Sanggupkah Kader HMI Melanjutkan Kesederhanaan Lafran Pane?

Sabtu, 11 November 2017 | 13:37 WIB
0
1312
Sanggupkah Kader HMI Melanjutkan Kesederhanaan Lafran Pane?

Mahfud MD memimpin lima puluh orang pengurus Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat 3 November 2017.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi memastikan gelar Pahlawan Nasional kepada Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam. Gelar Pahlawan Nasional sah sejak tanggal 9 November 2017. Perjuangan para kader untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional kepada sang “ayahanda HMI” tercapai.

Presiden Jokowi pun dikabarkan berkenan membuka acara Musyawarah Nasional KAHMI di Medan pada 17 November 2017. Dua kebahagian ini menambah semangat perjuangan KAHMI untuk terus mendukung cita-cita Lafran Pane.

Sejak Awal, Lafran menginginkan HMI menjadi organisasi yang mendukung perjuangan keislaman dan keindonesiaan. Sehingga kader HMI mampu mengemban tugas sebagai kader ummat kader bangsa.

Hariqo Wibawa Satria mengungkap latar belakang Pendiri HMI ini dalam buku ‘Lafran Pane; Jejak Hayat dan Pemikirannya’.

Lafran Pane adalah adik dari dua pujangga terkenal, Sanusi Pane dan Armin Pane. Lafran Pane lahir 5 Februari 1922, di Kampung Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Ayah Lafran, Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang jurnalis, sastrawan, kepala sekolah di HIS, pendiri Muhammadiyah di Sipirok, sangat komplit. Sutan Pangurabaan adalah pendiri dan pemimpin Surat Kabar Sipirok-Pardomuan (terbit 1927), berbahasa Angkola, yang terus menyuarakan kemerdekaan Indonesia, usahanya di bidang penerbitan dan percetakan. Sahat P. Siburian menyebut Sutan Pangurabaan sebagai juragan media cetak pada masa Kolonial.

Dalam Jejak Hayat dan Pemikian karya Hariqo terpampang kisah perjalanan hidup Lafran Pane. Bagaimana seorang pemuda yang resah akan kehidupan mahasiswa awal kemerdekaan. Lafran merasa gelisah bagaimana mahasiswa-mahasiwi lebih peduli dengan budaya ‘barat’ seperti berdansa.

Mendirikan HMI

Dalam perenungan, Lafran kemudian memprakarsai berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Organisasi kemahasiswaan berlabel ‘islam’ pertama di Indonesia. Sejak 5 Februari 19547, Lafran mengawal HMI sampai akhir hayatnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan menegakkan syiar Islam.

Lafran, Pemuda yang turut menjadi saksi peristiwa detik-detik menjelang kemerdekaan terus menjaga keutuhan NKRI. Dari raganya, ia ikut dalam pergolakan melawan penjajah untuk mempertahankan Kemerdekaan. Dengan pemikirannya, Lafran menghimpun mahasiswa (Islam) dalam persatuan dan kesatuan.

Lafran terkenal keras dalam pendiriannya, salah satu adalah menjaga independensi untuk tidak berpolitik. Meskipun Lafran tidak melarang alumni HMI berpolitik. Ia tetap menjaga semangat dan pembagian tugas kerja di ranah pengabdian. Lafran mengajarkan bahwa perjuangan mengisi kemerdekaan bisa dilakukan dengan aktifitas apapun.

Agussalim Sitompul, pencatat dan tokoh sejarah HMI pernah mengatakan bahwa Lafran juga keras dalam keseharian. Lafran tidak pernah mengharapkan sesuatu yang bukan miliknya. Kalau ada keinginan, maka ia akan berusaha mendapatkan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Kisah kesederhanaan dan kerasnya pendirian dibenarkan dalam Buku Hariqo. Dua pencatat sejarah Lafran menceritakan bagaimana Akbar Tanjung terpaksa ‘mengakali’ Lafran hanya demi Lafran menerima jas bagus. Bahkan, upaya Tokoh Senior Partai Golkar ini memasukkan nama Lafran sebagai salah satu Dewan Pertimbangan Agung pun tidak mampu merubah pendiriannya.

Catatan kisah pembelajaran dari Lafran adalah saat pihak Sekretariat DPA RI menghubungi Lafran untuk menanyakan kebutuhan yang diperlukan sebagai salah satu DPA. Lafran hanya menjawab “Saya butuh telepon, itu saja”. Bayangkan, jika kita menjadi salah satu anggota DPA. Bisa dipastikan kita akan meminta rumah dinas, mobil mewah dan pelbagai fasilitas penunjang lainnya. Lain Lafran, ia hanya membutuhkan telepon karena di rumahnya tidak ada, cukup dan tidak lebih dari itu.

Selain itu, kesederhanaan Lafran dapat dikonfirmasi kepada keluarga, sahabat dan kader yang pernah hidup bersamanya. Anak-anak Lafran pernah “mengibuli” tokoh ini terkait mengganti televisi dari hitam putih menjadi berwarna. Bagi Lafran, suatu barang (apapun), jika masih bermanfaat dan berguna, tidak ada kata mengganti. Dengan alasan rusak parah, akhirnya Lafran menerima televisi berwarna hadiah dari anaknya sendiri. Begitulah wawancara Hariqo dengan anak-anak Lafran.

Bukan hanya itu, Putra Lafran - Iqbal Pane mengisahkan bahwa tidak satupun dari anak Lafran yang mengetahui bahwa ayahnya (Lafran Pane) adalah tokoh nasional yang mendirikan HMI. Mereka tahu karena saat Latihan Kader mengisahkan materi sejarah perjuangan HMI. Jika tidak, anak-anak Lafran hanya tahu ayahnya seorang dosen di Universitas Negeri Yogyakarta.

Lupa perjuangan pahlawannya

Apabila kita melihat para kader-kader Lafran saat ini, akan muncul pertanyaan, siapakah yang sanggup meneruskan kerasnya pendirian Lafran dalam menjaga keutuhan NKRI, keislaman dan keindonesiaan? Siapakah yang sanggup menjaga semangat untuk mengabdi tanpa ada ‘pengganti’ berupa fasilitas atas jabatannya? Siapa juga yang mampu hidup sesederhana Lafran?

Kita perlu jujur, mengabdi untuk ummat dan bangsa dalam bingkai keindonesiaan dan keislamaan seperti Lafran bukan lah perkara mudah. Bahkan saya yang menulis artikel ini belum mampu mengerjakan pola hidup seperti ayahanda HMI.

Mari kita merenungi sejenak perangai para penerus Lafran, sebahagian dari mereka adalah pejabat di negeri ini. Tetapi, apakah mereka menolak semua fasilitas yang diberikan negara? Jangan harap, mereka bukan hanya menerima tetapi enggan untuk mengakhiri apabila jabatan sudah berakhir. Tidak sedikit yang merasa ‘sombong’ dengan menolak berbagi rezeki berdalih ‘kader harus kuat dan kreatif – tapi kantong sang senior tertutup rapat’.

Atau contoh lainnya, jika HMI adalah rumah perjuangan mahasiswa Islam. Sudah sewajarnya seluruh cabang memiliki sekretariat permanen sebagai fokus perjuangan, pergerakan, pendidikan dan pengabdian. Namun, dengan berlimpahnya alumni HMI sejak tahun 1947 sampai sekarang, masih banyak cabang HMI yang masih ngontrak atau malah pindah-pindah kontrakan.

Padahal, jika pejabat yang notabene alumni HMI menerapkan sedikit kesederhanaan Lafran, maka program efisiensi dan efektifitas anggaran pemerintah terlaksana dengan baik. Bahkan pejabat negara/pemerintahan bisa menjadi model dan contoh bagi rakyat. Pandangan para alumni dalam mencerdaskan masyarakat bisa mengurangi masalah konflik sosial.

Saya bukan Lafran Pane, pembaca juga bukan, Lafran adalah Lafran. Pribadi sederhana yang suka berbagi termasuk membagi pengetahuan kepada orag lain. Berfikir dan berbuat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan dengan menjaga prinsip. Lafran yang membina, mendidik dan mendampingi tanpa rasa lelah. Hidupnya adalah untuk Indonesia lebih baik.

Penghargaan sebagai pahlawan nasional yang himpunan syukuri pada 10 November 2017 diharapkan mempengaruhi Munas Kahmi di Medan pada 17 November 2017. Alumni HMI seyogyanya memberikan contoh berpolitik yang baik dalam memilik nakhoda.

Bermusyawarah dengan kesederhanaan dan memilih tanpa pertikaian, agar HMI mampu mencontoh dan mempraktikkannya dalam Kongres HMI pada Februari 2018. Siapapun nakhoda Kahmi dan HMI kedepan adalah pemimpin bagi semua dan harus di dukung oleh semua.

***