AM Fatwa, Penandatangan "Petisi 50" Itu Telah Tiada

Kamis, 14 Desember 2017 | 10:46 WIB
0
467
AM Fatwa, Penandatangan "Petisi 50" Itu Telah Tiada

Jakarta menangis. Langit mendung sembari menandakan peristiwa duka, hari ini, Kamis, 14 Desember 2017, sekitar pukul 06.17 WIB, seorang aktivis menemui Sang Pencipta. Dia adalah Andi Mappetahang Fatwa, dikenal AM Fatwa. Politikus pemberani yang pernah disingkirkan Soeharto ini mengembuskan nafas di Rumah Sakit MMC, Jakarta Selatan.

Dian Islamiaty Fatwa Putri AM Fatwa, mengatakan bahwa "Telah meninggal dunia ayahanda AM Fatwa pukul 06.25 AM di Rumah Sakit MMC. Mohon dibukakan pintu maaf dan mudah-mudahan Ayah mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT".

Sakit menjadi jalan kepergian AM Fatwa, salah satu Deklarator Partai Amanat Nasional. Kabar duka ini mengejutkan semua orang. Kehilangan AM Fatwa disaat para penerus masih sulit mencapai titik perjuangan Fatwa. Meskipun AM Fatwa telah berjuang selama 78 tahun umurnya.

AM Fatwa lahir di Bone pada 12 Februari 1939. Keluarganya termasuk sederhana, walaupun tergolong keluarga Kerajaan Bone. Ia menjadi ikon perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru, sehingga sejak muda sering mendapat teror dan tindak kekerasan dari aparat intel kedua rezim otoriter tersebut, sampai keluar masuk rumah sakit dan penjara.

Dalam catatan Detik.com, kisah penyiksaan AM Fatwa terekam oleh C.W. Watson dalam bukunya, Of Self and Injustice: Autobiography and Repression in Modern Indonesia.

Kata Watson, "Ia dan beberapa orang lain dituduh menyusun kertas putih secara sembunyi-sembunyi mempertanyakan versi resmi Benny Moerdani tentang apa yang telah terjadi di Priok".

AM Fatwa menjelaskan terkait kisah penyiksaannya. Dia mengatakan bahwa penangkapannya atas perintah Benny Moerdani selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkomkamtib). "Perintah itu dari Pangkopkamtib. Saya yang ditangkap, lainnya diperiksa dan diinterogasi saja," kata Fatwa sebagaimana diwartakan media yang sama, Rabu 30 Agustus 2017.

AM Fatwa merupakan salah satu dari penandatangan "Petisi 50", sebuah dokumen yang mempertanyakan atau memprotes penggunaan falsafah negara Pancasila oleh Presiden Soeharto. Petisi ditandatangani oleh 50 orang dan diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta, berisi ungkapan keprihatinan.

Para tokoh terkemuka yang menandatangani Petisi 50 itu antara lain mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan gubernur  DKI Jakarta Ali SAdikin dan mantan Perdana Menteri Buhanuddin Harahap.

Dalam petisi itu, AM Fatwa dan kawan-kawan menyatakan bahwa Presiden Soeharto telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila, sehingga Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya adalah kritik terhadap ideologi negara Pancasila. Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya",  juga Soeharto menyetujui tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer di mana sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi.

Atas sikapnya yang keras ini, AM Fatwa harus mendekam di tahanan. Ia tetap menjadi tahanan politik Soeharto, tidak pernah melunak dan tidak pernah menyatakan menyerah.

Anies Bawesdan dalam Republika.com menilai, AM Fatwa adalah seorang pejuang tangguh sejak masa muda. Kata Anies, sejak dia kecil sudah bersahabat degan AM Fatwa. Karena Fatwa sering menginap di rumah Anies, jika ke Yogyakarta.

Sepengetahuan Anies, Saat itu almarhum sudah dikenal sebagai tokoh PII. Pengakuan Anis, (Sebelum meninggal) masih berjumpa dan berdiskusi. "Tiap berdiskusi beliau selalu bawa agenda tertulis dan selalu tuntas. Setiap ngobrol dengannya selalu terasa gelora semangat juang yang tinggi. Usia raganya adalah 78 tahun, tapi semangatnya tak pernah menua," kata dia.

Lalu apakah Anies Bawesdan siap meneruskan perjuangan AM Fatwa? Sang aktivis telah meninggal dunia. Kisah penyiksaan dalam berbagai catatan berita masih bisa dibaca. Namun, perjuangannya harus dilanjutkan. Melawan penindasaan, pelanggaran HAM dan mengontrol pemerintah yang pro rakyat.

***