Hidup di Jogja Memang Istimewa

Minggu, 10 Desember 2017 | 16:00 WIB
0
553
Hidup di Jogja Memang Istimewa

Sependek usia anak saya yang paling kecil, sejak tahun 2004 hidup di kota tua ini seolah memang tak berhenti mendapat ujian alami. Nyaris lengkap sudah, semua jenis bencana alam terjadi di kota kami. Tentu saja, skalanya tidak bisa dibilang kecil, bila ukurannya adalah korban jiwa dan material yang menyertainya.

Dulu sekali, seorang presenter tivi bermodal "lambe turah", yang sekarang "nyonthong" jadi tukang jualan apartemen, seolah kalau orang gak punya apartemen ndeso sekali, seolah orang yang gagal hidupnya dan gak paham investasi di hari gini, menyebut Jogja adalah sebuah "kota terkutuk", saking seringnya dilanda bencana.

Predikat yang bukan saja ngawur, tendensius, juga sarkastik. Karena alih-alih berempati karena sedang mengalami bencana ia malah memberi labeling yang sama sekali tanpa punya pemahaman yang baik tentang sejarah, geologis, apalagi akar sosio-kultural yang telah lama mengakar di kota ini.

Media, sebagaimana juga manusia yang menjadi konsumen-nya, seringkali gampang menyederhanakan masalah. Menganggap bencana alam adalah musibah, melulu musibah tanpa melihat hikmah dan nikmat yang kemudian menyertai setelahnya.

Sekali lagi sependek usia seorang ABG Jogja di zaman now, telah mengalami minimal tiga kali bencana besar.

Pertama di tahun 2006 lalu, ketika gempa bumi tektonik berskala 5,9 SR meluluhlantakkan separuh propinsi DIY. Kenapa hanya separuh, karena gempa yang berpusat di sekitar Pantai Parangtritis ini menyusur jalur tua sesar Sungai Opak yang ujungnya di daerah sekitar Klaten. Inilah jalur terparah, yang merenggut korban 6.234 jiwa meninggal dan belasan ribu rumah yang rusak parah.

Realitasnya Jogja bukanlah kawasan yang asing terhadap bencana ini, bahkan telah berulang kali mengalami. Monumen gempa terbaik di masa lalu, yang keberadaannya dipertahankan hingga saat ini adalah Kawasan Taman Sari di lingkungan Jeron Beteng Kraton.

Mulanya, tentu saja luas Taman Sari sebagai segaran atau bahasa kekiniannya Water Castle jauh lebih luas dibanding situs reruntuhannya saat ini. Ia mencakup kawasan Alun-alun Kidul yang barangkali di masa lalu belum "diadakan". Beberapa kali, ada "giant plan" untuk mengembalikan situs ini ke dalam bentuk aslinya semula, yang tentu saja akan dahsyat bila terwujud.

Namun realitasnya, ya tetap berhenti sebagai "reruntuhan", sisa-sisa yang justru dapat mensejajarkan Jogja dengan Roma atau Athena atau Aleppo atau Luxor yang memiliki situs serupa yang lebih memiliki arti arkeologis otentik berskala world heritage.

Kedua, bencana letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu. Lagi-lagi ini bukanlah yang pertama (dan tentu bukan yang terakhir), bila mengingat Merapi adalah salah satu gunung berapi paling aktif di dunia. Ia tampak gunung yang ramah dan indah ketika situasi normal, namun menjadi pemarah yang mengerikan sekedar bila terbatuk-batuk saja.

Dan mungkin kemarin itu adalah kemarahannya yang "puncak", hingga ia "tega" memakan korban bahkan pengasuh dan penjaganya sendiri, Mbah Maridjan. Sebagai bencana ia dipahami sekedar fenomena alam, tapi sebagai sebuah fenomena politis ia dianggap sebagai kemarahan alam terhadap Pemerintah Pusat yang dianggap tidak tahu terimakasih terhadap jasa-jasa Jogja di masa lalu.

[irp posts="4648" name="Setelah Walk Out" di Jakarta, Ananda Sukarlan "Walk In" di Jogja"]

Peristiwa ini terjadi ketika simbiosa Amien Rais dan SBY, mencoba mengutak-atik "keistimewaan" provinsi ini. Akibatnya rakyat bergerak, turun ke jalan, lalu rewo-rewo bersama-sama melakukan gerakan kultural sambil menyanyikan lagu "Jogja tetap Istimewa".

Dan bagian yang tak terduganya, ketika Undang-undang Keistimewaan itu disahkan, ternyata bonusnya adalah Dana Keistimewaan (Danais) yang konon bahkan bisa memberi gaji ribuan abdi dalem yang selama ini hanya ngabekten nyaris gratisan. Sisi baik lain, dari letusan itu muncul daerah wisata baru mobil-mobil off road untuk menyisir daerah yang pernah terdampak. Wisata bencana yang dulu hanya ejekan, sekarang jadi bisnis beneran!

Ketiga, mungkin banyak yang bilang seumur jadi manusia, baru kali ini Jogja mengalami banjir yang sungguh dahsyat. Hujan tiada henti selama tiga hari cukup membuat banyak kerusakan, walau kalau dihitung korban jiwanya masih cukup sedikit.

Suatu fenomena yang baru kali ini adalah munculnya Siklon Cempaka yang menyebabkan perubahan cuaca ekstrem. Siklon ini berpusat sekitar lepas pantai Pegunungan Seribu di sisi Selatan Pulau Jawa. Tidak mengherankan daerah terdampak terbesar terjadi di DIY, Wonogiri (Jateng) dan Pacitan (Jawa Timur).

[caption id="attachment_5553" align="alignleft" width="543"] Pantai Parangtritis (Foto: Indonesiaexplorer.net)[/caption]

Lalu sebuah media (yang bagi saya sangat bodoh) membuat judul berita: Tragis, Setelah Kekeringan, Gunung Kidul Mengalami Kebanjiran. Ini semacam analogi buat peribahasa "habis jatuh tertimpa tangga". Padahal banjir serupa akan terjadi di manapun, apabila intensitas hujan sedemikian tinggi yang menyebabkan debit air meningkat sedemikian tajam. Lagipula kemiskinan dan kekeringan di GK itu sekarang tinggal mitos. Alamnya sudah sangat hijau, masyarakatnya pun sudah jauh lebih makmur dibanding masa silam.

Lalu apa hubungannya dengan desas-desus di Jogja sendiri. Ini bertalian, dengan desakralisasi, semakin "tidak sakralnya" Laut Selatan saat ini. Gubernur Lama (yang dilantik kembali) dalam pidato pengukuhannya mencanangkan bahwa di masa datang Laut Selatan harus dijadikan gerbang depan bagi DIY.

Artinya, tak jauh darinya sedang dibangun bandara (yang mepet laut itu, sehingga sangat rawan tsunami) yang konon terbesar dan tercanggih se-Asia Tenggara. Yang lalu kemudian akan disusul pelabuhan laut modern pertama di provinsi ini. Rencana besar yang (sesungguhnya) tertunda nyaris 100 tahun!

Apakah ini pertanda alam telah mengingatkan "mbok aja, mbok jangan". Saya tentu saja tidak berhak (apalagi sok tahu) menjawab!

Saya hanya melihat Jogja kok kayak bersiap-seiap serius mau merdeka? Sehingga segalanya sesuatunya harus punya: bandara modern, pelabuhan modern, instalasi listrik terbarukan raksasa, fasilitas air bersih skala besar, jalur lintas selatan, dan lain-lain. Apa mumpung Pemerintah Indonesia mau membiayainya.

Apalagi konon suporternya malah yang (terus) mendesak-desak untuk ikut bergabung.

Halah!

***