Saya yakin Jenderal Gatot Nurmantyo (GN) orang baik, setidaknya ia loyal pada negeri ini dan pemerintah yang memilihnya sebagai Panglima TNI. Posisi yang sama harus diberikan kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian (TK) untuk memahami kerja keras dan manuver "aneh" mereka dalam menyikapi situasi politik Indonesia kekinian.
Cara berpikir, seperti ini harus digunakan untuk tidak semakin menambah keruh suasana dan meringankan beban pemerintahan yang tentu saja makin berat. Ia menjadi Panglima TNI ketika peta politik Indonesia berada dalam situasi proxy-war yang nyaris tak berkesudahan.
Apa itu proxy-war? Ia adalah perang dimana lawan (sesungguhnya) selalu menggunakan pihak ketiga sebagai lawan bertarung. Jenis perang seperti ini, sebenarnya tak asing di dunia militer bahkan hal ini selalu digunakan untuk menjaga "nama baik" militer, di mana pada bagian belakangnya ia bisa keluar sebagai pemenang. Dalam beberapa kasus, proxy-war merupakan awal dan alasan dilakukannya kudeta.
Manuver politik dengan kerangka proxy-war inilah yang digunakan secara konsisten oleh "lawan" Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk terus menerus mendiskreditkan dia sejak masa Pilpres 2014 hingga hari ini. Isu yang digunakan mulai dari keturunan PKI, antek Cina, anti Islam, tukang utang, hingga yang aneh-aneh apapun yang dilakukannya "cuma pencitraan".
Dari semua isu tersebut, yang tak pernah bosan digulirkan (terutama selama September) adalah isu PKI. Lalu apa kaitannya dengan GN yang mengkomando untuk memutar ulang Film Pengkhianatan G 30 S PKI?
Menurut sebuah sumber internal yang kredibel, walau tidak masuk akal bagi sebagian kalangan bahwa Jokowi adalah keturunan PKI, tapi rupanya hal ini berhasil juga meracuni banyak orang, tak terkecuali di sebagian keluarga besar TNI.
Terdapat dua kelompok, yaitu mereka para purnawirawan dan mereka yang masih aktif. Jangan lupa, program "penghijauan" di kalangan baju hijau itu bukan ilusi. Itu riil dan mulai menampakkan pengaruhnya.
Berdasarkan pengalamannya menangani kasus serial demo beberapa waktu yang lalu, bagaimana duet GN dan TK berhasil meredam isu yang mulanya sangat keras dan SARA, menjadi lemah dan akhirnya berujung kriminal. Keduanya, menggunakan isu pemutaran film tersebut sebagai test on the water, melepaskan balon ke udara dan menunggu siapa yang akan menembak.
Manuver ini digunakan untuk meredam sebagian kecil saja anggota TNI yang tampak mulai "bangkit", karena terkena dampak proxy-war. Hal ini menjelaskan kenapa Jokowi bersikap biasa saja menghadapi langkah yang dilakukan GN. Bahkan secara bercanda malah mengusulkan bikin film sejenis untuk generasi milineal. Walau kemudian, oleh para lawannya masih juga digunakan untuk memfitnahnya dengan menganggapnya akan melakukan tafsir ulang sejarah.
Coba bayangkan reaksi mereka jika Jokowi masuk perangkap mereka, dengan misalnya menegur atau memanggil GN untuk klarifikasi atau yang fatal melarang hal tersebut!
Lalu siapa pihak yang berada di belakang proxy-war tersebut? Bisa siapa saja, dan tidak penting.
Yang perlu disikapi bagian terburuk adalah output-nya. Hasil akhir dari proxy-war biasanya adalah rusaknya tatakrama dan pergaulan antarmanusia di dalam masyarakat. Ia menghasilkan manusia munafik dengan kredo dasar "maling teriak maling".
Ketika mereka dituduh sebagai "sesuatu", mereka akan berbalik menuduhkan hal sama kepada penuduhnya. Contohnya: ketika kita menuduh mereka anti-Pancasila, mereka akan menuduh balik justru kitalah yang anti Pancasila. Begitu terus, dengan perbedaan terminologi saja.
Intinya mereka akan dengan mudah cuci tangan bersih sekali, setiap kali terpojok. Sampai kapan? Hingga terjadi konflik horizontal antar warga yang akhirnya berselisih jalan dan paham itu.
Dan itulah yang ingin dicegah GN dan TK.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews