Islam sebagai Tempat Duduk

Kamis, 7 Desember 2017 | 16:36 WIB
0
521
Islam sebagai Tempat Duduk

Pertanyaan dasarnya adalah mengapa Donald Trump akhirnya berani memutuskan untuk mengumukan pengakuan Pemerintah AS bahwa Jerusalem resmi sebagai Ibukota Israel. Ini bukan kejutan, karena sebelum resmi diumumkan kemarin Rabu, 6 Desember 2017 lalu, desas-desus itu sudah berembus sejak beberapa hari sebelumnya.

Artinya telah ada test the water, semacam uji reaksi publik terhadap kemungkinan reaksi terhadap wacana tersebut. Tanpa kita sadari, bahwa kondisi dunia Islam saat ini menurut saya berada pada titik nadir terendah. Perpecahan umat Islam, nyaris di seluruh penjuru sedang terjadi. Alih-alih melawan apa yang disebut "musuh Islam", itu pun kalau ada, mereka cenderung saling memusuhi umat Islam yang lainnya.

Hal ini tentu merupakan tahap lebih lanjut, dari apa yang telah lama terjadi sebelumnya. Faksional, sektarianisme, dan mahzabisasi dalam apa yang disebut "umat Islam" mengkristal menjadi batu. Saling mengeras, saling menghujat, dan seolah semua memiliki tempat duduk sendiri-sendiri.

Dan itu adalah kursi, yang hanya diduduki sendiri-sendiri. Bukan bangku panjang yang bisa memuat lebih banyak, atau bahkan lantai yang bisa jadi ruang diskusi memuat jauh lebih banyak tempat duduk lagi.

Dalam hal ini, saya kok merasa dalamnya makna Ayat Kursi itu. Kenapa itu harus ada dan dibacakan di setiap kali di rumah atau di mana pun kita berada. Bahwa pada dasarnya kita harus saling berbagi dan hormat menghormati. Mengakui eksistensi satu sama lainnnya. Persamaan dan kesetaraan.

[irp posts="5110" name="Akui Jerusalem sebagai Ibukota Israel, Trump Picu Perang Dunia III"]

Coba kita lihat, apa yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Di Mesir, kelompok teroris yang diduga berafiliasi dengan ISIS dengan penuh tega membunuhi para sufi yang sedang melakukan sholat Jumat. Mereka tanpa malu, tidak sekedar melakukan bom bunuh diri di dalam masjid, tetapi memberondong jemaah yang berlarian keluar dari masjid. Tak sampai di situ, mereka pun menembaki ambulans yang datang untuk menolong. Setelah itu secara pengecut kabur, ke daerah terpencil.

Di Yaman, kelompok Houti yang disinyalir mendapat dukungan Iran yang syiah, berhasil menguasai ibukota Yaman, Sanaa. Mereka berhasil mengusir dan kemudian disinyalir berhasil membunuh Presiden Ali Abdullah Saleh yang didukung habis-habisan oleh Kerajaan Saudi.

Ini merupakan babak baru setelah krisis selama tiga dekade di negara yang dianggap paling miskin di Jazirah Arab itu. Walau jangan salah, bahwa ia bersama Syria dan Irak, Yaman disebut sebagai tumbuh kembang terbaik pada Islam yang lebih rahmatan lil alamin. Negeri akhir zaman, di mana menurut Rasullulah di sinilah berkumpulnya pasukan yang sangat kuat bagi kaum muslimin di akhir zaman.

Sayang di ketiga titik inilah, Islam justru mengalami porak poranda. Semua sedang berebut kursi, tak jelas siapa yang sesungguhnya benar atau salah.

Tak elok jika tak menyebut kondisi di dalam negeri, yang sebenarnya tak beda jauh dengan nyaris di banyak negeri yang mayoritas warganya beragama Islam. Baru di hari Sabtu yang lalu diadakan sebuah demo absurd yang disebut Reuni 212. Untuk apa? Tak jelas benar, pokoknya waton ngumpul dengan menabrak aturan sana-sini. Yang paling menyedihkan, bila ada yang berkomentar ini adalah kelompok yang "suka pamer ibadah di jalanan, tetapi tidur lelap di tempat ibadah".

Setahun sbelumnya, mereka mengadakan demo yang kelak akan dicatat sejarah, sebagai momen yang akan menempatkan Jakarta sebagai kota yang tidak saja berhasil merisak dirinya sendiri, tetapi menularkan sakit serupa pada kota-kota lain. Penyakit yang harus ditanggung bersama orang Indonesia yang sebelumnya sangat menjunjung tinggi toleransi dan tenggang rasa.

Saat ini, sepengamatan saya di daerah-daerah sudah mengalami paranoid, bahwa penyakit yang sama akan hadir di kota mereka. Bagi pendukungnya tentu ini kbar baik, tapi bagi "mayoritas" yang selama ini diam tentu merupakan ancaman kenyamanan hidup yang tak terperi.

Dan, pertunjukan pertarungan yang absurd Selasa malam lalu dipertunjukan oleh sebuah diskusi di sebuah televisi swasta. Saya tidak menonton, karena memang tidak pernah teratrik. Bagi saya itu bukan pendidikan politik, itu hanya entertainment biasa yang tak lebih cuma "rating hunter".

[irp posts="5005" name="Reuni Akbar Aksi 212 Panggung Besar untuk Anies Baswedan"]

Lepas apa isi diskusinya, yang pasti menyebalkan, mengundang pesimisme, dan karenanya pasti tak banyak manfaatnya. Kecuali bagi pemilik televisi dan host-nya yang past kebanjiran iklan. Saya hanya menganjurkan untuk sedikit kristis bagi para suporternya. Mereka ini, para selebritis yang diberi panggung bodohnya Karni Ilyas, setelah usai acara mereka saling berfoto selfie bersama. Dan, bodohnya dipamerkan di sosmed, mempamerkan kedunguan hakiki mereka.

Mereka bukan saja, telah memecah belah umat, memanipulasi sedemikian rupa, tetapi terutama menipu dan membodohi publik. Semua mereka itu, sesungguhnya para aktivis sosmed yang sedang memperjuangkan dirinya sendiri. Sedang memperjuangkan kursinya masing-masing. Dan, itu terjadi di sekujur tubuh apa yang saat ini disebut "umat Islam".

Mereka telah menyia-nyiakan momentum yang sebenarnya mereka miliki, setelah komunisme mati, lalu kapitalisme dianggap gagal. Ketika dunia merindukan spiritualitas baru sebagai alternatif. Sayangnya mereka lebih suka gerak-gerik di wilayah internal: di mulai dari membungkam dan membunuh saudara mereka sendiri. Bukan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Semoga mereka segera menyadari, bahwa Trump sedang menertawakan dan mengencingi mereka, menjadikan mereka tak lebih robot yang dikendalikan remote control. Mereka ini, buih yang sedang dipermainkan ombak besar, tak sadar hanya dengan sekali sapuan lenyap tak berbentuk.

Tentu karena mereka tak sadar, sedang duduk atas di kursi yang sangat rapuh, ang mereka perebutkan dengan cara saling merendahkan saudaranya sendiri!

***