Kasus korupsi di Indonesia seolah tak pernah habisnya. Komisi Pemberantasan Korupsi pun dibuat repot oleh sejumlah oknum tersebut. Anehnya, kasus-kasus yang menyita perhatian publik itu dilakukan oleh orang-orang yang punya posisi strategis dalam pemerintahan.
Sebut saja kasus dugaan korupsi pembelian helikoper Agusta Westland AW101 yang disebut-sebut menjerat nama mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna beberapa waktu lalu, yang belum menemukan titik terang sebab KPK masih menyelesaikan kasus megaproyek KTP Elektronik.
Namun, dalam sejumlah media, sejak Jumat 15 Desember 2017 nama tersebut kembali menghiasi pemberitaan yang terkesan dramatis layaknya kasus mantan Ketua DPR Setya Novanto, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara itu untuk kedua kalinya tak memenuhi panggilan KPK sebagai saksi dalam kasus itu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, ketidakhadiran Agus untuk menjadi saksi dalam kasus tersebut disampaikan oleh pengacaranya yang mendatangi KPK. Selain itu, kata Febri, pengacara Agus juga meminta KPK untuk melakukan penundaan pemeriksaan. "Alasan tidak hadir karena sedang berada di luar negeri," kata Febri saat dikonfirmasi.
Pengunduran pemeriksaan ini bukan baru terjadi kali ini saja. Agus tercatat sudah dua kali mangkir dari panggilan KPK. Sebelumnya pada 27 November 2017 Agus juga tidak hadir dan pada saat itu alasan Agus juga sedang berada di luar negeri.
Sedianya, Agus akan diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Irfan adalah pihak swasta yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka pengadaan helikopter AW101.
Sebelumnya, TNI telah menetapkan lima orang tersangka yakni Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.
Selain itu, TNI juga menetapkan staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB. Dari KPK, komisi antirasuah itu hanya menetapkan satu tersangka yaitu Irfan Kurnia Saleh.
Diketahui, dalam sejumlah media arus utama diberitakan adanya permasalahan penggelembungan dana dari pembelian helikopter tersebut. Kabarnya, pengadaan pesawat itu dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk Presiden dengan anggaran Rp 738 miliar.
Padahal, sebelumnya Presiden telah menolak pembelian helikopter tersebut. Namun, kemudian pesawat tersebut diketahui tetap dibeli dengan alasan yang ditolak itu VVIP. "Yang ditolak itu untuk VVIP. Ini untuk pasukan dan SAR tempur, sesuai kajian TNI AU," kata Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Agus Supriatna, Selasa 27 Desember 2016 sebagaimana dikutip dari Harian Kompas.
Padahal, sebelumnya Presiden Joko Widodo mengatakan PT Dirgantara Indonesia bisa menyediakan helikopter serupa. Presiden pun berkomitmen dan menegaskan bahwa pemerintah ingin memajukan pertahanan dalam negeri. "Sejak awal kalau dalam negeri bisa, ya dalam negeri. Kalau tidak, dari luar pun juga harus ada hitungannya, ada kalkulasinya," ujar Presiden.
Olehnya, dengan berbagai pertimbangan, Jokowi melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung memutuskan untuk tidak menyetujui pembelian helikopter tersebut. "Dengan mempertimbangkan berbagai masukan, Presiden memutuskan untuk tidak menyetujui pembelian helikopter AW 101," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis 3 Desember 2015 lalu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews