Tragedi lama Rohingya kembali terulang dan masih berulang. Kekerasan di negara yang dipimpin peraih Nobel, Aung San Suu Kyi, Myanmar membawa kesedihan ke mana-mana. Kesedihan itu bukan hanya milik kalangan muslim, tapi juga terasakan oleh masyarakat Buddha di Indonesia.
Saya mencermati pemberitaan seputar Rohingya. Ada kesedihan mendalam atas tragedi di sana, tapi juga ada kesedihan karena tragedi itu dijadikan alasan pembenar oleh kalangan sesama muslim di Indonesia untuk antipati ke umat lain. Tapi kesedihan saya itu agak terhibur dengan sikap umat Buddha di negeri ini, bahwa umat Buddha di Myanmar bukan umat Buddha di sini.
Artinya, sekalipun umat Buddha di negeri ini mengakui dan mengetahui pelaku kekerasan di sana melibatkan kalangan seagama dengan mereka, namun mereka tak sibuk melakukan pembelaan diri atau berusaha menutupinya. Kalangan Buddha di sini bahkan bersikap tegas, menolak kedatangan San Suu Kyi yang katanya ingin menyambangi Indonesia.
[caption id="attachment_2132" align="alignright" width="366"] Banthe Sri Pannavaro (Foto: Tisara,net)[/caption]
"Kami menolak kedatangannya (Aung San Suu Kyi) karena tidak memperhatikan kejadian-kejadian yang ada di Myanmar. Mengapa saya harus menolak, mengapa saya harus terima, tidak ada keharusan saya menerima," ucap Banthe Sri Pannyavaro, pemuka umat Buddha dari Wihara Mendut, Magelang Jawa Tengah, seperti dilansir Kompas.com, Jumat 25 November 2016.
Itu menjadi pesan teramat kuat, bahwa terlepas tragisnya tragedi di Myanmar, sejatinya memang tak harus menjadi alasan untuk kita menolak toleransi dan tetap bersahabat meski berbeda agama.
Toh, pertikaian di mana-mana itu selalu saja merupakan buah dari buruk sangka, sikap tidak bersahabat, dan kecurigaan berlebihan pada yang berbeda. Sedangkan persahabatan, terlebih yang dibangun dengan tulus, selalu menjadi mata uang terbaik untuk menjaga kedamaian.
[irp posts="532" name="Manusia Lemah, Manusia Serakah"]
Kenapa saya menyebut begitu? Karena trenyuh, tragedi di Myanmar yang menimpa Rohingya kerap dijadikan amunisi oleh sebagian kalangan muslim di negeri kita sendiri untuk membenci dan memusuhi. Mereka terkesan mengajak untuk mengiyakan bahwa semua yang berbeda agama akan selalu memusuhi mereka.
Rasa trenyuh seperti itu juga bahkan saya rasakan lagi tak terkecuali saat saya berada di masjid, untuk melaksanakan shalat Jumat dan berharap hati dan pikiran lebih tenang dan jernih. Tapi lagi dan lagi, saya harus menerima suara dari khatib yang membawa pesan jauh lebih buruk dari aroma mulut yang tak terkena sikat gigi bertahun-tahun.
Kenapa saya mengatakan begitu? Karena bukan satu dua kali saya mendapati khatib, alih-alih mengajarkan kebaikan, tapi mengklaim, "Harus kita ingat bahwa semua yang nonmuslim akan selalu memusuhi kita!"
Sudut pandang. Andaikan saja baik, dan yang baik itu ditularkan ke banyak kuping dan kepala jamaah di masjid-masjid, tak terbayang bagaimana indahnya jika masyarakat muslim di negeri ini dipenuhi perasaan dan sikap sarat cinta dan kasih sayang, entah yang seagama atau tidak. Sikap ini pasti lebih menjanjikan perdamaian akan langgeng di negeri ini.
Tapi, saat sudut pandang buruk, antipati, dan sarat hawa permusuhan diarahkan ke benak jamaah shalat di masjid-masjid, dan hawa itu menyebar hingga jauh ke luar tak terkecuali ke kepala mereka yang tak pernah ke masjid; potensi konflik hingga perang besar, bukan tak mungkin terjadi.
Sayang. Sangat disayangkan. Ujaran kebencian justru dipamerkan di tempat-tempat ibadah. Ini yang kerap bikin saya meratapi, kenapa harus seperti ini. Mereka yang berkhutbah hanya menyucikan badan, tapi lupa menyucikan hati dan pikiran, dan ini disayangkan.
Debu-debu hingga kotoran pemikiran berisikan permusuhan dan kebencian, jika disebarkan lewat masjid-masjid, maka sulit berharap debu dan kotoran itu disulap menjadi "energi listrik" yang bisa membuat pikiran umat muslim menyala dan mesin-mesin kerja yang bermanfaat untuk peradaban manusia menjadi maksimal.
Alih-alih mendapatkan ketenangan dan kedamaian dari rumah-rumah ibadah, yang terjadi hanya kian memperkeruh pikiran dan hati. Lalu, saat masjid-masjid sepi, alasan apa yang paling layak bagi masyarakat muslim untuk bisa kembali meramaikan tempat yang acap disebut sebagai "rumah Tuhan" itu?
[caption id="attachment_2134" align="alignleft" width="422"]
Aung San Suu Kyi (Foto: BBC.com)[/caption]Kembali soal Rohingya, itu luka kemanusiaan, bukan luka umat muslim saja dan ini semestinya dapat diakui. Mengklaim bahwa yang di luar Islam tak dapat merasakan kesedihan masyarakat Rohingya, itu jelas sebuah tuduhan yang sangat dusta. Tuduhan seperti itu yang menyimpan potensi buruk yang dapat saja mengoyak pelan-pelan atau bahkan dengan sangat cepat, bangunan kebersamaan dan persaudaraan sebangsa.
Trenyuh. Lagi-lagi sangat trenyuh, terlebih jika menyimak perkembangan di jejaring sosial ketika foto demi foto berisikan korban-korban pembantaian berdarah, disebarkan. Bukan disebar untuk menjaring solidaritas kemanusiaan saja, tapi juga kerap disisipi pesan keji: bahwa yang berbeda selalu pantas dimusuhi.
Jika pesan-pesan seperti itu, ajakan-ajakan kebencian dilempar secara terus menerus, tak hanya di jejaring sosial tapi merambah hingga ke rumah-rumah ibadah, maka kelak masyarakat muslim tak dapat lagi berbangga-bangga sebagai umat muslim terbesar. Sebab, bukan tak mungkin yang ada hanya negeri yang sedang mengalami perang terbesar.
[irp posts="212" name="Dua Ustad"]
Ya, perang-perang besar kerap kali lahir dari kebencian-kebencian yang terlalu besar. Dengan apa lagi hal itu bisa dicegah, kecuali mengedepankan sikap dan jiwa besar, bahwa berduka atas tragedi yang terjadi pada yang seagama tak harus menjadi alasan membenci mereka yang sebangsa.
Rohingya di sana membutuhkan cinta, seperti juga masyarakat minoritas di negeri kita pun membutuhkannya. Jika kita di negeri sangat besar ini pun menista mereka yang minoritas, lalu apa yang lebih baik dari kita dibandingkan para pembantai masyarakat Rohingya?
"Ajaran agama Buddha intinya adalah mencintai semua makhluk. Kalau memang benar ada pembantaian, tidak bisa dikatakan lagi dia umat Buddha. Mungkin hanya mengaku umat Buddha. Kami sangat mengecam keras hal itu," Bante Sri Pannyavaro saat menyikapi tragedi Rohingya. Apakah kita masih menuduh yang di luar Islam itu sama saja?
Ayolah, siapa tahu kelak jika kita di negeri umat muslim terbesar ini tetap mampu menjamin yang minoritas di sini tak diperlakukan semena-mena, maka muslim dalam posisi minoritas di negara-negara lain pun akan terjamin tidak akan dizalimi.
Sebab yang terjadi di Myanmar itu memang bisa membawa pesan buruk ke negara kita sendiri, tapi kita di sini pun bisa mengirimkan pesan jauh lebih baik ke sana; bahwa minoritas di manapun tetaplah manusia yang harus diperlakukan manusiawi, apa pun agama mereka.
Umat Buddha di negeri kita ini, harus kita garisbawahi bukanlah pendukung pembantaian di Myanmar sana. Bahkan tak sedikit dari umat Buddha di sini, yang telah menggalang dana dan mengirimkan kepada masyarakat muslim Rohingya dan mereka juga merasakan kepahitan dan seperti apa duka para korban di sana.
Ya, ketika manusia terluka dan tersiksa, maka luka dan siksa itu akan terasakan oleh yang lain. Tak harus sedarah atau seagama, tapi yang tidak sekeluarga dan seagama pun akan mengakui; luka dan siksa atas manusia tetaplah tragedi bagi manusia.
[irp posts="1497" name="Dua Potong Kain Putih Bersahaja Cermin Buat Kita Kembali Pada-Nya"]
Sederhana saja, kita yang pernah tertimpa musibah, takkan selalu hanya ditolong oleh yang seagama atau sedarah. Sebab saat bersahabat, maka sahabat itu datang, entah dari mana saja dan mungkin dialah yang pertama menolong. Kejujuran mengakui hal ini, saya kira cukup, lebih baik menyebar pesan damai dan cinta daripada kebencian dan permusuhan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews