DKI Butuh Pemimpin Asketis, Bukan Kampanye Berlabel Agama

Kamis, 29 September 2016 | 22:26 WIB
0
620

Konstelasi bursa Cagub-Cawagub DKI mencapai titik didih sepekan kemarin hingga kemunculan dua kandidat penantang petahana di menit-menit akhir. Temperatur mesin-mesin pemenangan yang sudah dipanaskan jauh-jauh hari, terus menanak sejumlah wacana dan peristiwa hingga menguap ke ruang publik. Salah satu diskursus paling hangat adalah kampanye berlabel agama yang mengarah pada segregasi muslim-nonmuslim atau kafir versus mukmin.

Diskursus politik bertipe itu pun nampak begitu sporadis. Beberapa teknik kampanye hitam (black campign), semisal pelabelan buruk (name calling technique) dan pernyataan negatif yang berefek domino (card stacking technique) berseliweran di media sosial, disebarluaskan oleh kelompok-kelompok kepentingan.

Agama menjadi materi propaganda paling seksi dengan teknik agitasi atas nama Tuhan. Orang-orang diundang ke Rumah Tuhan, lalu berdoa massal menolak kandidat yang tak seiman, seakan Tuhan (maaf) diajak urun berkampanye menjadi “jubir” pemenangan politik lima tahunan.

Sekelompok ormas dan parpol dengan klaim agamais, meyakini nasib baik DKI mutlak hanya akan terwujud lewat “konstitusi-konstitusi langit” yang mereka tafsirkan, terutama menyoal larangan memilih pemimpin kafir. Sehingga, persepsi publik akan substansi dari kontestasi DKI 1 menjadi sumir, antara dogma dan konstitusi. Mana hendak dipilih, menaati aturan Tuhan yang sebatas penafsiran sekelompok ormas, ataukah mengikuti konstitusi Indonesia? Saya yakin, kegalauan ini begitu dirasakan publik, terlebih konstituen DKI.

Kalau kita merujuk pada tesis Marx, rasanya kita tak lagi bisa menyangkal bahwa agama secara politik praksis difungsikan untuk memelihara status quo suatu kelas sosial yang berkuasa atas kelas sosial lain dalam masyarakat. Agama adalah "candu" kelas elite, dimana dalil-dalilnya digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dan mengeksploitasi konstituen.

Lantas, haramkah agama dikorelasikan dengan politik? Tentu tidak. Bila agama ingin ditarik ke ranah politik, maka kedua subjek ini lebih pas diakrabkan secara sosiologis, di mana semua agama dipandang sama dalam kehidupan sosial manusia, termasuk politik. Agama tak dipandang satu lebih baik dari yang lain, dan tidak membicarakan agama mana yang paling benar.

Dalam konteks pilkada DKI, head to head rancangan program kerja serta sikap proaktif menanggulangi masalah rakyat (reduced problem) merupakan modal dasar kontestasi. Sementara agama, diposisikan sebagai sumber laku etis politik. Sikap politisi senewen dapat dikerami dalam konsep asketisme politik, supaya mereka terlahir kembali sebagai politisi yang shaleh, jauh dari perilaku koruptif.

Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930), menjelaskan konsep asketisme politik sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakan demi kemaslahatan rakyat banyak.

Kita juga tentu mengenal istilah zuhud dalam khazanah sufisme, yang dalam term politik dimaknai sebagai sikap eskapisme atau mengalienasi diri dari syahwat politik, latihan hidup sederhana dan bersahaja. Asketisme politik lebih diarahkan untuk meningkatkan kesalehan berpolitik, baik di tingkat pribadi maupun institusional.

Pengarusutamaan literasi politik pun teramat penting. Bernard Crick dalam Essays on Citizenship (2000) menerangkan konsep ini sebagai senyawa pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Literasi politik tak sebatas pemenuhan kognitif tapi juga merangsang partisipasi aktif warga dalam setiap helatan politik.

Jikalau mesin-mesin pemenangan kandidat ingin bekerja efektif, maka model kampanye yang menyuguhkan paket-paket isu SARA seharusnya ditendang sejauh-jauhnya, sebab tak relevan lagi dengan tipologi pemilih DKI yang cenderung kritis dan rasional.

Kampanye kekinian haruslah berfokus pada rekam jejak kandidat, keunggulan leadership, konseptualisasi gagasan, proses marketing politik hingga konstruksi citra asketis, guna membentuk platform politik yang kredibel. Warga DKI tak butuh kampanye berlabel agama yang cenderung musiman itu, melainkan sikap asketis politisi dalam mengemban mandat elektoral.

***