Para Santo dan Santa di Pondok Efata, Upaya Memanusiakan Manusia

Jumat, 10 November 2017 | 21:06 WIB
0
557
Para Santo dan Santa di Pondok Efata, Upaya Memanusiakan Manusia

Jika memang surga itu hanya kapling untuk sekelompok orang atau umat agama tertentu, sesekali berkunjunglah ke sebuah pondok sederhana di bilangan Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sebuah pondok yang terlalu sederhana, sangat bersahaja malah, namun isinya melulu kemuliaan dan keagungan nilai-nilai kemanusiaan.

Bagaimana tidak ini, hanya sebuah panti yang penghuninya adalah orang-orang yang selama ini sudah dianggap "sampah masyarakat". Bukan dalam arti kiasan, tetapi senyatanya memang begitu. Mereka makan dyngan cara mengais dari satu tempat sampah ke tempat kotoran yang lainnya. Mereka yang sudah terbuang dari keluarga, dan nyaris dianggap tidak ada lagi dalam data statistik kependudukan.

Yah... mereka bukan lagi gelandangan, tapi ya memang orang yang dianggap gila dan tidak waras dalam arti sebenar-benarnya. Mereka ini dipungut dari jalanan, lalu dirumahkan untuk kembali dimanusiakan.

Yang luar biasa adalah pondok ini diurus dan dikelola haya berdua oleh sepasang manusia "berhati malaikat" Adi Salitonga dan istrinya Mbak Ida, sejak nyaris delapan tahun yang lalu. Sesakti apakah keduanya? Nyaris tak ada sama sekali, tanpa ilmu apapun, kecuali rasa ikhlas dan berserah diri pada Tuhan.

Keduanya, setiap hari dibantu dua orang volunter, hari-hari ini mengurus 29 orang, laki-laki dan perempuan yang rata-rata sudah sangat sepuh. Dari cerita, yang kadang bisa digali mereka berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Kok bisa? Bisa, karena ternyata, memang tatacara banyak kota mempercantik lingkungan hidupnya, dengan "menangkapi dan membuang" mereka begitu saja ke daerah lain.

Hal seperti ini bukan rahasia lagi, hingga bisa saja orang gila dari Pekanbaru atau Kupang terdampar hingga ke Jogja. Lalu oleh Mas Adi ini mereka dipungut dari jalan, diajak pulang. Hanya dengan diboncengkan naik motor begitu saja. Satu per satu hingga pernah mencapai 41 orang untuk rumah sesempit itu.

Bagi saya bagian yang paling mengharukan dari cara keduanya memperlakukan mereka adalah bagaimana mereka ini diberi nama. Boro-boro dinamai dengan "panggilan jelek", mereka dinamai dengan nama para santo dan santa, baik laki-laki maupun perempuan. Contohnya Lukas, Thomas, Yakobus, Petrus, atau Maria, Elisabeth, Theresia, dan seterusnya.

[caption id="attachment_3766" align="alignleft" width="539"] Penghuni Pondok makan bersama (Foto: Andi Setiono M.)[/caption]

Tentu saja mereka sudah sangat sulit bila ditanya nama asli sebenarnya. Metoda penyembuhannya pun sangat sederhana dengan berdoa, makan, dan mandi secara teratur dan tepat waktu. Walau tidak ada harapan untuk sembuh 100 persen, namun nyatanya mereka bisa kembali hidup teratur.

Beda dengan, pondok-pondok sejenis yang dikelola oleh pemerintah, yang beberapa tahun lalu pernah saya kunjungi: kotor dan menjijikkan!

Tempat ini sangat bersih, nyaris tanpa bau berlebihan. Umumnya mereka yang sudah lebih "sehat" bisa jadi mentor bagi yang "sulit sembuh". Inilah wajah di mana mungkin ia akan menjadi penghuni panti nyaris seumur hidup mereka.

Saya suka "ngalab berkah" ke sini. Melihat bagaimana tertibnya mereka makan dan berdoa. Melayani mereka, bisa menjauhkan diri dari sikap arogan dan berlebihan. Belajar bersama-sama menjadi manusia kembali, menjadi sederhana dan rendah hati.

Mas Adi dan Mbak Ida, kalian sudah menciptakan "surga kecil" bagi mereka yang terbuang itu. Tanpa papan nama, tanpa pernah gembar-gembor, mengemis bantuan ini itu dan bikin proposal pertolongan dari mana pun. Bagi saya: kalian telah dicukupkan Tuhan dan dimuliakanlah namamu...

***