Kampung Akuarium, Riwayatmu Dulu dan Ceritamu Kini

Kamis, 9 November 2017 | 13:11 WIB
0
1133
Kampung Akuarium, Riwayatmu Dulu dan Ceritamu Kini

Kalau mau lihat betapa menyedihkannya kepala daerah provinsi DKI Jakarta memperjuangkan idenya yang nyaris musykil, tabrak sana tabrak sini cari jalan gampang, inilah waktu yang paling tepat. Lihatnya, bagaimana pemimpin Jakarta sekarang akan membangun Rumah Lapis di bekas Kampung Akuarium!

Saya yakin, di kepalanya yang ada melulu bertumpu pada dua hal: bagaimana ia bisa memenuhi janji kampanyenya dan kedua melihat lahan kosong yang dengan susah payah berhasil dibebaskan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Ahok. Mungkin, keduanya tidak pernah melihat bagaimana kumuhnya kondisi kawasan Pasar Ikan dan Kampung Luar Batang sebelum ini.

Tahun 2012 lalu, saat mengkurasi pameran tetap di Museum Bahari, saya merasakan sendiri bagaimana sebuah museum berubah menjadi lautan air dalam arti sesungguhnya. Sehingga kapal-kapal yang sesungguhnya merupakan barang koleksi, bisa jalan-jalan sendiri ke sana ke mari dihanyutkan air.

Sebuah pemandangan yang memilukan, bagaimana mungkin sebuah museum dalam satu kali hujan bisa porak poranda, tak ubahnya kolam renang raksasa tempat bermain-main anak-anak kecil.

Nyaris tak ada satu pun koleksi di lantai dasar yang selamat. Dan itu karena apa yang dulu dinamakan lahan kosong sebagai "Pasar Ikan" dalam arti ruang terbuka tempat pendaratan kapal nelayan, sudah berubah menjadi pasar sumpek dan kumuh yang tidak sekedar kotor, jorok, dan bau, tapi terutama menutup jalan air menuju laut lepas.

Tak jauh dari area Pasar Ikan, terdapat selongkangan kampung yang kemudian dikenal sebagai Kampung Akuarium. Karena pada awalnya di tempat itu terdapat sebuah akuarium raksasa, yang diinisisasi oleh Dr. Sunier yang ditunjuk Departemen van Landbouw, Nijverheid en Handel sebagai direktur pertama.

Kampung Akuarium pada mulanya adalah Laboratorium voor Onderzoek der Zee atau lembaga penelitian laut pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga dibuka untuk umum. Dibuka secara resmi pada 12 Desember 1923, antara lain dihadiri oleh Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda Heeren Frijling; Tuan Kindermann – anggota dewan; Tuan Rutgers Direktur Pertanian; Tuan De Man, pejabat ad interim Direktur Pendidikan; Tuan Both Inspektur Pendidikan serta pejabat lain dari bidang kelautan. Tak ketinggalan pembesar lain seperti Major China dan Walikota juga hadir.

Menurut Dr HC Delsman sebagai Kepala Laboratorium Penelitian Laut tujuan pendiriannya didasari kekayaan laut dan alam Hindia Belanda sebagai bagian dari penelitian internasional. Untuk urusan ruangan laboratorium didesain oleh Dr Sunier, termasuk akuarium yang berisi 200 ribu liter air laut.

Dengan adanyan laboratorium ini Batavia kemudian diperhitungkan di jagat ilmu pengetahuan. Di kala itu, Aquarium buka setiap hari dari pukul 08.00 – pukul 12.00. Harga tiket masuk untuk dewasa 25 sen sedangkan untuk anak-anak dan pribumi 10 sen.

Bataviaasch Nieuwsblad Edisi 12 Juni 1924, melaporkan, enam bulan setelah Akuarium dibuka, jumlah total pengunjung yang datang ke Aquarium sudah mencapai 36.000 orang, rata-rata 200 orang per hari. Ini belum termasuk karyawisata sekolah. Laboratorium ini sudah memenuhi standar ruang pamer di mana ada kartu informasi dalam bahasa Melayu, Belanda dan Latin.

Pada 4 Maret 1940, ditutup sementara dan mengalami kendala hingga kedatangan Jepang. Banyak bangunan bahkan arsip hilang di masa pendudukan Jepang. Baru pada 29 Desember 1947 dilakukan pembukaan kembali Akuarium secara resmi oleh Direktur Laboratorium Penelitian Laut Dr JBF Hardenberg, dengan koleksi dan fasilitas sebelum perang yang telah dikembalikan seperti sedia kala.

Tahun 1950 jumlah pengunjung tercatat mencapai 4.500 orang. Kunjungan itu terutama dilakukan kaum peneliti, pelajar bahkan pelancong. Buku itu menulis, Aquarium yang buka setiap hari dari pukul 09.00 hingga pukul 13.00 dan dianggap layak masuk ke dalam daftar acara kunjungan ke Jakarta.

Menurut sejarahwan JJ Rizal, pada masa masa Gubernur Ali Sadikin, ia mendapat amanah khusus dari Soekarno untuk menjadikan menjadikan Kampung  Akuarium sebagai sebagai kado terakhir Soekarno yang terbaik bagi Jakarta. Laut adalah aspek yang mengutuhkan Jakarta karena memberi unsur air dari konsep Soekarno bahwa ibu kota harus menjadi wajah muka Indonesia yang disebut tanah air.

Kebanggaan itu diperlihatkan dalam buku Jakarta Membangun yang terbit 1972 dengan menyebut Kampung Akuarium sebagai "tujuan pariwisata kebun binatang laut satu-satunya di Indonesia". Sayangnya, ketika Orde Baru hadir dengan pembangunannya yang masif sebagai bagian dari gelombang "commersial thinking" antara kaum modal dan pemerintah, khususnya setelah Bang Ali selesai menjabat jadi makin tak terkendali.

Kejatuhan Kampung Akuarium disusul dengan lenyapnya pantai publik di Jakarta. Laut, pantai yang semula dalam konsep kota Soekarno bagian dari modernisme sosialis, bergeser ke modernisme pasar di bawah cengkeraman kepentingan bisnis dan pasar properti.

Dan, hari-hari ini pasangan Thompson & Thomson ini berencana mengubahnya menjadi Rumah Lapis tanpa pernah meninjau ulang konsep nasionalisme "tanah air" sebagaimana dulu menjadi kebanggaan Soekarno dan Ali Sadikin.

Saya tidak bisa lagi berkomentar: kecuali sedemikian "dilaknatnya-kah" ibukota di hari-hari ini, memiliki pemimpin sedemikian naif: merusak tata ruang dan membunuh sejarah demi ambisinya!

***