Jumat sore, 10 November 2017 terjadi kerusuhan tahanan di Rutan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Menurut laporan media, pemicunya adalah ada tahanan yang tidak terima diperiksa dan memancing keributan.
Awalnya petugas Densus 88 melakukan sweeping di sel-sel narapidana dan menyita sejumlah ponsel. Ditemukan empat buah ponsel milik tahanan bernama Juhanda, Saulihun, Kairul Anam, dan Jumali.
Tidak terima dilakukan penyitaan terhadap ponselnya, salah satu napi memancing keributan dengan mengeluarkan ucapan yang memprovokasi. Aksi tersebut berhasil memancing reaksi petugas dan tahanan di blok lain.
Akhirnya kerusuhan pun terjadi dan tak bisa terelakkan. Perlawanan dilakukan napi terhadap petugas sehingga mengakibatkan rusaknya fasilitas rutan, seperti jebolnya pintu sel tahanan dan kaca pecah. Hingga anggota piket mengeluarkan tembakan ke atas sebagai peringatan agar kericuhan berhenti.
Catatan Detik.com, keempat nama napi yang disebutkan di atas adalah napi kasus terorisme. Menjadi catatan juga, kenapa para napi lolos untuk membawa alat komunikasi?
Jika kondisinya seperti itu para napi teroris ini masih tetap bisa merencanakan serangan meski dari balik jeruji besi. Yah, sama aja bo'ong dong. Masuk penjara tapi tetap bisa mengendalikan anggota atau rekannya dari dalam. Patut menjadi catatan dan evaluasi bagi petugas rutan.
Meski sudah dikonfirmasi dengan jelas oleh kepolisian, masih ada saja isu liar yang beredar di sosial media. Banyak yang bilang kasus kerusuhan Mako Brimob akibat kasus SARA. Katanya ada aparat yang melakukan pelemparan Al Quran.
"Kalau ada isu liar yang menyebut kejadian ini dipicu pelemparan Al Quran oleh petugas, itu tidak benar," ujar Brigjen Rikwanto seperti dikutip dari Tempo.co. Yang benar, lanjut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri ini, adalah adanya tahanan yang tidak terima digeledah oleh Detasemen Khusus 88 Antiterorisme lalu membalas dengan melakukan provokasi.
Berita yang simpang siur terkait isu SARA seperti pelemparan kitab suci di Mako Brimob akan diterima pembaca emosional sebagai suatu kebnaran. Isu sensitif yang dibungkus dengan kemasan agama pada akhirnya bisa digunakan kelompok tertentu untuk mengubah keadaan menjadi chaos, yang ujung-ujung menyudutkan pemerintah.
[caption id="attachment_3851" align="alignleft" width="510"] Rumah Tahanan Mako Brimob (Foto: Tempo.co)[/caption]
Kerusuhan yang terjadi di sel tahanan teroris dengan mudah akan diidentikkan seabagai "Islam yang tertindas" karena para pelaku teroris sering dianggap kelompok tertentu sebagai “jihadis", yakni orang yang berjuang di jalan kebenaran. Ketika terjadi kerusuhan, publik yang kurang berikir panjang cenderung menyangka merekalah yang menjadi korban "kebiadaban" petugas.
Isu ini akan terus berkembang liar jika tidak ditangani secara cepat. Ibarat ilalang kering yang terbakar di padang savana, ia cepat merembet menyeret-nyeret instrumen agama dengan menyebut adanya pelemparan Al Quran oleh petugas.
Selain memancing kemarahan para napi yang kemudian membalas dengan tindakan anarkis atas nama membela keyakinannya, isu ini akan menjadi kobaran api kemarahan yang bisa berujung kerusuhan mengerikan jika ditelan oleh masyarakat yang kurang cerdas membaca, kemudian dibagikan (share) lewat media sosial yang bekerja tanpa filter.
Ada yang menganggap apa yang "diperjuangkan" para teroris itu bagian dari keyakinan, tetapi tidak sedikit yang beranggapan mereka hanyalah golongan orang yang justru memperburuk citra agamanya sendiri di mata dunia. Tidak heran jika ada saja orang yang percaya kemudian menyebarkan rumor bahwa penyebab kerusuhan itu karena pelemparan Al Quran.
Publik dan pembaca sekarang sudah cerdas, meski tetap harus berhati-hati saat mengonsumsi informasi, khususnya yang beredar di WA Grup dan media sosial. Jangan mudah percaya dengan apa isu yang sedang berkembang, khususnya menyangkut isu SARA.
Kerusuhan Mako Brimob yang merupakan "ujian" pertama di awal November hanya salah satu contoh kecil saja.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews