Kondisi perpolitikan internasional kini mulai cukup memanas, khususnya antara negara-negara Timur Tengah dan juga negara-negara lainnya, menyikapi pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat ke Jerussalem yang hanya memperkeruh penyelesaian konflik antara Palestina dengan Israel.
Pemindahan kedubes AS dari Tel Aviv nyatanya adalah sebuah wacana yang telah berlangsung sejak 22 tahun silam, yang dihasilkan dari kongres pada tahun 1995. Dan untuk tetap menempatkan kedutaan tetap berada di Tel Aviv nyatanya sejak dahulu penundaan pemindahan ini terus dilakukan sampai sekarang dengan adanya penandatanganan dokumen penundaan selama enam bulan sekali dan baru yang terakhir dilakukan oleh Trump pada bulan juni lalu yang kemudian akan ditinjau kembali pada Desember ini.
Dapat dilihat bahwa sejak isi kongres 1995 menjadi Hukum yang mengatur pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerussalem, dengan kata lain wacana-wacana pemindahan ini terus berlangsung dan digaungkan oleh para pemimpin AS setelah 1995, akan tetapi belum ada yang merasa berani untuk memindahkannya, terlihat dengan adanya penandatanganan dokumen penundaan yang dilakukan selama enam bulan sekali oleh pemerintah AS.
[caption id="attachment_5943" align="alignleft" width="536"] Donald Trump (Foto: CNN.com)[/caption]
Dikutip oleh salah satu situs berita Middleeasteye.net, "Adalah hukum AS untuk memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Jerusalem," kata Avni kepada MEE. "Sejumlah besar presiden Amerika, setelah berjanji dalam kampanye pemilihan mereka untuk melakukan ini, menunda terus menundanya selama enam bulan dan seterusnya."
Langkah yang digalangkan Trump mengindikasikan ada suatu tujuan tersembunyi di balik itu semua, sebab ketika banyak negara dari PBB yang di antaranya adalah Arab, Turki dan Eropa menyarankan agar AS tidak memindahkan kedutaannya ke Jerusalem, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan bahwa apa alasan Amerika masih nekat merencanakan pemindahan kedubesnya ke Jerusalem.
Jerusalem, atau setidaknya bagian barat kota tersebut, telah lama menjadi rumah bagi institusi pemerintahan Israel dan sudah lama Washington dan lainnya menganggapnya sebagai ibu kota yang berfungsi dengan menugaskan perwakilan di sana, kata Avni.
Pemindahan Kedubes oleh AS ke Jerusalem nyatanya juga mendapatkan berbagai tentangan dengan berbagai alasan yang mendasari pernnyataan tersebut di antaranya adalah:
1. Indonesia
Ketidaksetujuan ini disampaikan oleh wakil presiden RI Jusuf Kalla, yang dikutip oleh kontan.co.id. Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, selama ini Jerusalem merupakan bagian dari pengawasan internasional.
"Jadi, kita tak ingin AS seperti ini," katanya di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu, 6Desember 2017. Indonesia mendukung Palestina yang tak setuju Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel di Tel Aviv dipindahkan ke wilayah atau bagian dari negaranya. "Jelas posisi Pemerintah Indonesia sependapat mendukung Palestina agar Amerika Serikat tak memindahkan kedutaannya ke Yerusalem," kata Kalla.
[irp posts="5812" name="Status Jerusalem: Donald Trump Sedang Membuat Ribuan “Hot Spot”"]
Menurut Kalla, kondisi politik di Timur Tengah akan semakin rumit jika Amerika Serikat benar-benar memindahkan kedutaan besar mereka untuk Israel di Tel Aviv ke Jerusalem, Palestina. "Risikonya lebih ruwet politik di Timur Tengah. Sebab, sumber daripada banyak keruwetan itu, ya, konflik Palestina-Israel, akan lebih memperburuk," kata Kalla. Bahkan, usaha Amerika Serikat menengahi konflik berkepanjangan antara kedua negara, yakni Palestina-Israel, akan semakin sulit terwujud.
Kebijakan yang mengalami perubahan dari kebijakan yang dilakukan Amerika sebelumnya serta membalikkan preseden puluhan tahun lalu yang bertentangan dengan konsensus internasional.
2. Perancis
Disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Marc Ayrault, yang dimuat dalam Kompas.com menyebut rencana pemindahan kantor Kedubes AS ke Jerusalem sebagai 'provokasi'. Ayrault juga menyebutnya sebagai 'ancaman' terhadap upaya mewujudkan solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Berbicara pada akhir pertemuan perdamaian Timur Tengah di Paris, Minggu 15 Januari 2016, Ayrault mendesak Trump untuk tidak menerapkan rencana ini sebelum perundingan damai putaran baru disepakati. Ayrault menegaskan bahwa pemindahan Kedubes AS ke Jerusalem 'akan memicu gelombang kekerasan baru' di Timur Tengah.
Masyarakat internasional, termasuk AS, hanya mengakui Tel Aviv sebagai ibu kota Israel dan semua kantor kedutaan asing berada di kota ini. Namun pemerintah Israel telah menyatakan Jerusalem sebagai ibu kota mereka, yang mencakup Jerusalem Timur, yang ditetapkan Palestina sebagai ibu kota negara masa depan. Status Jerusalem adalah salah salah masalah paling kompleks dan paling sensitif dari keseluruhan konflik antara Israel dan Palestina.
3. Palestina
Dikutip oleh Kompas.com Presiden Otorita Palestina, Mahmoud Abbas, mengatakan, pemindahan Kedubes AS ke Jerusalem 'otomatis akan mematikan proses perdamaian dan menghapus peran AS sebagai penengah yang jujur'.
Keadaan yang sedemikian rupa tentunya akan memunculkan berbagai teori sebagai bentuk respon dari apa yang terjadi yang dimuat oleh sebuah situs middleeasteye.net, di antaranya:
Shibley Telhami, cendekiawan di balik jajak pendapat Brookings, memahami angka-angka itu. Sementara datanya menunjukkan bahwa Demokrat menolak perpindahan kedutaan, dan orang-orang Republik "terbagi rata" dalam masalah ini, Trump mungkin mengajukan banding ke konstituen yang lebih spesifik lagi.
Di antara orang-orang Kristen Evangelis, salah satu kelompok pro-Trump yang paling setia dari pemilih Amerika, sekitar 53 persen mendukung perpindahan kedutaan ke Jerusalem, sementara 40 persen menentang relokasi tersebut, kata Telhami.
Ada pendukung lain yang perlu dipertimbangkan. Pada bulan Maret 2016, Trump menjanjikan kepada Komite Urusan Publik Israel Amerika (AIPAC) sebuah lobi yang kuat bahwa dia akan "memindahkan kedutaan besar Amerika ke ibukota abadi orang-orang Yahudi, Jerusalem."
[irp posts="5461" name="Donald Trump Cemas atas Bersatunya Fatah dan Hamas"]
Janji Trump mendatangkan kompensasi berupa uang tunai. Anggota konglomerat perjudian Las Vegas, Sheldon Adelson, yang memberikan donasi multi juta dolar untuk kampanye pemilihan Trump, dilaporkan frustrasi karena tidak adanya kebijakan pro-Israel yang keluar dari West Wing kantor Presiden AS di Gedung Putih.
Pada akhirnya, kelompok kepentingan minoritas ini mungkin tidak terlalu banyak menggoyah Trump, tambah Telhami. "Tidak ada yang bernapas di lehernya (mengawasi secara ketat) secara politis," katanya pada MEE. "Siapa yang akan menjauh darinya dalam jangka pendek mengenai masalah ini? Tak seorang pun."
Trump bukanlah presiden AS pertama yang menyukai namanya dikaitkan dengan terobosan hubungan Israel-Arab, kesepakatan "penentu" perdamaian telah ditempuh oleh Bill Clinton, Jimmy Carter dan pelopor lainnya.
Tapi teknik negosiasi Trump seperti yang ditunjukkan oleh pendekatannya terhadap kesepakatan perdagangan dan transaksi properti masa lalunya melibatkan satu partai kuat yang memperburuk keadaan dengan para mitra negosiasinya untuk mendapatkan persyaratan yang menguntungkan baginya.
Dalam kasus ini, sebuah relokasi kedutaan yang diperdebatkan. Bersamaan dengan langkah untuk mengurangi dana PBB untuk rakyat Palestina dan untuk menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington, mungkin merupakan upaya untuk mendesak presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Menurut Josh Ruebner, seorang analis untuk US Campaign for Palestinian Rights. Kampanye AS untuk Hak-hak Palestina, pengumuman tersebut mungkin "merupakan bagian dari sikap untuk mengancam dan menekan orang-orang Palestina untuk menerima kesepakatan yang merugikan mereka" ketika Trump mengajukan proposal perdamaiannya, yang diharapkan akan dirilis awal tahun depan.
Interpretasi yang paling tidak menguntungkan dari langkah Trump adalah, bahwa rencana untuk memindahkan kedubes AS ke Jerusalem tidak berasal dari strategi yang meyakinkan sama sekali bahwa menantu laki-lakinya Jared Kushner, utusan Jason Greenblatt dan orang-orang lain di Timur Tengah benar-benar berat sebelah dan memihak Israel.
Para pendamping ini "benar-benar belum berpengalaman, hidup dalam tempurung" dan membawa Trump menyusuri jalan yang berbahaya, kata Telhami. Trump mungkin ingin melakukan kesepakatan damai, tapi sekarang dia menyadari akan butuh sangat banyak kerja keras, dan dia mencari jalan keluar.
Pemindaah kedutaan besar AS akan memicu kemarahan orang-orang Arab dan memaksa Abbas menjauh dari meja perundingan. "Tim Trump telah menyadari bahwa kesepakatan abad ini tidak dapat dicapai dan lebih baik menyalahkan orang lain daripada menyalahkan diri mereka sendiri," kata Telhami.
[irp posts="5376" name="Inilah Pidato 11 Menit Donald Trump Yang Bangkitkan Amarah Dunia!"]
Bagi Ruebner, kenyataannya masih suram. Kushner, Greenblatt dan teman-teman mereka di kabinet Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak pernah merencanakan untuk menawarkan kesepakatan realistis bagi Palestina.
"Terlepas dari janji-janji manis mereka untuk memberi solusi untuk kedua negara (Israel dan Palestina), semua secara ideologis berkomitmen pada Israel yang memegang kendali atas 100 persen negara Palestina yang bersejarah, tanpa mengakui hak nasional atau hak asasi manusia untuk rakyat Palestina," kata Ruebner kepada MEE.
Terlepas dari keseluruhan teori serta pendapat diatas, isu pemindahan kedutaan Amerika ke Jerusalem tentu merupakan hal yang menambah keruwetan di antara konflik Palestina dan Israel. Melihat status Jerusalem dari dulu hingga saat ini merupakan kasus yang sulit. Israel merebut Jerusalem Timur dalam perang 1967. Kemudian mencaploknya meskipun tanpa pengakuan masyarakat internasional.
Keputusan salah satu organisasi PBB (UNESCO) yang menyebutkan bahwa Jerusalem Timur merupakan bagian warisan budaya Palestina, yang membuat Perdana Menteri Israel mengecam organisasi tersebut. Isi daripada resolusi tersebut merujuk pada pendudukan Palestina dan bertujuan untuk menjaga kekhasan budaya Jerusalem Timur, teks tersebut juga mengatakan bahwa Israel merupakan penguasa penduduk dan yang menentang resolusi ini adalah Amerika Serikat.
[caption id="attachment_5489" align="alignright" width="530"]
Mesjid Al Aqsa (Foto: Amust.com.au)[/caption]Dan disini kalau saya penulis boleh berpendapat bahwa hal yang dilakukan Amerika Adalah salah satu bentuk "Politik Cuci Tangan".
Mengapa demikian? Sebab Amerika kian ngotot mengenai pemindahan kedutaannya ke Jerusalem yang notabene adalah daerah yang sedang bersengketa antara Palestina dan Israel, mau tidak mau ketika melihat sejarah konflik tersebut yang tak terlepas dari penggunaan berbagai persenjataan dan kekuatan militer, dan ketika terjadi konflik kembali maka tidak ada alasan bagi Amerika untuk mengangkat senjata dengan alasan keamanan daerah otonomnya di Jerusalem.
Sehingga, hal yang sedemikian rupa akan memancing dan mempengaruhi negara-negara di Timur Tengah dalam konflik tersebut sebab pada dasarnya sebuah konflik diakui atau tidak merupakan penghambat suatu kepentingan negara lain, dan manakala terjadi peperangan antara negara-negara sekitar maka Amerika akan lepas tangan sebab dengan alasan di atas tadi bahwa mereka hanya melindungi daerah otonomnya.
Dan ketika peperangan benar terjadi yang akan dipersalahkan adalah negara-negara yang berperang padahal realitasnya AS-lah yang memicu peperangan tersebut dalam arti pemindahan ini adalah bentuk politik cuci tangan dan adu domba. dan pada kenyataannya politik cuci tangan adalah cara efektif untuk melemahkan lawan politik tanpa menggunakan tangannya sebagai alat pelemah, dalam arti lebih pada memanfaatkan kelompok lain sebagai alat yang efektif.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews