Tiongkok Terapkan Hukum Mati, Indonesia "Surga" bagi Para Koruptor

Rabu, 15 November 2017 | 05:51 WIB
0
558
Tiongkok Terapkan Hukum Mati, Indonesia "Surga" bagi Para Koruptor

“Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan 1 untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi”.

Kalimat di atas adalah sebuah hukuman berat yang diberikan seorang presiden bagi dirinya sendiri dan pejabat negara. Korupsi yang begitu menjamur menjadi “Pekerjaan” berat bagi lembaga antirasuah untuk melakukan penyelenggaraan pemberantas korupsi. Tak ayal, para pimpinan anti korupsi pun dibuat “Kapok” dan “Kelimpungan” untuk menangkap kuruptor yang sudah nyata melakukan penggelapan uang negara.

Di Indonesia, kasus korupsi yang menimpa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang juga ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto adalah salah satu kasus paling mutakhir yang menyedot perhatian banyak kalangan. Sebab, kasus tersebut disebut-sebut sebagai kasus yang akan menemui banyak jalan terjal dikarenakan Setnov yang "banyak akalnya" selalu berhasil lepas dari jerat hukum yang menimpanya.

Dalam berbagai media, lepasnya jerat hukum KPK terhadap Setnov, demikian biasa media menyebut, sebagai salah satu bentuk pemberedelan fungsi anti korupsi KPK secara tidak langsung. KPK akan dianggap tidak kompeten dalam menangani kasus korupsi besar yang menimpa Setnov. Padahal, sebagaimana diketauhi, banyak kasus besar lainnya yang telah berhasil diungkap KPK.

Sebut seperti Irjen Djoko Susilo, Luthfi Hassan Ishaaq, Rudi Rubiandini, Ratu Atut Chosiyah, Ratu Atut Chosiyah, Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Urip Tri Gunawan, Muhammad Nazaruddin, Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, dan Suryadharma Ali. Namun, sejauh ini, penetapan kedua kalinya Setnov sebagai tersangka sepertinya belum juga berhasil menjerat “Papa Minta Saham” itu.

Lantas, bagaimana citra DPR jika Setnov kembali lepas dari jerat?

Direktur Eksekutif Lingkaran Madani (Lima), Ray Rangkuti menganggap kasus korupsi yang menimpa Setnov akan memperburuk citra DPR di mata masyarakat. Dewan Kehormatan Dewan (MKD), kata dia, seharusnya mengambil jalan anternatif untuk meredam polemik yang menimpa Setnov dengan menggelar sidang dan meminta Setnov untuk mundur sebagai ketua DPR seperti tahun 2015 lalu ketika Setnov dalam kasus Papa Minta Saham.

Apalagi, katanya, keputusan yang memberi kemenangan kepada Setnov dalam sidang praperadilan melaui hakim tunggal Cepi Iskandar menambah daftar lemahnya kekuatan hukum di Indonesia dan mempermudah tindak pidana korupsi berjamaah kepada pejabat lainnya.

"Jadi ini akan mempermudah sebetulnya, (mempermudah) orang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Tapi jangan sendiri, melakukannya secara berjemaah," kata Ray sebagaimana dikutip Kompas.com, di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, beebrapa hari lalu.

Sementara, politisi Golkar Mirwar Vauly sependapat dengan Ray. Menurut Mirwan, posisi penetapan Setnov sebagai tersangka kedua kalinya oleh KPK tidak saja menciderai marwah Golkar, namun juga memberikan cap buruk terhadpa lembaga kemasyarakatan itu. Ia menilai seharusnya DPR tidak seharusnya menjadi penanggung beban atas kasus yang menimpa Setnov.

"DPR punya aturan untuk mengganti ketua apabila tersangkut kasus, dan Pak Novanto ini kan sudah pernah diganti," kata Mirwan.

Mirwan menyebutkan, untuk saat ini Golkar punya banyak politisi handal yang mampu mengantikan sosok Setnov sebagai Ketua Golkar dan DPR. Namun, kata dia, pergantian ketua tersebut diserahkan sepenuhnya oleh Mirwan kepada para petinggi di Golkar.

Berkaca pada Tiongkok

Indonesia Corruption Watch menurunkan sebuah artikel dengan judul, Belajar Memberantas Korupsi dari Cina yang dikutip Kupang Pos pada Juli 2004. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa, masalah yang menimpa Indonesia tak kalah jauh dengan yang terjadi di negara itu dalam hal korupsi. Kita diajak belajar pada metoda yang diterapkan Cina dalam memberantas korupsi yang telah akut.

“Konspirasi jahat mereka telah membuat sendi kehidupan Cina megap-megap dan para penduduknya hidup dalam jurang kesengsaraan. Sama halnya di Indonesia, korupsi juga menjangkiti semua sendi kehidupan bangsa cina mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif serta kalangan profesionalnya,” tulis mereka.

Namun, sejak Presiden Tiongkok Zhu Rongji mengumumkan perang terhadap korupsi, praktik budaya ditingkat pejabat itu mulai menurun drastis dengan implementasi nyata dalam sebuah pernyataan legenda yang melegenda “Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan 1 untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi”.

Rupanya, pernyataan tersebut bukan isapan jempol belaka dari sosok Zhu, ia berhasil mengungkap berbagai tindakan korupsi dengan memberikan hukuman mati pada salah satu gubernur diganjar hukuman mati karena terbukti melakukan penggalapan uang negara. “Dalam jangka waktu sekitar dua tahun, Cina berhasil 'memaksa' sejumlah pejabat masuk penjara, dan puluhan lainnya dihukum mati serta 2000 kasus korupsi diungkap,” tulis mereka.

Tindakan itu, kata Zhu, tak beda dengan pepatah Cina yang mengilhaminya, yakni, “bunuhlah seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera. Dan, sejak ayam-ayam dibunuh, kera-kera menjadi takut”.

Lima Besar negara terkorup

Sebuah organisai non-pemerintah, Transparency Internasional menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di dunia. Indonesia menempati posisi lima besar sebagai negara terkorupsi di dunia, menyusul Afrika dan Amerika Latin. Di Asia, tulis Transparency Internasional itu, peringkat Indonesia berada pada tingkat pertama dan Tiongkok menduduki peringkat ketiga setelah Indonesia dan India.

“Para koruptor di Indonesia beroperasi dengan leluasa, dari kelas teri, kelas kakap, sampai kelas paus. Korupsi telah menjadi monster yang melahap uang negara. Pada rezim Orde Baru, KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) begitu merajalela. Namun pada era reformasi, pejabat yang korup tidak berkurang dan KKN telah menjelma menjadi "Konco Konco-Ne",” tulis mereka.

Mengapa hal tersebut terjadi? Sebab, kata mereka, Indonesia dengan tingkat korupsi yang tinggi masih belum sepenuh hati dalam penyelenggaraan kasus itu dan para elit tidak merasa masygul dengan apa yang terjadi. Indonesia kata mereka, juga tidak memiliki seorang pemimpin seperti Zhu Rongji, yang membuat pejabat begitu takut jika berurusan terkait korupsi.

“Tampaknya, Indonesia bisa mengikuti jejak Tiongkok yang menghukum berat maling-maling duit negara. Para koruptor kelas paus dihukum mati. Bisa juga para koruptor kelas berat dikirim ke Nusakambangan seperti halnya Bob Hasan,” kata mereka.

***