Mohon maaf Bu Retno Marsudi. Sebetulnya, tidak enak mengatakan ini kepada Anda. Tetapi, lama-lama tak sabar juga melihat “the way you handle this Jerusalem crisis”. Tak sabar melihat cara Anda menangani krisis Jerusalem. Sejak langkah kasar yang dilakukan oleh Presiden Donald Trump terhadap Kota Suci Jerusalem, yang saya lihat Anda cuma menjelaskan jadwal perjalanan Anda ke berbagai negara.
Bu Retno, Anda itu menteri luar negeri. Anda adalah wajah Indonesia di pentas internasional. Dan, harap diingat, Anda mewakili negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Negara-negara muslim lainnya sedang menujukan pandangan mereka ke sini. Mereka ingin melihat bagaimana cara Anda menghadapi presiden Amerika Serikat (AS) yang paling berbahaya dalam sejarah negara adidaya itu.
Dunia muslim ingin memberikan “leading role” (peranan utama) kepada Indonesia. Sejauh ini, Menlu Retno sibuk menjelaskan jadwal pertemuannya dengan menlu itu, menlu ini, atau dengan kepala pemerintahan negara lain. Yang beliau sibukkan adalah menjelaskan, ”Saya akan terbang ke sana, terus ke sana, kemudian ke sana.” Itulah yang dikatakan Menlu setiap kali muncul di layar televisi.
[irp posts="5899" name="Politik Cuci Tangan Amerika Serikat"]
Padahal, bukan jadwal pertemuan Menlu Retno yang ingin diketahui oleh rakyat Indonesia. Orang menantikan bagaimana cara Menlu menghadapi permainan kasar Donald Trump ketika dia, dengan bahasa yang provokatif, mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel.
Kita bukan sedang menghadapi pemimpin AS yang memahami perasaan umat Islam. Kita sedang menghadapi Trump yang “reckless”, Trump yang semberono. Seharusnya Menlu Retno memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang seperti apa reaksi yang proporsional yang harus ditunjukkan oleh Indonesia. Apa sulitnya melihat dan menyimpulkan bahwa Trump bukan jenis orang yang pantas “diramahi”.
Kalau hanya mengatakan “Indonesia menentang keputusan AS yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel”, ini cuma wajar sebagai ‘muqaddimah’ saja. Pernyataan ini normatif sifatnya. Semua orang akan mengatakan itu. Indonesia tidak cukup bereaksi tumpul sepert ini. Negara ini perlu tampil ke depan dengan reaksi susulan yang lebih keras. Reaksi dengan ultimatum. Trump harus dikerasi.
Forget about your possible cozy relations with certain American diplomats, Madam Retno! Lupakanlah kalau ada hubungan yang menyenangkan bagi Anda dengan para diplomat Amerika, Bu Menlu.
Joseph Donovan (Dubes AS) saja mempermalukan Anda dan Pak Jokowi. Dia katakan bahwa Washington sudah berkonsultasi dengan Indonesia sebelum mengeluarkan pernyataan “back-stabbing” (tusuk dari belakang) tentang Jerusalem itu.
Apakah Bu Menlu masih harus menghormati Dubes Donovan? Saya kira sangat naif sekali. Dia mempermalukan Presiden Jokowi. Donovan mencoreng wajah Anda, Bu Menlu.
Jadi, bagaimana Indonesia seharusnya bersikap? Yang jelas, “soft diplomacy” bukan bahasa yang pantas untuk Trump. Sekali lagi, dia main kasar dalam masalah Jerusalem. Bukan hanya kasar, melainkan merendahkan kaum muslimin di seluruh dunia.
Paling sedikit Menlu Retno memanggil pulang Dubes RI di Washington, dan biarkan kosong KBRI di sana tanpa dubes selagi Trump tidak mencabut pengakuannya terhadap Jerusalem sebagai ibukota Israel. Bila perlu, biarkan kosong sampai masa jabatan Trump selesai.
Jadi, Ibu Menlu tidak cukup hanya memakai selendang Palestina ke mana-mana sebagai pertanda solidaritas. Apa artinya. Anda kira foto berselendang bendera Palestina dan disiarkan televisi bisa membuat Trump berubah?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews