Jika memang surga itu hanya kapling untuk sekelompok orang atau umat agama tertentu, sesekali berkunjunglah ke sebuah pondok sederhana di bilangan Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sebuah pondok yang terlalu sederhana, sangat bersahaja malah, namun isinya melulu kemuliaan dan keagungan nilai-nilai kemanusiaan.
Bagaimana tidak ini, hanya sebuah panti yang penghuninya adalah orang-orang yang selama ini sudah dianggap "sampah masyarakat". Bukan dalam arti kiasan, tetapi senyatanya memang begitu. Mereka makan dyngan cara mengais dari satu tempat sampah ke tempat kotoran yang lainnya. Mereka yang sudah terbuang dari keluarga, dan nyaris dianggap tidak ada lagi dalam data statistik kependudukan.
Yah... mereka bukan lagi gelandangan, tapi ya memang orang yang dianggap gila dan tidak waras dalam arti sebenar-benarnya. Mereka ini dipungut dari jalanan, lalu dirumahkan untuk kembali dimanusiakan.
Yang luar biasa adalah pondok ini diurus dan dikelola haya berdua oleh sepasang manusia "berhati malaikat" Adi Salitonga dan istrinya Mbak Ida, sejak nyaris delapan tahun yang lalu. Sesakti apakah keduanya? Nyaris tak ada sama sekali, tanpa ilmu apapun, kecuali rasa ikhlas dan berserah diri pada Tuhan.
Keduanya, setiap hari dibantu dua orang volunter, hari-hari ini mengurus 29 orang, laki-laki dan perempuan yang rata-rata sudah sangat sepuh. Dari cerita, yang kadang bisa digali mereka berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Kok bisa? Bisa, karena ternyata, memang tatacara banyak kota mempercantik lingkungan hidupnya, dengan "menangkapi dan membuang" mereka begitu saja ke daerah lain.
Hal seperti ini bukan rahasia lagi, hingga bisa saja orang gila dari Pekanbaru atau Kupang terdampar hingga ke Jogja. Lalu oleh Mas Adi ini mereka dipungut dari jalan, diajak pulang. Hanya dengan diboncengkan naik motor begitu saja. Satu per satu hingga pernah mencapai 41 orang untuk rumah sesempit itu.
Bagi saya bagian yang paling mengharukan dari cara keduanya memperlakukan mereka adalah bagaimana mereka ini diberi nama. Boro-boro dinamai dengan "panggilan jelek", mereka dinamai dengan nama para santo dan santa, baik laki-laki maupun perempuan. Contohnya Lukas, Thomas, Yakobus, Petrus, atau Maria, Elisabeth, Theresia, dan seterusnya.
[caption id="attachment_3766" align="alignleft" width="539"] Penghuni Pondok makan bersama (Foto: Andi Setiono M.)[/caption]
Tentu saja mereka sudah sangat sulit bila ditanya nama asli sebenarnya. Metoda penyembuhannya pun sangat sederhana dengan berdoa, makan, dan mandi secara teratur dan tepat waktu. Walau tidak ada harapan untuk sembuh 100 persen, namun nyatanya mereka bisa kembali hidup teratur.
Beda dengan, pondok-pondok sejenis yang dikelola oleh pemerintah, yang beberapa tahun lalu pernah saya kunjungi: kotor dan menjijikkan!
Tempat ini sangat bersih, nyaris tanpa bau berlebihan. Umumnya mereka yang sudah lebih "sehat" bisa jadi mentor bagi yang "sulit sembuh". Inilah wajah di mana mungkin ia akan menjadi penghuni panti nyaris seumur hidup mereka.
Saya suka "ngalab berkah" ke sini. Melihat bagaimana tertibnya mereka makan dan berdoa. Melayani mereka, bisa menjauhkan diri dari sikap arogan dan berlebihan. Belajar bersama-sama menjadi manusia kembali, menjadi sederhana dan rendah hati.
Mas Adi dan Mbak Ida, kalian sudah menciptakan "surga kecil" bagi mereka yang terbuang itu. Tanpa papan nama, tanpa pernah gembar-gembor, mengemis bantuan ini itu dan bikin proposal pertolongan dari mana pun. Bagi saya: kalian telah dicukupkan Tuhan dan dimuliakanlah namamu...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews