Sesungguhnya orang Jawa (yang sejati) itu termasuk kelompok etnis paling "pesimistik" menatap masa depan. Pesimis di sini bisa dibaca sebagai melihat ketidakpastian hal-hal yang tidak bisa mereka ramalkan, atau sebaliknya mereka bisa meramalkannya, karena itu mereka memiliki sedemikian besar kekhawatiran.
Karena itulah, bagi orangtua umumnya mereka akan selalu membekali tiga hal pokok bagi anak-anaknya secara langsung maupun tidak langsung.
Pertama, aja dumeh. Jangan mentang-mentang, yang daripadanya muncul banyak sekali turunan "jangan" yang lainnya. Aja kagetan (jangan mudah terkejut), aja gumunan (jangan mudah terkagum-kagum), aja getunan (jangan mudan menyesali), aja aleman (jangan suka manja), dan seterusnya dengan variannya masing-masing. Yang intinya hidup harus "hati-hati", yang pada gilirannya malah melahirkan jargon yang paling suka digunakan untuk mengejek orang Jawa: alon-alon waton kelakon (biar lambat asal selamat).
Kedua, eling harus selalu "ingat". Ingat disini arkiannya sangat jembar dan komprehensif, yaitu ke atas ke bawah, ke kanan ke kiri. Ke atas itu rasa hormat kepada para leluhur, orang tua; ke bawah rasa mengasihi kepada anak turun kita. Sebaliknya ke kanan kiri, itu diartikan menghargai tetangga, rekan bekerja, sanak saudara, dan seterusnya.
Lalu di mana letak Tuhan? Di sinilah muncul istilah sedulur papat, lima pancer. Pancer itu ya dirinya sendiri, di mana Tuhan terletak, Tuhan yang diartikan dalam Islam sebagai sedekat urat nadi kita. Apa yang oleh sufisme Jawa dikatakan sebagai Manunggaling Kawula Gusti.
Hubungan yang sedemikian dekat antara Khalik dan Makhluknya. Filosofi yang malah sering disalahartikan sebagai kedekatan hubungan antara raja (atau pemerintah) dan kawula (atau rakyatnya). Salah besar, karena itu selalu berakhir sebagai "penipuan".
Karena itu, saya lebih percaya dalam tradisi Jawa tidak ada ruang riil yang disebut demokrasi modern sebagaimana yang mula-mula diajarkan oleh Aristoteles. Jawa lebih mengenal harmoni, berdasarkan rembugan: musyawarah dan pemufakatan.
Ketiga, waspada. Kalau eling itu lebih mencerminkan (dunia dalam atau yang keren dalam ilmu manajemen disebut visi), maka waspada adalah dunia luar dan misi-nya. Ia menunjukkan cara bersikap dan berperilaku dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat apalagi bernegara. Hal ini terwujud, dalam banyak hal dalam cara berpakaian terutama.
Sebagai orang Jawa-Mataraman, dengan subkultur Jogjakarta, saya pikir pengertian waspada menjadi berlebih-lebihan cara memaknainya. Misalnya mondolan blangkon menonjol di belakang kepala. Untuk apa? Konon kalau marah buat mukul kepala orang (halah!).
Lalu juga keris terselip di belakang kain, sebagian tertutup surjan. Jadi kalau beberapa waktu lalu, ada calon presiden yang main kuda-kudaan di Lapangan Senayan, lalu di pinggangnya terselip keris, itu bisa dianggap fatalisme dilihat dari sisi kultur Jawa. Ia ingin menunjukkan "kewaspadaan sekaligus kegagahan", tapi dengan cara yang menurut saya tidak pada tempatnya. Bagi orang Jawa, itu sebuah pertanda bahwa ia tidak diterima, menjelaskan kenapa akhirnya ia hanya nyaris menang!
Karena itu dalam menyambut Tahun Baru Jawa, tidak ada satu pun tradisi "hura-hura, apalagi hedonisme". Masyarakat Jawa justru akan menuju ke kesunyian dan menjauhkan diri dari segala hal keduniawian. Di Kraton Jogja dikenal "mubeng benteng, tapa mbisu" (berkeliling Kraton sambil menutup mulut).
Bagi yang abangan pergi ke tempat tetirah, hanya untuk berdiam diri, menekuri semua yang telah lewat, sambil bersiap menatap yang akan datang. Pada masa lalu, semua orang Jawa akan menjadi asketis ketika menjelang malam 1 Sura. Ia akan mandi bersih sekali, berpakaian paling baik, tapi hanya untuk diam dan hening.
Menjauhkan diri dari suara dan cahaya. Ia akan mengingat kembali untuk apa ia ada, mensyukuri apa yang telah dimilikinya, dan memaafkan apa yang telah dilewatkannya. Ia sejenak kembali seutuh-utuhnya bersatu dengan Sang Pencipta-Nya.
Selamat Tahun Baru Jawa, 1 Sura 1951 J.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews