Perlu Media Independen dalam Memaknai Konflik di Papua

Senin, 13 November 2017 | 15:17 WIB
0
560
Perlu Media Independen dalam Memaknai Konflik di Papua

Papua memanas lagi. Informasi-informasi yang beredar di sejumlah media mengatakan, lebih kurang ada 1.300 warga di Desa Kimbely dan Desa Banti, dua kilometer dari Distrik Tembagapura, Mimika, menjadi korban penyanderaan KKB atau Kelompok Kriminal Bersenjata.

Warga setempat dikabarkan dilarang ke luar kampung, sehingga tidak bisa bepergian untuk mendapatkan kebutuhan pokok sehari-hari. Penyanderaan oleh kelompok kriminal bersenjata di Tembagapura, Papua terjadi sejak Kamis, 9 November 2017.

Selain itu, kelompok kriminal bersenjata (KKB) juga menyandera karyawan PT Freeport Indonesia. KKB juga disebut menggunakan alat berat untuk merusak jalan menuju Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Dari beberapa video yang beredar, terlihat penyiksaan secara fisik kelompok kriminal itu kepada para sandera.

Desakan pun datang dari berbagai pihak agar permasalahan ini segera ditangani. Termasuk meminta Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil sikap sebelum terlambat.

Namun menurut Direktur Pusat Studi dan Pendidikan Hak Asasi Manusia, Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Maneger Nasution, konflik di Papua saat ini sudah berubah. Sekarang kelompok di Papua sudah bermain ‘cantik’ dengan memainkan instrumen diplomatik. Berbeda dengan dulu, dimana kelompok seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan perlawanan fisik dengan TNI atau polisi.

Buktinya, saat isu Papua secara resmi diangkat di sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa, Maneger menyebut konflik ini sudah sangat mendesak untuk segera ditangani dan diselesaikan. “Mumpung masih ada waktu, karena waktunya sudah tak banyak,” demikian sebagaimana dikutik Tempo.co.

Jokowi diminta agar menyelesaikan dengan hati-hati dengan cara melakukan pendekatan secara politik, tanpa menggunakan kekerasan dalam kasus ini.

Pemerintah Indonesia juga harus bisa merespon konflik ini dengan hati-hati. Penyelesaian dengan menggunakan kekerasan hanya akan meningkatkan ketidakpercayaan warga Papua atas otoritas Indonesia.

"Penggunaan kekerasan hanya akan memicu eskalasi kekerasan," ujar Yati, Koordinator Kontras, dalam siaran persnya pada Sabtu, 11 November 2017.

Terhadap kasus ini, Pemerintah harus melakukan penyelesaian secara persuasif. Menunjuk pihak netral dan dipercaya kelompok bersenjata untuk melakukan perundingan dan negosiasi. Namun, informasi dari media juga menimbulkan kebingungan bagi publik. Menurut informasi terakhir ribuan orang ini tidak mengalami penyanderaan. Tapi kelompok ini hanya membatasi warga yang ingin melintas.

Informasi ini dibenarkan oleh Veronica Koman, Pengacara Hak Asasi Manusia, dan membantah isu yang berkembang tentang penyanderaan dan intimidasi terhadap 1300 warga di Desa Kimberli dan Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua. Kepolisian dinilai memanipulasi fakta mengenai situasi yang sebenarnya di wilayah itu. “Tidak benar itu (penyanderaan),” kata Veronica kepada media daring yang sama.

Menurut Vero, kepolisian menyebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) dengan KKB dengan justifikasi dan tujuan tertentu. Salah satunya agar kepolisian bisa menyisir perkampungan. Hal tersebut justru membuat warga di kedua kampung merasa terintimidasi oleh kehadiran TNI dan Polri.

Pemberitaan sepihak ini disinyalir akibat belum adanya media independen di Papua. Belum adanya kebebasan pers di Papua dinilai memiliki andil besar dalam distorsi pemberitaan saat ini terkait kondisi sosial yang sebenarnya terjadi di sana. Bahkan akses untuk jurnalis asing saja tidak ada.

Adanya media independen ini juga untuk menghindari stigma kriminal, serta adanya keseimbangan informasi. "Pemerintah juga harus membuka akses bagi pemantau dan bantuan kemanusiaan untuk masyarakat sipil yang terdampak akibat krisis ini," kata Yati, masih dikutip dari media online yang sama.

Penggunaan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata ini juga menimbulkan tendensi negatif atas pihak yang dimaksud. Sehingga akan mempengaruhi opini publik terhadap konflik di Papua. Padahal situasi penyanderaan ini bisa dilihat sebagai ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap praktik kebijakan pemerintah di Papua.

Yati menyebut, dalam krisis ini pemerintah juga harus mampu menjawab akar persoalan di Papua secara menyeluruh. "Termasuk berbagai ketidakdilan struktural dan impunitas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua," ujarnya.

***