Membaca Karakter Anies

Rabu, 13 Desember 2017 | 08:00 WIB
0
553
Membaca Karakter Anies

Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, seorang pemimpin yang reaktif.

Setelah kasus Bansos untuk Ormas, sekarang soal dana untuk Parpol. Ia tampak sedang borong besar-besaran. Katanya, karena anggaran DKI Jakarta besar. Iyalah. Semua cagub Jakarta tahu soal itu. Jangan kura-kura dalam tahu kotak, yang digoreng mendadak.

Kita tahu, tahun ini Pemda DKI berada di urutan 22 dalam Indeks Demokrasi Indonesia, setelah tahun-tahun sebelumnya selalu di atas. Dan Anies, juga Sandi, tampaknya sedang direpotkan persoalan memulihkan citra. Namun senyampang itu, pernyataan-pernyataan Anies sangat reaktif. Memang tak enak, ketika espekstasi publik tinggi, sementara popularitas dan kepercayaannya tak bisa melampaui Ahok (sekalipun sudah dipenjarakan).

[irp posts="5104" name="Elektabilitas Meroket, Anies Baswedan Punya Posisi Tawar Tinggi"]

Berkait dengan kedatangannya dalam reuni Alumni 212 di Monas 2 desember 2017 lalu, Anies juga memberi pernyataan bernada reaktif; Baginya masalah kebhinekaan adalah hal biasa. Meski di sisi lain ia mengajak masyarakat melihat kebhinekaan sebagai dasar berbangsa, namun pernyataannya soal kebhinekaan, menunjukkan ia sedang menafikan, atau setidaknya me-negasi, fakta sosial yang ada. Mirip omongan Fahri di ILC lalu soal reuni Alumni 212.

Bisa jadi ia sedang me-negasi apa yang dinyatakan Presiden pada peringatan Maulid Nabi di Istana Bogor (bahwa kita mesti mensyukuri kebhinekaan bangsa sebagai sesuatu yang penting). Sementara menurut Anies, itu biasa saja. Artinya, pernyataan Presiden tidak penting, karena lebih penting pernyataannya.

Negasi itu persis gaya retorika Fahri, bagaimana mereduksi kompetitor, untuk mengatakan sudut pandangnya lebih baik. Padahal, perspektif pribadi pejabat publik, bukan ukuran dalam menilai realitas sosial.

Mengapa komentar-komentarnya sering berisi negasi? Karena ia sedang bereaksi. Ada problem psikologi politik pada dirinya. Celakanya, cara berpikir dan bicara reaktif itu termanifestasikan dalam keputusan-keputusannya.

Itu semua menunjukkan tujuan bawah sadar yang sama, dan yang sebenarnya. Me-negasi atau mereduksi kompetiror adalah pilihannya. Mereka yang belajar retorika, ingin asal ngomong tapi terlihat santun, bisa belajar pada Anies. Dalam hal ini, Fahri masih kalah ahli, lebih-lebih Fadli, yang kurang begitu ahli. Karena kadang masih culun.

Jika kelak ia hendak belanja di tahun 2019, logikanya mulai sekarang memang harus membeli banyak. Kalau perlu borong habis. Toh duit DKI banyak.

Pandirnya Ahok saja, tak mau berkompromi dengan DPRD.

***