Tahun 2013, seperti dilaporkan Bloomberg 23 Februaru 2013, Amerika Serikat melalui Deplunya di Washington menyatakan organisasi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) di Indonesia pimpinan Abu Bakar Ba'asyir sebagai organisasi teroris. Tuduhannya, JAT ingin mendirikan negara Islam dan telah melakukan serangkaian kegiatan teror untuk mencapai tujuan itu kepada sipil, polisi dan tentara Indonesia. Oleh pernyataan ini, Pemerintahan Indonesia pun memberikan tanggapannya.
Menlu RI saat itu, Marty Natalegawa, segera menegaskan bahwa penetapan teroris di negara lain itu hak dan wewenang PBB bukan Amerika. Hak dan wewenang Amerika ya untuk kasus-kasus di Amerika saja, di negaranya sendiri. Amerika tidak punya wewenang mengeluarkan pernyataan resmi sebuah organisasi di luar AS teroris atau bukan.
"Penetapan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai organisasi terlarang oleh Departemen Luar Negeri dan Keuangan Amerika Serikat," kata Marty, "Hanya diperuntukkan di wilayah AS saja. Tingkat regional dan nasional ditentukan oleh negara bersangkutan. Sedangkan secara global melalui resolusi PBB."
Bersama Israel, beberapa tahun lalu, Amerika mengutik-ngutik Iran dan melobi dunia internasional untuk memberikan sanksi pada negara Mullah itu dan ternyata gagal. Indonesia pun tak luput dari campur tangannya. Selain klaim pada JAT sebagai kelompok teroris, Amerika telah bekerja sama dengan pemerintah SBY membentuk Densus 88 untuk memberantas terorisme di Indonesia.
Kini berbagai ormas dan elemen masyarakat, dari mahasiswa, Kontras, Muhammadiyah hingga Komnas HAM, menemukan kekejaman dan perilaku tak manusiawi tim Densus 88 dan menuntut dibubarkan tapi sampai sekarang masih dipertahankan.
Tentang Barat sendiri, sejarah malah mencatat sejumlah ironi. Amerika selalu merasa percaya diri dengan tuduhan-tuduhan teroris pada kelompok-kelompok yang mengancam kepentingan politik globalnya sementara tangannya sendiri berdarah-darah.
Dunia mengenal aksi teror legal (legal terrorism), sebuah terorisme yang dilakukan sebuah negara dan didukung oleh negara-negara lain dengan atau tanpa pengesahan PBB. Tujuannya menggempur sebuah kelompok ekstrem-radikal di kedaulatan negara lain atau menggulingkan pemerintahan yang dicapnya despotik-otoriter yang dianggap menindas hak-hak politik rakyatnya dan mengganggu kepentingan AS. Mayoritas korbannya adalah ribuan masyarakat sipil.
Ironisnya, terorisme ini dilakukan atas nama cita-cita luhur penegakkan demokrasi, penciptaan rasa aman atau bantuan stabilitas politik.
[caption id="attachment_5835" align="alignleft" width="480"] Tentara Perancis di Aljazair[/caption]
Sejarah modern mencatat, Amerika Serikat melalui standar gandanya, paling aktif melakukan terorisme legal ini dengan dukungan negara-negara lainnya seperti Inggris, Perancis dan Australia. Korbannya selain jatuhnya pemerintahan-pemerintahan negara lain, ambruknya kehidupan sosial dan infrastruktur masyarakat, seperti dialami Irak, juga tewasnya ribuan sipil tak berdosa.
Mengingat peran dan dominasinya, tentu saja Amerika adalah representasi Barat yang paling menonjol. Dan di atas panggung dunia, Barat paling banyak menorehkan aksi terorismenya. Dalam artikelnya, "My Brother from Bayan Olgii Mongolia," Erkebuan Makhambet mengutip ucapan seorang muallaf Jerman yang membandingkan terorisme yang dilakukan Barat dengan Islam melalui serangkaian pertanyaan:
"Siapa yang memulai Perang Dunia I? Muslims? Siapa yang memulai Perang Dunia II? Muslims? Siapa yang membunuh 20 juta orang Aborigin di Austrlia? Muslims? Siapakah yang menjatuhkan bom nuklir ke Hiroshima dan Nagasaki? Muslims? Siapa yang membunuh lebih dari 100 juta orang Indian di Amerika Utara? Muslims? Siapa yang membunuh lebih dari 50 juta orang Indian di Amerika Selatan? Muslims? Siapa yang menjadikan sekitar 180 juta orang Afrika menjadi budak dan 88% dari mereka tewas dan dibuang ke Samudra Atlantik? Muslims? Tidak, mereka bukan Muslim!! Pertama-tama, Anda harus mendefinisikan terorisme secara tepat ... banyak orang berfikir salah: “Jika non Muslim melakukan sebuah kejahatan, itu adalah kriminal. Tapi bila Muslim melakukan hal yang sama, mereka adalah teroris. Ini adalah pandangan Islamophobia! Jadi, pertama hilangkan dulu standar ganda ini kemudian fokuslah pada masalah!"
[caption id="attachment_5834" align="alignright" width="480"]
Invasi Italia ke Libya[/caption]Seorang politikus dari Partai Kristen-Demokrat (CDU) dan anggota parlemen Jerman, Jürgen Todenhöfer menulis buku bertajuk “Feinbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass” (Potret Buruk Islam – Sepuluh Tesis Anti Kebencian”), yang terbit di akhir tahun 2011. Dalam buku itu ia mengatakan:
"Barat jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab tewas sejak kolonialisme dimulai. Atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun. Atas nama kolonialisasi, Italia pernah menggunakan phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama kolonialisasi, Spanyol juga pernah menggunakan senjata kimia di Marokko. Tidak berbeda di era setelah perang dunia kedua. Dalam invansi perang Teluk kedua, semenjak tahun 2003, UNICEF menyebutkan, 1,5 juta penduduk sipil Irak terbunuh. Sepertiganya anak-anak. Tidak sedikit dari korban terkontaminasi amunisi uranium. Di Baghdad, hampir setiap rumah kehilangan satu anggota keluarganya. Sebaliknya, di dua abad terakhir, tidak satu pun negara Islam menyerang, mengintervensi, mengkolonialisasi Barat. Perbandingan jumlah korban mati (dunia Islam: dunia Barat) adalah 10:1. Problema besar dunia, di dua abad belakangan ini, bukan kebrutalan Islam, tapi kebrutalan beberapa negara-negara Barat."
Barat hampir tidak pernah introspkesi atas kasus ini semua. Tidak pernah ada klarifikasi resmi yang mengkonfirmasi dan menjelaskan fakta-fakta di atas. Dengan tangannya yang berlumuran darah, Barat dan Amerika tak henti mengkampanyekan perang terhadap terorisme yang sebenarnya dilakukannya sendiri.
Oxford Research Group (ORG) yang berbasis di kota London Inggris mengeluarkan kesimpulan analisanya terhadap perang anti terorisme yang digagas AS selama ini bahwa “perang terhadap terorisme yang dikomandani AS justru menyuburkan ancaman organisasi Al-Qaidah dan berbagai gerakan teroris lain di dunia.”
Kesimpulan ini diungkapkan oleh Paul Rogers, salah satu tokoh ORG. Ia mengatakan, “Semua indikator perang melawan terorisme, tidak memperoleh hasil apapun di Irak dan Afghanistan. Tapi hanya membunuh orang sipil, dan menangkap puluhan ribu orang lainnya tanpa proses pengadilan. Singkatnya, tidak ada yang dihasilkan dari perang melawan terorisme kecuali bencana belaka. ”
Menurut kajian yang dilakukan ORG dengan tajuk "Towards Sustainable Security – Alternatives to the War on Terror," disebutkan bahwa perang melawan terorisme yang dimulai sejak enam tahun lewat, telah gagal mencapai hasil yang diinginkan.
[caption id="attachment_5836" align="alignleft" width="500"]
Tentara AS di Irak[/caption]Amerika Serikat kini kembali membuat gaduh dunia melalui kekerasan simbolik yaitu penyataan Presiden paranoidnya Donald Trump yang menyatakan bahwa Jerusalem adalah ibukota milik Israel. Atas klaim ini, Hamas dan warga Palestina mengutuk dan siap perang mempertahankan Al-Quds dengan berkorban nyawa. Warga negara AS marah dan membenci Trump dan merusak barang apa saya yang disitu ada gambar wajah Trump. Warga dunia di berbagai negara pun protes atas klaim sepihak itu.
Trump merusak keamanan upaya perdamaian tiga kelompok agama Palestina: Yahudi, Kristen dan Islam. Pernyataan Trump tentu saja bisa memancing munculnya kembali terorisme yang sering dituduhkan kepada kelompok-kelompok Muslim padahal Trump sendirilah sebagai teroris yang menteror masyarakat dunia dan agama-agama dengan pernyataan menantangnya, tak peduli kelak Amerika akan menjadi sasaran amuk para teroris reaksioner yang korbannya adalah warga sipil dan warga sipil lagi yang tak berdosa.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews