Antara SARA dan Sarah di Pilkada Jakarta, Mana Yang Lebih Seksi?

Rabu, 12 Oktober 2016 | 01:01 WIB
0
439
Antara SARA dan Sarah di Pilkada Jakarta, Mana Yang Lebih Seksi?

Sejatinya, persoalan SARA tidaklah selalu berarti sebagai hal yang tak menyenangkan. Terbukti, hampir semua lelaki pasti betah menatap Sara Azhari setiap kali tampil di layar televisi. Eh, itu Sarah. Tolong kembali pasang wajah serius Anda untuk membaca artikel ini lagi.

Ya, persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan, SARA itu tadi, memang sejauh ini terlihat masih sangat getol dimainkan, digoreng, dan diembuskan dari satu kontestan ke kontestan lain. Tak terkecuali menjelang pertarungan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017, terutama di DKI Jakarta, isu yang tak lucu itu masih terus dimainkan.

Bagi mereka yang melempar isu itu dengan mudah dapat ditebak, film mana yang pernah dimainkan Sarah Azhari yang paling disukai pria. Maaf, maksud saya, dapat ditebak bahwa arah mereka adalah menjatuhkan lawan sebelum sama-sama berada di atas ring. Itu menjadi strategi yang, maaf sekali lagi, sedikit mirip cara penjaja cinta.

Ya, seperti cerita seorang kenalan yang pernah menjadi pengguna jasa prostitusi, ada sebagian PSK yang memang melakukan berbagai cara agar "lawan" dapat tumbang dengan cepat.   Jika berhasil, selain mereka tak perlu terlalu lama menghabiskan waktu, mereka pun lekas mendapatkan uang, dan dapat segera menyasar mangsa-mangsa lainnya.

Sori, cerita itu memang kurang elok, mungkin, untuk dijadikan perumpamaan. Apalagi, cerita Pe-Es-Ka adalah cerita sedih. Bukan hal yang terlalu pantas diingat-ingat dengan lamunan sesempurna mungkin. Sedih, karena di sana banyak perempuan yang oleh kondisi hidup tak dapat muluk-muluk mengimpikan hidup yang berharga selayaknya manusia lainnya.

Tapi, kali ini tanpa sori, sejatinya mereka yang melakukan kampanye dengan cara-cara menggunakan isu SARA, pun tak lebih berharga dari para Pe-Es-Ka. Kenapa saya katakan seperti itu, karena Pe-Es-Ka hanya memiliki alasan-alasan sederhana saja dalam melakukan pekerjaannya. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari, setelah tak tahu lagi ke mana harus mengadukan nasib diri.

Tak ada niat mereka merampok uang negara, atau bahkan memiskinkan banyak orang. Jika ada hidung belang yang kemudian miskin, itu bukan kesalahan Pe-Es-Ka, melainkan hidung mereka saja yang gagal mengendus risiko-risiko dari kebiasaan buruk.

Juru kampanye pun, dalam politik, tak jarang bertingkah laku selayaknya para pria hidung belang. Mereka melihat aksi mereka itu sebagai aksi "menggagahi" yang menonjolkan kegagahan mereka, dan lawan harus dilihat lebih kecil dari mereka --dari kepentingan mereka.

Maka itu, isu-isu seputar SARA pun masih terus dipelihara untuk dikembangkan. Saking begitu tertariknya mereka pada pemahaman bahwa memainkan isu itu akan menguntungkan mereka, sampai mati rasa dan tak dapat merasakan lagi bahwa melihat wajah Sarah Azhari jauh lebih menarik daripada bermain-bermain begitu rupa.

Agak serius nih. Apa iya, isu SARA akan mampu memengaruhi alam pikir calon pemilih? Apakah calon pemilih akan menelan begitu saja setiap isu-isu yang dilemparkan? Mungkin. Bukan pasti.

Jika berkaca dari pengalaman terdekat, pada Pemilihan Presiden dua tahun silam, seperti apa kencangnya isu SARA dimainkan, hingga Sarah Azhari pun betul-betul tak pernah terlihat lagi di layar kaca.

Apakah dengan kencangnya isu itu lantas membuat pihak yang ingin didukung diuntungkan? Terbukti tidak.

Pertama, tak seluruh calon pemilih mudah dikecoh dengan hal-hal sepele seperti itu. Terlepas, mungkin iya, saat isu itu digulirkan akan mendapatkan sambutan sangat meriah di dunia media sosial. Tapi kemeriahan itu sendiri hanya berlangsung di media sosial. Sedangkan riilnya, masih sangat banyak masyarakat yang "lemah" dalam intelektualitas pun masih memiliki nurani yang dapat memilah mana yang pantas dan tidak.

Maka itu, saya pribadi kerap tercenung, ada apa kok kesannya isu SARA ini begitu diminati oleh kalangan politisi dan para propagandis yang mereka miliki. Sementara mereka, nyaris dapat dipastikan adalah orang-orang berpendidikan bagus, dan seyogianya memiliki kemampuan berpikir yang sepadan dengan itu.

Tapi, ibarat orang yang dapat menempuh perjalanan dengan kendaraan terbaik dan cepat, mereka memilih melangkah dengan tongkat. Mereka dapat saja melakukan upaya kampanye dengan "kendaraan terbaik", berisikan hal-hal terbaik yang dapat diangkat dan lebih memiliki ruh mendidik bagi calon pemilih.

Sayangnya mereka tetap memilih "tongkat", yang hanya ditujukan untuk melempari orang-orang. Saya sendiri, sebagai salah satu calon pemilih, lagi-lagi ingin menegaskan bahwa Sarah Azhari jauh lebih menarik daripada SARA.

Dan, saya percaya, pria terpolos se-Jakarta pun akan mengiyakan saya. ***