Mewaspadai Fasisme di Negara Pancasila

Senin, 31 Oktober 2016 | 21:34 WIB
0
1084
Mewaspadai Fasisme di Negara Pancasila

Tulisan ini dibuat —dengan mengutip kalimat kata pengantar buku Madilog— untuk mereka yang sudi menerima. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang, dan seksama serta akhirnya berkemauan keras memahaminya. Penulis tidak menyarankan untuk membaca lebih lanjut bila tidak sesuai dengan pandangan atau pola pikir. Stop! Sampai disini saja. Bila berkenan, boleh lanjut.

Akhir-akhir ini, toleransi dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara yang plural tengah diuji oleh kelompok yang (katanya) mengatasnamakan dirinya sebagai Wakil Tuhan. Atas dasar kepercayaan yang konservatif yang dibumbui paranoid akut membuat mereka melakukan praktik diskriminasi sekaligus ancaman pembunuhan secara terang-terangan yang mengarah kepada kepala daerah yang kebetulan minoritas.

Umpatan seperti hukum mati, gantung, hingga kafir mengarah kepada kepala daerah yang dituding melecehkan kitab suci mereka —walau belum terbukti. Namun demikian kepala daerah tersebut dengan besar hati sudah meminta maaf bila ada pihak yang merasa dikecewakan.

Namun, hingga tulisan ini dirilis, Senin, 31 Oktober 2016, isu SARA masih tetap dicatutkan kepada daerah tersebut. Usut punya usut, ternyata di wilayah tempat  kepala daerah itu bertugas,  saat ini tengah memasuki waktu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), diduga isu tersebut digoreng berulang-ulang dengan secara terstruktur, sistematis, dan masif dengan tujuan agar menjatuhkan pamor kepala daerah tersebut.

[irp]

Dengan mengembuskan isu SARA, diharapkan siasat ini mampu tampil sebagai taktik jitu untuk menjatuhkan salah satu calon, dalam hal ini si petahana agar kehilangan suara karena popularitasnya memudar. Menebarkan kebencian lewat SARA menjadi cara paling ampuh sekaligus cara paling mudah untuk meraih simpati, bahkan didapat diraih secara sukarela. Sedap, bukan?

Bila memang isu Pilkada adalah hal yang kecil atau sepele, bagaimana bila dibalik itu semua tujuan besarnya adalah menghilangkan kebhinekaan Indonesia? Disadari atau tidak, kelompok yang merepresentatifkan pembela agama tersebut adalah bentuk dari lain dari fasisme itu sendiri. Ciri-cirinya banyak, tapi saya padatkan menjadi tiga.

Pertama, mereka memandang agama dari segi eksklusif, yakni agamanya yang paling benar dan mengkafirkan agama lain. Bahkan, tak jarang mengkafirkan sesamanya yang satu aqidah karena adanya paham yang berbeda. Singkatnya, cendrung memaksakan pandangan mereka.

Kedua, membanggakan etnisnya dan mengerdilkan etnis lain. Umpatan diskriminasi kepada "Cina" (merujuk etnis Tionghoa di Indonesia), kafir, dan mengidentifikasikan dirinya sebagai pribumi, umat mayoritas yang saat ini (merasa) tertindas. Hal ini jelas merupakan cerminan ideologi fasis layaknya propaganda Hitler yang membanggakan ras Arya sebagai ras penguasa, ras unggul. Dengan cita-cita mengusasi dunia dan membagi dunia dengan dua ras, yakni Arya dan non-Arya (diluar ras). Hiih, seram.

Ketiga, menciptakan atau memelihara ketakutan lewat musuh imajiner. Hitler menjadikan Yahudi sebagai lawan, baik ideologi politik maupun pandangan agama —termasuk cap terhadap individu atau kelompok yang tidak disukai atau berseberangan paham dengan partai Nazi.

Dikisahkan Yahudi adalah musuh dalam selimut yang menyebabkan Jerman kalah perang dunia pertama. Ketika sebagian besar rakyat Jerman kesulitan, Yahudi minoritas tetapi hidup berkemewahan. Selain itu Yahudi dalam alam pikiran Hitler,  penguasa di Jerman selalu dinomorsatukan, sedangkan ras Arya —Jerman pribumi— selalu dinomorduakan. Pokoknya, kalah perang, kelaparan, bahkan jatuh dari sepeda adalah sahudi (Salah Yahudi). Dari situlah timbul asas totalitarian untuk memurnikan ras dengan “menghapus” ras lain terutama Yahudi.

Di masa kini, kaum yang mengatasnamakan pembela keyakinan tersebut hidup dikendalikan paranoid akut yang pada gilirannya menciptakan musuh imajiner bernama Komunis atau Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI —yang menurut mereka— saat ini kembali bangkit dari kuburnya seperti hantu walau tidak ada bukti validnya.

PKI dipropagandakan sebagai kaum atheis —juga dicap sebagai liberal hingga sekuler— yang tidak percaya tuhan, sehingga dapat menghalalkan segala cara untuk meruntuhkan NKRI, anti Pancasila. Tuduhan PKI juga disematkan oleh mereka kepada individu atau kelompok yang tidak sepaham.

Sebagai kaum yang-mengklaim-beragama-paling-benar mereka merasa memiliki hak sebagai kepanjangan tuhan untuk melawan, bahkan dengan kekerasan. Acara diskusi buku hingga pementas drama yang berbau-bau kiri adalah hal-hal pertama yang mereka lawan dengan alasan—meminjam frasa bahasa Arab—Amar ma'ruf nahi munkar.

Tentunya hal tersebut salah besar. Pasalnya, sedari awal apa yang dipahami oleh para “laskar” sudah salah. (paham) PKI atau Komunis tentu jauh berbeda dengan Atheis. Singkatnya, Komunis adalah suatu ideologi politik sedangkan Atheis merupakan ideologi kepercayaan. Di Indonesia contohnya, ada tokoh progresif macam Haji Misbach yang berhasil mensinergikan antara komunis dengan pandangan keagamaan yang dianutnya untuk melawan penjajah di masa lalu.

[irp]

Selain itu, walau ideologi Komunisme, Marxisme, dan Leninisme terlarang di Indonesia, namun bukan berarti dilarang untuk tujuan kegiatan akademis, seminar dan diskusi. Ada perbedaan mendasar antara mengubah dasar negara Pancasila dengan belajar ideologi diluar pancasila.

Yang menjadi anomali adalah tingkah polah kelompok yang konon mengatas namakan membela agama tersebut justu menistakan Pancasila bahkan sebagian ada yang terang-terangan mendukung aktivitas transnasional dengan menentang kesaktian Pancasila dan ingin mengganti dengan ideologi lain.

Tentunya, fasisme gaya seperti ini musti kita lawan. Hal ini untuk mencegah (1) runtuhnya keberagaman, (2) hilangnya toleransi antara umat beragama, dan (3) penistaan agama secara berkelanjutan. Hal ini dapat tercipta bisa kita mau, secara bersama-sama peduli, dan secara sadar melawan dengan tidak termakan propaganda yang pada gilirannya menyebabkan disintergasi bangsa.

Akhir kata, mengutip lirik lagu Homicide yang berjudul Puritan, (bahwa) Fasis yang baik adalah Fasis yang mati!

***