Saat "Nature Boy" Menginjakkan Kaki di Tanah Suci

Jumat, 28 Oktober 2016 | 09:30 WIB
0
539
Saat "Nature Boy" Menginjakkan Kaki di Tanah Suci

Bersyukur aku sering bepergian menggunakan pesawat terbang, baik untuk tujuan luar kota maupun ke luar negeri. Tetapi coba bayangkan bagi mereka yang pertama kali masuk ke dalam kabin pesawat terbang, pastilah akan disergap perasaan aneh dan tidak menentu. Ada perasaan yang kemudian tertuang dalam bentuk tanya, "Well... mimpikah aku" atau bahasa gaulnya, "Bener ga sih, nih?"

Aku pernah mengalaminya dulu waktu pertama kali menaiki perut Garuda tujuan Jakarta-Yogyakarta. Jadi, aku bisa merasakan perasaan yang sama para jamaah yang kebetulan berada dalam perut pesawat yang sama. Tempat duduk jamaah sudah diatur sedemikian rupa sehingga nomor kursi pesawat yang biasa berlaku untuk penumpang umum tidak berlaku buat jamaah.

Nomor khusus para jamaah itu sudah tercantum di tas kecil masing-masing. Sekitar 400 jamaah duduk rapi di tempat duduk masing-masing dengan pria sudah mengenakan pakaian ihram-nya secara lengkap dalam kepasrahan total. Kelak sesaat menjelang pesawat turun di miqat Yalamlam karena pesawat datangnya dari arah Yaman, maka ritual umrah/haji sudah bisa dimulai dan jamaah serentak mengucapkan niat berumrah, Allahuma umrotan.

Miqat bisa dikatakan tempat dimulainya ritual haji bagi para jamaah yang datang ke Mekkah. Miqat terbagi menjadi enam, lima di antaranya ditentukan oleh Nabi Muhammad. Pada saat memasuki miqat itulah jemaah pria harus mengenakan pakaian ihram-nya.

Karena kelompok terbang jamaah berbeda-beda, maka kadang ia harus memulai dari miqat yang berbeda pula. Katakanlah jemaah haji yang datang dari arah Madinah miqat-nya di Zulhulafa, dari arah Suriah miqat-nya di Juhfa, dan seterusnya.

[irp]

Perjalanan Jakarta-Jeddah yang akan kutempuh dengan pesawat Garuda carteran Spanyol ini sekitar 9 jam. Kupikir tidak terlalu lamalah, soalnya aku pernah berada di dalam perut pesawat selama sekitar 18 jam saat bepergian ke Seatle, Amerika Serikat, tahun 2000 lalu. Kalau dulu bisa kutempuh dengan nyaman, ini 'kan hanya setengah perjalanan Jakarta-Seatle, gumamku.

Sebelum pesawat Boeing berbadan jumbo dua lantai menengadahkan hidungnya ke angkasa, aku sempat berterima kasih kepada teknologi. Ya teknologi, khususnya teknologi transportasi!

Dulu ayahku pernah bercerita, bagaimana ayah ayahku (kakek), harus menempuh perjalanan 4 bulan lamanya pergi pulang untuk berhaji di tahun 50-an. Pesawat terbang tentu sudah ada, tetapi pesawat penumpang massal seperti sekarang, belumlah ada. Transportasi antarpulau dan antarnegara biasa dilakukan lewat kapal laut. Maka berlayarlah kakekku itu lewat kapal laut.

Dulu belum ada yayasan bimbingan haji, tetapi dilakukan sendiri lewat fasilitas pemerintah waktu itu. Kubaca dari buku, kudengar dari cerita-cerita lama, betapa Nabi Muhammad berhaji dari Madinah menempuh perjalanan berhari-hari karena masih menggunakan unta!

Juga umat Islam setelahnya, ketika transportasi modern belum ditemukan, tentulah unta menjadi angkutan utama. Yang tidak punya unta, ya jalan kaki, menerabas hutan kaktus, berjingkit di atas gurun pasir yang membara dan pada malam hari harus berkemah ala kadarnya menahan terpaan angin dingin yang menusuk. Semua mereka lakukan demi menyempurnakan Rukun Islam yang kelima, haji, bagi yang mampu melakukannya.

 

Tidak jarang orang-orang terdahulu, muslimin yang kini sudah menghuni surga, menuju Kabah sebagai seorang musafir. Beda dengan pengembara yang biasanya pergi tanpa tujuan. Muslimin dunia menjadi musafir dengan satu tujuan jelas: Kabah!

 

Ingat pengembara, sejenak aku teringat syair sebuah lagu gubahan Eden Ahbez, Nature Boy. Syair yang sangat kuingat benar dari lagu yang tergubah sekitar tahun 1940-an itu adalah pada bait terakhirnya. Syair itu bunyinya begini: the greatest thing you'll ever learn, is just to love and be loved in return.

Lagu yang menceritakan lelaki alam pemalu dengan mata sayu namun bijak itu belajar dari apa yang ditemuinya saat mengembara. Kalau bait syair lagu itu diterjemahkan secara bebas, barangkali bunyinya seperti ini: hal terhebat yang akan kaupelajari, adalah belajar mencintai dan mendapatkan cinta itu kembali!

Mulai Nat King Cole, Celine Dion, David Bowie, Balawan, sampai Iwan "Abah" Abdulrachman, menyenandungkan lagu ini.

Kau boleh sajalah menganggapku seorang "nature boy", lelaki pengembara, yang mengembara jauh mencari kebenaran di Tanah Suci, sebagaimana syair lagu itu. Selama rentang perjalanan itu, aku ingin belajar sesuatu yang luar biasa hebatnya: mencintai dan mendapatkan cinta itu kembali... cinta-Mu, ya Robb!

[irp]

Tidak lama berselang mesin pesawat bergemuruh hebat. Awak kabin mengumumkan bahwa pesawat akan segera mengudara. Jamaah dibimbing untuk berdoa. Kulihat sementara jamaah memejamkan mata, ada yang pura-pura tidur sambil mengatupkan kedua tangan ke dada, ada yang menengadahkan tangan berdoa meminta keselamatan.

Aku berusaha duduk tenang, meminta Allah menyelamatkan diriku dan seisi pesawat ini. Beberapa wajah orang-orang yang kucintai berkelebat cepat, baik yang sudah almarhum mapun yang masih ada.

Lagu Nature Boy menghilang saat roda-roda pesawat terangkat dan tidak lagi menyentuh bumi. Bunyi tangkai roda pesawat terlipat untuk disimpan di tempatnya berderak-derak mengerikan dan getaran mesin menjalar sampai ke ruang bagasi di atas kepala jemaah.

Ketegangan ini mencapai lebih dari seperempat jam sebelum pesawat mencapai ketinggian sempurna 35.000 sampai 40.000 kaki. Bayangkan, betapa tingginya aku berada di angkasa, kurang lebih 1 kilometer tingginya!

Bisa kaubayangkan, kawan, dari ketinggian 10 meter saja jika terjerembab ke bawah, kau bisa mati. Ini ketinggian lebih dari 1 kilometer! Kaupasti sulit membayangkannya.

Bayangan kematian menjadi bagianmu jika terjadi suatu kegagalan dalam penerbangan ini. Tetapi ketika satu bayangan itu muncul, yaitu bayangan Kabah dan orang-orang yang rela mati untuk mencapainya, rasa takutmu hilang seketika!

Terlalu datar kalau kuceritakan 9 jam perjalanan dalam pesawat, salah-salah bisa monoton catatan perjalanannya sebab praktis tak ada yang bisa kulakukan. Baiknya kuceritakan saja perasaan saat-saat pesawat melewati miqat dan perasaan ketika aku dan jamaah lainnya dibimbing untuk mengucapkan doa Allahuma umrotan! La baika Aluhumma labaik... Aku datang memenuhi panggilanmu, ya Allah!

(Bersambung)

***

Catatan Sebelumnya:

[irp posts="1497" name="Dua Potong Kain Putih Bersahaja Cermin Buat Kita Kembali Pada-Nya"]