Dua Tahun Menjadi "Sopir Bus", Jokowi Belum Sampai Terminal Akhir

Sabtu, 22 Oktober 2016 | 06:35 WIB
0
450
Dua Tahun Menjadi "Sopir Bus", Jokowi Belum Sampai Terminal Akhir

Kekuasaan sering melenakan. Banyak yang terbuai, atau bahkan tertidur di atas kursi yang susah payah dikejar lewat pertarungan berat. Bagaimana dengan Joko Widodo? Ini menjadi pertanyaan sangat pantas untuk dimunculkan ketika eks wali kota Solo tersebut kini telah menjejak anak tangga kedua sebagai presiden, alias dua tahun menguasai republik ini.

Sorotan terbanyak mengemuka, presiden yang acap disapa Jokowi ini dinilai tak mampu melawan upaya partai-partai politik di lingkarannya untuk mendiktenya. Dari pemilihan para menteri yang kerap dituding lebih berlandaskan kepentingan partai, hingga keberadaan Megawati Soekarnoputri yang dinilai terlalu membayangi perjalanan Jokowi.

Sejauh ini, kebijaksanaan yang diperlihatkan Jokowi adalah berusaha keras untuk menunjukkan kinerja alih-alih membuang waktu untuk melakukan pembelaan. Walaupun, alih-alih mendapatkan apresiasi, berbagai tudingan miring yang cenderung mencelanya masih belum sepi.

Bagi para penyokong atau pendukungnya, celaan dari sebagian kalangan atasnya, terasa sebagai hal yang keterlaluan. Apalagi jika menyimak pada apa yang dipamerkan sebagian rakyatnya di media sosial, cukup mewakili beragam sudut pandang atasnya di mana kalangan masyarakat yang puas dan tak puas, tak lagi sekadar berlomba menunjukkan plus-minus melainkan melebar hingga perdebatan panjang.

[irp]

Itu hanya berdasarkan pengamatan pribadi. Berbeda jika menyimak dari penelitian yang langsung dilakukan beberapa lembaga survei.

Sebut saja  Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil surveinya mengenai kepuasan publik terhadap Jokowi-JK selama dua tahun terpilih sebagai presiden dan Wakil Presiden RI. Hasilnya, mayoritas warga menyatakan puas dengan kinerja Jokowi-JK selama dua tahun memerintah (sumber: Liputan6).

"Sebanyak 67 persen menyatakan puas dengan kinerja Jokowi, hanya 30 persen yang menyatakan kurang puas," ujar Direktur Program SMRC, Sirojudin Abbas, di kantor SMRC, Menteng Jakarta, Minggu (24/7/2016), seperti dilansir Liputan6.

Populasi survei SMRC ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.

Dari populasi itu dipilih secara random (multistage random sampling) 1.220 responden. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan berlangsung 22–28 Juni 2016.

Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.

Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1027 atau 84 persen. Sebanyak 1027 responden ini yang dianalisis. Margin of error rata-rata dari survei dengan ukuran sampel tersebut sebesar +/- 3.1% pada tingkat kepercayaan 95% (dengan asumsi simple random sampling) - sumber: liputan6.com

Tapi, tentu saja hasil survei itu bukanlah segalanya. Sebab masih ada kalangan yang mewakili kelompok yang merasakan ketidakpuasan.

Keberadaan politisi seperti Fahri Hamzah yang konon menjadi satu-satunya anggota legislatif independen, setidaknya mewakili kalangan tidak puas tersebut.

"Cara bekerja pemerintah harus diluaskan skalanya. Pak Jokowi masih bekerja dengan perspektif kota. Ini negara, bangsa dan besar lagi. Memerlukan narasi, percakapan tentang arah kita mau melangkah kemana sebagai bangsa. Kita enggak bisa tolerir presiden ke sana kemari pakai pesawat tapi dia enggak pidato. Yang kita perlukan pidato tentang arah," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2010, dikutip dari merdeka.com.

[irp]

Ya, FH -akronim politisi tersebut- menjadi representasi masyarakat yang masih kebingungan bagaimana mengukur sebuah pencapaian kinerja eksekutif.

Analogi yang digunakannya menarik, mengumpamakan negara selayaknya pesawat. Dan, ini tentu saja dapat dikatakan sebagai perspektif yang sangat mewakili kalangan mereka yang terbiasa berada di atas.

Sementara jika melihat dari perspektif lain yang lebih membumi, tentu saja analogi pesawat itu tidak tepat. Sebab, hambatan yang ada di atas awan dengan kendala yang ada di bumi jelas jauh berbeda.

Yang patut digarisbawahi, jika bersedia menggunakan perspektif lebih membumi, analogi lebih tepat diberikan mungkin adalah bus.

Selayaknya bus, ada begitu banyak orang yang harus diangkut oleh sopirnya. Harus dilihat juga, bahwa dia bukan sopir pertama. Kondisi bus pun terbilang sudah sangat lama tak terawat.

Ketika bus terbatuk-batuk, terkadang macet di jalan, para penumpang tak seluruhnya dewasa dan berpemikiran matang. Alih-alih bersedia melihat kondisi bus apa adanya, mereka mengajak mengkhayalkan mobil pribadi sekelas Lamborghini, Ferrari, dan selevel dengan itu.

Para penumpang yang lebih dulu masuk ke dalam bus pun, tak semua bersedia bercerita apa adanya, seperti apa situasi bus sebelumnya dan apa yang membedakannya dengan situasi terkini.

[irp]

Ada penyakit pada bus itu sendiri, dan penyakit pada penumpangnya sendiri. Dan, satu sisi, sopir pun memang terlihat terlalu kurus untuk membuang tenaga untuk berbicara terlalu banyak kepada mereka.

Komunikasi itu sejatinya memang dibutuhkan, setidaknya untuk menjelaskan rute-rute yang akan dilewati, hingga berbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan; dari jalanan yang buruk hingga medan perjalanan yang tak mudah.

Sebagian penumpang hanya berharap total pada sopir bus, bahwa hanya dia yang akan menentukan apakah mereka akan tiba ke terminal tujuan, menunda perjalanan, atau terus melaju. Sementara sopir harus mengambil keputusan itu secara bergantian, entah karena alasan keselamatan, atau agar menjaga para penumpang tak terlalu bergerak di dalam yang dapat memengaruhi pergerakan ban bus yang memang sekian lama tak terperhatikan, cukup laik jalan atau tidak.

Jokowi belum mengganti mesin bus itu. Ia masih menjalankan bus itu dengan mesin yang telah ada, tanpa dapat menggantinya secara total. Yang dilakukannya hanya melakukan servis, dan berusaha mengontrol kekuatan mesin, dan berbagai pernak-pernik di sekitar mesin, dan apa saja yang berpengaruh pada jalannya bus.

Masalahnya, sebagian penumpang lain kerap dibuat pusing, entah karena sesama penumpang yang terlalu bising, hingga karena masalah mereka yang tak dapat memahami, apa iya bus ini dibawa ke tujuan yang mereka inginkan bersama?

Keragu-raguan itu muncul tentu saja bukan karena tak ada penjelasan sama sekali dari sopir ataupun kondektur. Sebagian di antaranya, justru karena telah begitu bisingnya di dalam bus, sehingga penjelasan dari sopir dan kondektur, tak sepenuhnya sampai ke telinga mereka.

Tapi, memang tak berarti bahwa sopir memang telah sepenuhnya sempurna. Jika katakanlah pendapat seorang politisi yang mencermati kinerja Jokowi sebagai "sopir" cenderung bertendensi politis, tapi setidaknya ada beberapa lembaga lain yang mampu menyoroti beberapa hal yang memang masuk kategori sangat serius.

Persoalan HAM

Salah satunya, kasus pelanggaran HAM masa lalu lain yang menurut Imparsial (salah satu lembaga pemantau HAM) menilai masih banyak yang belum tuntas dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-JK seperti kasus tragedi 1965, Talangsari, kekerasan pasca jajak pendapat di Timor Leste, kasus 27 Juli, kasus Tanjung Priok, penculikan aktivis 1997/1998, kasus Semanggi I/II dan kasus Trisakti.

Di ranah lainnya, Institute for Development Economy and Finance (Indef) yang menyimpulkan bahwa dalam dua tahun pemerintah duet Jokowi-Jusuf Kalla, belum ada bukti yang menunjukkan kemampuan membangun kemandirian ekonomi, terutama yang berhubungan langsung dengan pangan.

Representasi Indef, Ahmad Heri Firdaus, menyitir catatan Global Food Security Index, yang menyebutkan bahwa posisi Indonesia kalah dibanding negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Posisi Indonesia pada tahun ini menempati peringkat 71.

"Kita negara agraris, negara sumber daya alam, namun kita kalah sama Vietnam di 57, Argentina 37, Malaysia 35. Memang ada perbaikan namun kita hanya naik 3 sampai 4 poin dari tahun lalu," pungkasnya.

[irp]

Masih menurut Indef, dunia industri juga menjadi bagian yang pantas jadi sorotan. Menurut mereka, sekalipun pertumbuhan ekonomi masih berkisar 5 persen, namun kontribusi sektor industri pengolahan atau manufaktur bagi pertumbuhan ekonomi semakin mengalami penurunan (sumber: merdeka).

Kemudian persoalan Hak Asasi Manusia pun tentu saja menjadi sorotan lainnya, di antara seabrek persoalan melingkari "sebuah bus" sebesar Indonesia. Ia kerap dinilai terlalu keras dalam melakukan tindakan hukum dan ini sempat beberapa kali menjadi sorotan internasional.

Narkoba, misalnya, kebijakan Jokowi dinilai terlalu keras. Ini juga yang sempat mengusik media sekelas BBC memberondongnya dengan isu tersebut.

Jawaban Jokowi

Namun ia memberikan jawaban yang memang lebih bertumpu pada visi yang diyakininya, yang satu sisi memang takkan mudah ditelaah oleh kalangan internasional, dan bahkan di kalangan rakyatnya sendiri.

"Jangan dilihat yang dieksekusi saja, lihatlah korban dari narkoba, sehari 30 sampai 50 generasi muda Indonesia mati karena narkoba. Sehingga harus dilihat korbannya, pengedarnya juga dilihat, jangan dilihat dari satu sisi," dia memberi klarifikasi atas tudingan miring atas sikap kerasnya.

Dan itu hanya sebagian dari gunung persoalan yang sempat mengemuka belakangan ini. Jokowi harus bekerja di tengah berbagai desakan, rakyatnya sendiri, publik internasional, dan tentu saja orang-orang di lingkarannya. Ada hal yang masih pantas diapresiasi, saya kira, terkait bagaimana ia menyikapi kompleksitas persoalan yang dihadapkan kepadanya.

[irp]

Menanggapi situasi yang kurang lebih sama, ekspektasi publik,  Jokowi sendiri sempat menjelaskannya seperti dilansir BBC, "Ya memang, harapan masyarakat terlalu besar, terlalu tinggi. Dan ya, itulah masyarakat kita. Tetapi apapun yang bisa saya kerjakan, saya akan bekerja keras untuk menyelesaikan, untuk agar harapan-harapan itu bisa terwujud, saya kira yang paling penting itu."

Tapi lagi-lagi, jika melihat dari kacamata "tengah", pemerintahannya masih dalam perjalanan. Bus baru saja berangkat melewati dua terminal.

Soal kepuasan, lupakan hasil survei, memang tak ada yang absolut. Paling tidak, masih ada beberapa terminal lain yang menanti, untuk mengukur sudah seberapa dekat bus ini berjalan ke tujuan. Tak perlu ribut, entah memaki karena kesal atau bernyanyi karena senang, karena ini masih dalam perjalanan.

***

[irp]