Berkat Gubernur Baru, Istilah "Pribumi" Jadi Viral dan Terkenal

Selasa, 17 Oktober 2017 | 10:03 WIB
0
768
Berkat Gubernur Baru, Istilah "Pribumi" Jadi Viral dan Terkenal

Nyaris semua kata yang diimbuhi tambahan kata "pri" selalu hilang makna dari bentuk aslinya, dan selalu ditafsirkan dengan seenak-enaknya. Kata "pri" sendiri bila dilihat dari bahasa Jawa Kuno (saya tidak mau menyebutnya sebagai Sansekerta, karena acuannya nanti jadi India), berasal dari kata "prih".

Menurut Rama Zoetmulder "prih" arti pokoknya adalah usaha keras, pengerahan tenaga, perhatian besar. Kata "prih" ini kemudian melahirkan kata "aprih", lalu jadi "amrih" dan terakhir jadi "pamrih", yang arti sebenarnya tetap sama.

Pamrih sendiri justru sering disalah artikan negatif, karena dianggap sebagai seolah memiliki agenda tersembunyi, keinginan untuk mendapat imbal balik. Padahal hidup sendiri sejatinya ya "pamrih", harus ada imbal baliknya.

Sayangnya, kemudian pamrih justru dibelokkan menjadi suatu bentuk kata sifat yang membuat seseorang tampak kurang ikhlas, penuh itungan, dan seterusnya.

Ini tampak sekali dalam peribahasa Jawa yang cukup populer: sepi ing pamrih, rame ing gawe. Sebenarnya asal usul peribahasa ini awalnya hanya untuk menunjukkan keguyuban dalam gotong royong atau kerja bakti. Tapi akhirnya ditarik kemana-mana. Super ngawur!

Pada akhirnya, kata "pri" sering digunakan untuk menggantikan kata "pro" yang dianggap berasal dari Barat. Sehingga pada suatu kurun, orang Jawa sangat suka memberi nama anaknya dengan kata-kata yang menggunakan awalan kata pri: seperti Prihatin (kekuatan hati), Pribadi (kekuatan diri), Prihatmaka (kekuatan jiwa),dan seterusnya.

Nah dari sinilah muncul kota kata yang paling ngawur, pada konteks pribumi. Istilah ini tidak dikenal sama sekali, hingga Indonesia merdeka. Bahkan dalam bahasa aslinga Jawa, tidak pernah ada. Pribumi mulanya merupakan pennerjemahan bebas dari kata "inlanders". Ini istilah usang bukan saja politis, tetapi juga sangat menghinakan yang digunakan oleh pemerintah kolonial.

Inlanders adalah pembagian secara statistik kelompok penduduk di masa Hindia Belanda, di luar Kelompok Eropa dan Timur Asing, dan ia diposisikan pada strata yang paling bawah. Sehingga jargon yang paling nyata. Muncul sebagai peringatan di banyak klub societeit, restoran bergengsi, pemandian umum, dan lain-lain yang konon di depannya tertera tulisan: Verboden voor Honden en Inlander! Anjing dan Inlanders Dilarang Masuk!

Coba lihat, bagaimana para kolonialis itu menghinakan, bahkan anjing saja dianggap lebih penting.

Sebenarnya, istilah ini nyaris lenyap selama masa Orde Lama. Karena apa? Nyaris semua ideologi dunia masuk diwakili oleh berbagai partai politik maupun ormas. Semua orang, walaupun memiliki semangat nasionalisme tinggi, tetapi tidak jatuh menjadi sektarian. Bahkan PKI sekalipun sebagai organisasi paling radikal, tidak pernah mendikotomikan warga sebagai pribumi dan non-pribumi.

Istilah ini justru menjadi sengit dan berdaya ledak, ketika Orde Baru berkuasa. Dan ironisnya hanya untuk menunjuk hidung pada kelompok minoritas Cina, wabil khusus dalam konteks ekonomi. Seolah-olah (dan tentu saja itu sebuah dramatisasi) segala yang berbau pribumi adalah kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Padahal ketiganya bukan melulu masalah dan hasil kerja kolonialisme (ekternal) tetapi juga feodalisme (internal).

Dan, apakah golongan Cina yang didisriminasi itu menjadi lemah, justru sebaliknya mereka menguasai nyaris semua sektor ekonomi dan budaya populer. Di bidang perdagangan dan industri tidak usah ditanya, tapi yang tersamar terutama dalam bisnis hiburan, gaya hidup, prestasi olahraga, dan lain-lain. Bahkan pencilan-pencilan mereka pun tetap muncul di dua bidang yang sangat "pribumi": politik, pemikiran, dan agama.

Dan dua mantra rasis dan inferior inilah, pri dan non-pri, yang hendak dihapus oleh semangat reformasi. Puncaknya dilakukan secara elegan oleh Gus Dur!

Lalu ketika ada Gubernur yang baru dilantik, belum apa-apa sudah menyatakan dalam pidatonya: "Kini saatnya Pribumi menjadi tuan rumah!" Dia bukan sekedar rasis, tetapi juga inferior dan tipu-tipu!

Siapa yang disebut pribumi di DKI Jakarta? Orang Betawi? Betawi itu adalah akulturasi Sunda, Cina, dan Koja Handramaut! Apalagi etnis yang lainnya!

Satu-satunya yang bisa dipahami dari pernyataan itu, adalah titipan dari orang di belakangnya: Selamat Datang (Kembali) Orde Baru!

***