Jakarta sedang tidak terlalu panas hari ini, tapi di media sosial sedang panas-panasnya mengangkat isu dengan tema sangat potensial memancing keributan. Dari yang menyebut Basuki Tjahaja Purnama melecehkan Al Quran, hingga yang menudingnya menyebut kitab suci umat Islam membodohi orang-orang.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah calon gubernur petahana yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta. Pasangan ini diusung oleh PDIP, Golkar, Nasdem, dan Hanura, dan akan berhadapan dengan dua pasang calon gubernur Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Pemelintiran. Itulah yang terjadi. Terlebih isu tersebut diangkat lagi oleh media-media seperti Islamedia.id yang bahkan menulis judul: Dihadapan Warga Kepulauan Seribu, Ahok Sebut Al-Quran Sebagai Kitab yang Membodohi Umat Islam--dengan tata bahasa saja sudah keliru dengan penggunaan "di" dan "hadapan" yang ditulis menyatu.
Atau, media Tarbiyah.net, yang menayangkan berita berjudul Di Depan Warga Kepulauan Seribu, Ahok Sebut Surat Al Maidah 51 Membodohi Warga.
Sontak, jagat internet pun riuh dengan orang-orang yang dengan gampang dikompori. Berbagai caci maki hingga hujatan pun gencar, tak terkecuali akun Facebook pribadi saya sendiri.
Ya, jangankan Ahok, saya yang juga masih mendirikan salat dan dapat memamerkan bahwa masih melakukan ibadah-ibadah sunnah saja, tak ketinggalan jadi sasaran serangan. Dari yang mempertanyakan agama saya sebenarnya, hingga mendudukkan saya bukan lagi sebagai muslim.
Di sinilah saya tercenung, jika saya yang seagama dengan mereka saja bisa dihajar bertubi-tubi, apalagi Ahok.
Padahal, di status Facebook tersebut, saya hanya menulis bersifat ajakan, meski tak mengharamkan penggunaan kata "bedebah" yang saya tujukan kepada kalangan korup. Ya, ajakan untuk proporsional dan berpikir jernih melihat yang sebenarnya, apa iya Ahok melecehkan Islam dan Al Quran?
Berikut isi status Facebook saya yang panen hujatan tersebut:
"Dibohongin pakai surat Almaidah..." meluncur dari lidah Ahok. Disahuti kalangan latah dan gemar memupuk fitnah dan kebencian, dengan menafsirkannya sebagai "Pelecehan pada al Quran" hingga menyimpulkan bahwa Ahok menuduh "Allah pembohong".
Mereka enggan menggeser sudut pandang ke titik fakta bahwa memang sangat banyak orang-orang memainkan ayat itu hanya untuk memuaskan berahi politik, untuk mendukung calon penguasa yang kebetulan ber-KTP Islam, dan dilingkari manusia-manusia bedebah yang korup.
Jadi yang melecehkan Al Quran justru mereka yang menyebar fitnah dan menghasut cuma karena merasa mayoritas, dan karena kedangkalan otak mereka saja, sebenarnya.
Ya, status itu memang memiliki aroma geram yang terasakan oleh saya pribadi. Geram pada kebebalan dan kepicikan yang terkesan ingin terus dibiarkan dan terpupuk oleh sekelompok orang yang entah dari mana datang, namun terlihat jelas arahnya ke mana.
Status itu lalu panen hujatan. Tapi masih dapat saya sikapi secara tenang, lantaran juga berpikir, hujatan yang diterima Ahok jauh lebih besar dari yang saya dapatkan. Dan, meluruskan hal yang memicu hujatan itu, saya kira bukan sekadar membela petahana Gubernur DKI Jakarta ini, melainkan juga berharap agar tak ada lagi masyarakat muslim yang dimanfaatkan oleh kalangan yang diam-diam merindukan perang dan berharap berjihad di sana.
Itu menjadi salah satu pukulan paling besar yang terlihat betul-betul dimanfaatkan kalangan yang anti-Ahok, dan berambisi agar tak ada "orang kafir" yang menjadi penguasa. Bagi mereka, hanya yang seagama dengan merekalah paling pantas menduduki kursi kekuasaan, tak hanya di level presiden atau gubernur, tapi jika mungkin hingga level RT sekalipun.
Setidaknya, itulah kesan kuat yang mereka perlihatkan. Tak heran jika kemudian ada yang menentang kekejian mereka yang menghalalkan fitnah dan pemutarbalikan fakta, akan didudukkan sebagai bagian lawan yang harus diberangus, setidaknya lewat bully di jejaring sosial. Sebab, lebih jauh dari itu, meski di media sosial mereka terkesan sangat berani dan militan, tapi mereka masih penakut dan dapat dipastikan keder meski menghadapi polisi berpangkat terendah sekalipun.
Fenomena itu adalah realitas yang kini mencuat. Bahkan di Twitter "Al Maidah" sempat menjadi trending topic, lantaran salah satu surat dalam Al Quran inilah yang sempat disitir oleh Ahok, namun dipelintir oleh kalangan yang anti terhadapnya.
Lagi-lagi, saya pribadi masygul. Sebegitu mudah masyarakat muslim digiring dan diseret hingga melupakan nalar, dan menolak melihat suatu fakta secara apa adanya. Ketika diajak melihat dengan jernih, mereka lebih memilih menikmati kemarahan.
Tapi ini menjadi fakta yang memang tak berbeda dengan situasi yang sempat muncul di masa Pemilihan Presiden lalu. Saat seorang Joko Widodo yang seorang muslim pun tetap saja dijadikan sasaran hujatan hingga pelabelan kafir.
Satu sisi, tak mengherankan jika keberadaan Ahok yang memang berterus terang dirinya sebagai "kafir", menjadi sasaran empuk kalangan yang memiliki insting berupa kemarahan sangat tinggi, namun memiliki budi sebagai manusia rendah.
Kasus yang terjadi saat Ahok berbicara di depan publik Kepulauan Seribu, sejatinya adalah sikap nrimo Ahok, yang berterus terang menghargai sikap warganya jika memilih calon gubernur lain yang seagama.
"Kalau Bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin dengan surat Al Maidah 51, macem-macem itu. Kalo bapak ibu merasa, ga milih nih karena saya takut neraka, dibodohin gitu ya gapapa"
Itulah kalimat yang meluncur dari lidah Ahok, saat kunjungannya tersebut.
Betapa, bagi mereka yang punya rasa bahasa yang baik, kata dibohongi itu bukanlah merujuk bahwa Al Quran membohongi manusia. Melainkan, karena memang faktanya banyak yang membawa-bawa ayat yang masih terikat dengan asbabun nuzul dan zaman di mana ayat itu turun, hanya dijadikan dagangan segelintir orang untuk senjata politik saja.
Artinya, ia sedang menohok oknum-oknum yang merendahkan Al Quran sebagai alat untuk membodohi orang-orang!
Sayang sekali, entah karena merasa bahwa berburuk sangka kepada seorang kafir akan membuat Tuhan tersenyum, hingga kalimat Ahok itu pun dipelintir begitu rupa, dan hari ini memadati pembicaraan di berbagai media sosial.
Pertanyaannya, apakah lawan-lawan Ahok sesungguhnya di dunia politik tidak berkepentingan di tengah keriuhan itu? Apakah mereka takkan memanfaatkan isu itu sebagai senjata menjatuhkan petahana tersebut?
Mungkin tidak. Lawan-lawan politiknya takkan menjadikan itu alat kepentingan mereka. Dengan catatan jika memang moral mereka berpolitik memang sudah baik.
Tapi menyimak pada apa yang berkembang, terlihat jelas media mana saja dan berafiliasi ke mana saja, yang paling getol memanfaatkan kabar yang rentan dipelintir itu untuk kepentingan politik.
Akhir kata, saya hanya dapat berdoa saja bersama semua label kafir dan sesat yang juga dilekatkan ke kening saya pribadi, "Mudah-mudahan Tuhan turun tangan untuk mereka yang gemar membawa-bawa nama-Mu untuk membenarkan fitnah dan sikap keji kepada hamba-Mu yang di KTP-nya berbeda agama denganku itu."
Sebuah doa yang terus terang saya ucapkan dengan polos saja, karena percaya Tuhan tidak suka sesuatu yang dibuat-buat dan terlalu banyak bungkus yang menipu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews