Antara Presiden Soekarno dan Putri yang Tertukar

Selasa, 1 November 2016 | 22:00 WIB
0
815
Antara Presiden Soekarno dan Putri yang Tertukar

Sayang sekali, karena usia memang tak memiliki garansi khusus, banyak orang-orang hebat hanya dapat dibaca dari buku-buku sejarah, atau video arsip sejarah. Itulah kenapa, saya hanya dapat melamunkan Soekarno saat melihat ada hal-hal yang berbeda dari yang memiliki hubungan langsung dengannya, terutama putri-putrinya-- plis, jangan paksa saya bicarakan putranya.

Kenapa harus putrinya? Karena saya lelaki, dan lagi-lagi harus saya katakan, sesama lelaki sejatinya pesaing. Perlu juga Anda tahu, perang terbanyak lahir pun hanya antara sesama laki-laki. Kalaupun ada perang yang melibatkan perempuan, itu hanya beberapa istri tetangga saya saja yang pernah maen jambak-jambakan, tanpa melibatkan mitraliur, senjata alat berat, atau Sukhoi ataupun bom curah. Tidak sama sekali.

Istri tetangga itu juga bisa segera baik kembali, dan kemudian sama-sama berkaraoke bareng lagi, tanpa harus bikin traktat ini dan itu atau negosiasi itu dan ini. Dari istri tetangga itulah saya belajar banyak, bagaimana efek lagu Broery Pesulima pun dapat menentramkan dunia-- Broery pantas dapat Nobel nih.

Bagaimana tidak, dan bagaimana saya tak mengkhayalkan Broery mendapatkan Nobel, jika istri saya yang sedang mengalami kebakaran dan asap keluar dari kedua kuping dan api berkobar dari mulutnya pun mendadak tenang.

[irp]

Kenapa, karena di kamar mandi ada suara gagah dan sangat "lelaki" berkumandang. Ya, siapa lagi selain suaminya sedang melantunkan lagu Broery dengan ekspresi tak kalah para selebriti di tivi-tivi.

Jadi, saat saya konser pun --di kamar mandi lho ya, saya akan meniru suara Broery habis-habisan.  Walaupun sebagian teman saya, sumpah, lebih melihat kemiripan vokal saya dengan Rhoma Irama versi paling fals.

"Berembus angin malam, mencekam, mengempas membelai wajah ayu, itulah senyuman yang terakhir darimu...."

Betapa laknatnya, di tengah susah payah saya menyanyikan lagu Broery yang itu, ada juga beberapa teman terdekat justru mengaku seperti sedang mendengar lagu, "Merana... memang merana... kaaalau putus cintaaaa..." --jika Anda tak ingat itu lirik lagu apa, saya kembalikan ingatan Anda bahwa itu bagian lirik salah satu lagu hitsnya Bang Rhoma.

Rhoma memang Raja Dangdut, dan konon sangat memikat para wanita di zamannya pada dahulu kala. Dia gagah, bisa menjadi Ksatria Bergitar, hingga menjadi pria yang dilukai oleh Ani, terlebih saat kekasihnya belakangan juga dinikahi seorang Presiden maka lukanya lebih dalam lagi.

Dan, makin terluka saja Bang Rhoma, terlebih setelah Partai Idaman tidak lolos verifikasi, makin menipis saja peluangnya merebut Ani kembali. Di sini saya sempat curiga, jangan-jangan kelak Rhoma akan menggubah lagu Halo-halo Bandung yang terdapat lirik Bandung lautan api, dan dinyanyikan dengan irama dangdut demi menyalakan kembali semangat perjuangan.

Eh, kok hampir lupa bahwa saya sedang ingin bicara Soekarno? Maklumilah, lagu-lagu Bang Rhoma terkadang memang sering diawali dengan intro yang terlalu panjang. Jadi artikel ini pun terkena dampak bencana dari sana.

Yang ingin saya katakan itu, Soekarno itu sejatinya paling paham pada apa saja yang terbaik bagi wanita. Jadi, janganlah Anda bilang beliau sebagai lelaki yang selalu “jemput bola” urusan menaklukkan hati wanita, sebab takkan ada yang tak berkutik jika bersua dengan kharismanya.

Jangan, jangan beri stempel sesuka Anda pada beliau, termasuk urusan hubungan beliau dengan perempuan. Sebab zaman Anda dengan zamannya beda sekali, sebab yang pantas di zaman itu memang banyak yang terlihat tak pantas di zaman ini. Jadi, lupakan napsu Anda yang berlebihan untuk menstempeli atau melabeli beliau karena masalah wanita.

Lagipula, yang ingin saya ketengahkan adalah fakta bahwa beliau adalah pria yang paling memahami wanita, sehingga membuat mereka luluh tanpa harus melibatkan ahli pelet. Dan, jangan mendramatisasi hubungan beliau dengan perempuan dengan kacamata yang Anda pakai sekarang.

Sekali lagi, kita dan dia beda zaman, beda masa, dan jelas saja beda kualitas. Saat dia mampu membuat penjajah merasa gentar lewat orasinya, kita hari ini belajar orasi hanya untuk memaksa orang-orang mendengar hanya dengan ganjaran nasi bungkus.

[irp]

Persoalannya, kenapa kharisma besarnya tak sepenuhnya membekas pada putri-putrinya, kecuali pada Megawati dan Sukmawati yang meski tak selalu seiya sekata tapi mereka terlihat tulus. Mereka mampu melihat Indonesia selayaknya seorang ibu melihat anak-anaknya. (Ingat, mereka hari ini bukan lagi anak-anak, walaupun memang berstatus anak Soekarno. Fakta, mereka sudah ibu-ibu).

Yang berbeda justru Rachmawati. Bukan soal potongan rambutnya, yang memang jauh dari style yang pernah dipopulerkan oleh Demi Moore. Ini lebih ke soal sesuatu di balik rambut.

Bagaimana dia bisa menutup mata begitu saja ketika Indonesia dilecehkan dan diremehkan, justru oleh orang-orang yang selama ini terkenal berada di lingkarannya. Apakah saya sedang melempar tuduhan kepadanya? Ah! Baca saja riwayat pemikiran dan cara dia menjalin kerja sama yang berbasis politik, seperti nelayan yang belum tahu fungsi Ge-Pe-Es.

Ia terlihat mengiyakan ketika apa-apa yang telah ditetapkan dan disepakat para founding father, termasuk ayahnya sendiri, dilabrak dan dicerca oleh sekelompok orang yang sedang menjadikan keyakinan selayaknya barang obral yang dibayar dengan nasi bungkus. Ini bukan soal mana karet satu dan mana karet dua— di nasi itu.

Ini lebih ke soal, apa yang diinginkan sang ayah dulu, ya dulu sebelum Demi Moore ada dan belum mengisi layar tancap di kampung-kampung hingga bioskop yang beralihfungsi untuk anak muda menyalurkan berahi sembunyi-sembunyi.

Itu ayahnya menginginkan agar tak ada diskriminasi pada siapa pun, terlepas berbeda pandangan politik atau pandangan agama sekalipun. Ingat nasakom? Terlepas pro-kontra seputar pikirannya dalam konsep yang menyetarakan agama dengan nasionalis hingga komunis itu, namun di sana ada pikiran mulianya; jangan ada yang terdiskriminasi.

Sekarang, Rachma justru menjadi salah satu penyokong dan sekutu bagi mereka yang sedang bekerja keras merobek pondasi-pondasi yang telah dibangun susah payah agar tak ada lagi diskriminasi.

Ah, Rachma, tak masalah jika kau tak cantik lagi, buk. Tak masalah kau tak muda lagi, buk. Bukan masalah jika berat badanmu tak enak dilihat oleh orang, buk. Itu semua tidak masalah. Apalagi saya juga sudah beristri (yang ini, maafkan saya ngelantur buk). Masalahnya hanya jika dalam pikiran yang Anda ejawantahkan lewat sikap itu,  justru bermetamorfosis menjadi tikus-tikus liar yang menggerogoti tali-temali yang mengikat satu sama lain dengan cinta dan kasih sayang sebagai manusia satu bangsa.

Ada bule lho, yang terlihat jauh lebih mampu menerjemahkan pesan mulia, ayah Anda itu, buk. Namanya Bernhard Dahm, Anda boleh kenalan dengannya dan meminta nomor WhatsApp, Line, dan PIN BBM, supaya lebih dekat dengannya. Dia saja yang ada jauh di luar negeri sana di negara yang berada di belahan Benua Biru kata orang-orang, adalah pengagum pikiran suci dan mulia ayahmu, buk.

[irp]

Betapa, misalnya, Dahm mampu melihat jika konsep Nasakom itu sejatinya menjadi gagasan Bung Karno untuk menjembatani semua aliran agar tak saling menikam dan menjatuhkan. Itu yang diimpikannya agar dipertahankan karena ia menulis mimpinya dengan mata terbuka, dan ia melihat negara ini ada banyak agama dan kepercayaan, seperti halnya adanya beragam suku bangsa yang bernapas dan hidup hingga buang air di sini.

Soekarno membangun jembatan itu, dan itu dibangun dengan susah payah. Dia harus melawan orang-orang luar yang masih berambisi meruntuhkan negara yang masih remaja di masanya, tapi dia juga harus mencurahkan pikiran untuk membikinkan pondasi terkuat untuk masa depan negara ini. Apa Anda tega meruntuhkan jembatan itu, buk?

Jika ini hanya terlihat sebagai celoteh seorang yesterday afternoon kid atau anak kemarin sore, tidak apa-apa, buk. Tapi celoteh ini bukanlah karena takut jika sore begitu cepat menjadi malam, tapi mengkhawatirkan jika negara ini tenggelam oleh para pecundang yang menggerogoti negara dengan menjadikan agama sebagai dagangan.

Ayolah, saya tak ingin mengimbau terlalu. Ajak mereka itu sesekali ke tempat karaoke, dan ajak mereka bernyanyi sesekali. Lagu Broery itu enak lho, misalnya yang ini; Bulan sabit yang jatuh dipelataran, bintang redup. Tanpa cahaya gemintang, langkah tanpa arah, sesat di jalan yang terang; Aku yang terlena dibuai pelukan dosa... dan, merenunglah dengan dalam-dalam.

Setelahnya, tolong nyanyikan lagu Indonesia Raya, dan tatap potret ayah Anda, buk. Dia pria yang mungkin memang pernah bercerai dengan istri-istrinya di masanya dulu karena keadaan memaksanya begitu, tapi ia tak ingin kita saat ini bercerai, buk.

***