  Letkol administrasi WW.

Selain itu, TNI juga menetapkan staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB. Dari KPK, komisi antirasuah itu hanya menetapkan satu tersangka yaitu Irfan Kurnia Saleh.

Diketahui, dalam sejumlah media arus utama diberitakan adanya permasalahan penggelembungan dana dari pembelian helikopter tersebut. Kabarnya, pengadaan pesawat itu dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk Presiden dengan anggaran Rp 738 miliar.

Padahal, sebelumnya Presiden telah menolak pembelian helikopter tersebut. Namun, kemudian pesawat tersebut diketahui tetap dibeli dengan alasan yang ditolak itu VVIP. "Yang ditolak itu untuk VVIP. Ini untuk pasukan dan SAR tempur, sesuai kajian TNI AU," kata Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Agus Supriatna, Selasa 27 Desember 2016 sebagaimana dikutip dari Harian Kompas.

Padahal, sebelumnya Presiden Joko Widodo mengatakan PT Dirgantara Indonesia bisa menyediakan helikopter serupa. Presiden pun berkomitmen dan menegaskan bahwa pemerintah ingin memajukan pertahanan dalam negeri. "Sejak awal kalau dalam negeri bisa, ya dalam negeri. Kalau tidak, dari luar pun juga harus ada hitungannya, ada kalkulasinya," ujar Presiden.

Olehnya, dengan berbagai pertimbangan, Jokowi melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung memutuskan untuk tidak menyetujui pembelian helikopter tersebut. "Dengan mempertimbangkan berbagai masukan, Presiden memutuskan untuk tidak menyetujui pembelian helikopter AW 101," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis 3 Desember 2015 lalu.

***