Messi, Michelen, dan Upaya Membumikan Pajak kepada Generasi Milenial

Sabtu, 11 November 2017 | 19:33 WIB
0
729
Messi, Michelen, dan Upaya Membumikan Pajak kepada Generasi Milenial

Saat bintang sepakbola Barcelona, Lionel Messi divonis sebagai pesakitan oleh pengadilan Spanyol, dunia sepakbola ikut berduka. Bersama ayahnya, Messi dituduh menggelapkan pajak sebesar 4,1 juta Euro atau sekitar Rp61 miliar. Karena itu dia divonis hukuman 21 bulan penjara dan denda dua juta Euro atau sekitar Rp29 miliar.

Banyak yang terhenyak tak percaya, sekelas Messi menghindari pajak?

Beribu mil jaraknya dari Messi, dalam sebuah ruangan aula SMA negeri di daerah Kedoya Jakarta Barat, seorang gadis berkacamata berkulit putih mengajukan sebuah pertanyaan yang kritis.

”Bagaimana cara pemerintah mencegah agar dana pajak tidak dikorupsi? Karena kalau dikorupsi 'kan habis!”

Gadis itu namanya Michelen. Dia bertanya seperti itu, artinya dia mengikuti berita dan perkembangan informasi. Dan minimal dia punya kepedulian tentang pajak, karena tak ingin dana pajak itu dikorupsi.

Pelajar kelas 11 SMA Negeri 57 Kedoya Jakarta Barat itu adalah salah satu peserta yang hadir dalam acara sosialisasi sadar pajak yang dilaksanakan tim sosialisasi KPP Jakarta Kebon Jeruk Dua. Acara yang diberi tema: Pajak Bertutur itu dihadiri sekitar enam puluhan peserta perwakilan kelas dari SMA 57 dan beberapa orang guru.

Hari itu tanggal 11 Agustus 2017 Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memang sedang melakukan hajatan besar, secara serentak melakukan edukasi sadar pajak di sekolah-sekolah seluruh penjuru Indonesia. Dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi.

Di ruangan aula nan sejuk dengan fasilitas ruang teater itu Michelen dan teman-temannya mengikuti acara dengan antusias. Saat duet tim pengajar: Dini Aprianti dan Dian Khoirul Amin menyampaikan materi tentang pajak mereka mengikutinya sampai tuntas. Tak terlihat jemu sedikit pun.

Itu tak terlepas dari materi edukasi pajak yang dikemas dengan bahasa sederhana dan tak berkesan menggurui. Lebih mendekati gaya bercerita dan bertutur. Maka tak salah jika dikatakan: Pajak Bertutur.

Pajak Bertutur ini sebenarnya hanya kickoff dari Nota Kesepahaman yang telah ditandatangani antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebelumnya. Dalam Nota Kesepahaman nomor MoU-21/MK.03/2014 dan nomor 13/X/NK/2014 Tentang Peningkatan Kesadaran Perpajakan Melalui Pendidikan, telah disepakati materi kesadaran pajak akan dimasukkan dalam kurikulum pelajaran dari tingkat SD sampai dengan SMA.

Sementara untuk tingkat perguruan tinggi dituangkan dalam Nota Kesepahaman antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia nomor MoU-4/MK.03/2016 dan nomor 7/M/NK/2016 Tentang Peningkatan Kerjasama Perpajakan Melalui Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Materi Pajak Bertutur selain dikemas dengan bahasa yang membumi untuk generasi muda juga menggunakan analogi-analogi yang pas, hingga pesan yang disampaikan lebih mengena.

Ketika pembiayaan sebuah negara dianalogikan dengan pembiayaan dalam sebuah keluarga, saat penghasilan seorang kepala keluarga (Bapak) tidak mencukupi membiayai keluarganya sementara anaknya membutuhkan biaya untuk pendidikan, apa opsi yang akan dipilihnya? Memilih untuk berutang atau menjual harta yang dimilikikah? Maka anak-anak muda itu telah dilibatkan dalam sebuah diskusi yang seru.

Seperti itulah saat negara kita kekurangan dana untuk pembangunan. Haruskah kita terus menerus menambah pinjaman luar negeri kita? Sementara jika mengandalkan Sumber Daya Alam (SDA) pun ada batasnya. Maka solusi yang mungkin dan masuk akal adalah mengoptimalkan pembayaran pajak.

Jangan jadi Free Rider

Saat sesi tanya jawab berlangsung, banyak pertanyaan kritis terlontar dari siswa/i SMA itu. Seperti, ”Kak, bedanya pajak dan hibah itu apa?” Atau ada lagi seorang siswi bernama Denada yang mengajukan tanya, “Gimana Kak, jika ada orang yang penghasilannya seharusnya sudah bayar pajak tetapi dia tidak bayar pajak? Gimana cara petugas pajak untuk ngontrol?”

Maka duet Dian dan Dini pun harus menjelaskan ekstra bahwa ada mekanisme kontrol dari pemerintah untuk mengawasi pembayaran pajak. Misalnya untuk karyawan, jika penghasilannya di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) maka pajaknya akan dipotong langsung oleh pemberi kerja. Sementara di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sendiri ada Seksi Ekstensifikasi yang bertugas melakukan penyisiran Wajib Pajak baru yang dianggap potensial. Intinya jangan pernah merasa bahwa tidak melaksanakan kewajiban, maka tidak ada pengawasan.

Dan kita pun tersadar, acara ini memang telah tepat sasaran. Mereka para generasi muda itu memang harus dibina kesadaran pajaknya sejak dini. Kenapa? Karena pajak kini merupakan tulang punggung pembiayaan negara. Dalam struktur APBN kita, pajak menyumbang sekitar 75 persen dana pembangunan.

Namun sebagai tulang punggung, pajak ternyata belum sekokoh yang kita duga. Ada permasalahan yang mendesak untuk dibenahi. Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pajak masih rendah!

Coba saja dari 258 juta penduduk hanya 27,6 juta masyarakat Indonesia yang terdaftar sebagai wajib pajak. Dari 27,6 juta penduduk yang memiliki kewajiban untuk lapor pajak, hanya 10,25 juta yang melakukan kewajibannya.

Sementara Indonesia menganut self assessment system, di mana memberi keleluasaan kepada wajib pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya: menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

Di sisi lain proyeksi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia akan mengalami masa yang disebut Bonus Demografi di tahun 2020-2035. Saat itu penduduk usia produktif jumlahnya dua kali lipat dari usia non produktif. Maka menanamkan kesadaran pajak perlu dilakukan sejak dini. Agar Indonesia dapat memanen hasilnya di tahun 2045 nanti, yang disebut masa kesejahteraan.

Budaya berperan aktif itu harus dipupuk, agar mereka nanti tak menjadi pendompleng (free rider) dalam bernegara. Dan membangun citra pajak yang positif pada generasi muda adalah tugas kita bersama. Agar generasi muda seusia Michelen tak perlu ragu dengan kredibiltas pajak, kita harus bersama-sama mengontrol penggunaan uang negara untuk memastikan bahwa badan-badan pengontrol keuangan negara itu tak mati suri, tetap berjalan di relnya.

Ada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang bertugas melakukan audit laporan keuangan yang dilaporkan instansi pemerintah. Ada Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan yang akan selalu mengawal penggunaan dana APBN kita.

Maka Pajak Bertutur ini jika dianalogikan sebagai seutas benang, maka benang itulah sebagai sarana merajut cinta. Dan pada waktunya nanti hasil rajutan itu akan kokoh dan kuat. Itu akan terjadi, jika materi sadar pajak dipupuk sejak dini dan disuntikkan dalam kurikulum sekolah. Hingga menghasilkan generasi muda tak apriori pada pajak, namun menjadikan pajak sebagai wujud peran sertanya dalam bernegara.

Siapa yang mau disebut free rider? Kita memang tak sanggup meraba masa depan. Kita tak pernah tahu siapa di antara generasi muda kini yang mungkin sanggup menggantikan Messi, tapi kita tentu tak ingin jika ada dari mereka nanti yang mewarisi sikap Messi: menghindari pajak.

***