Tiga partai politik bernafas Islam ini, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN), sudah mengusung calonnya pada ajang Pilkada DKI Jakarta dengan mendukung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Ketiga "partai hijau" ini berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD) dalam mengusung putra mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Bagaimana dengan "partai hijau" lainnya alias partai bernafas Islam di luar ketiga partai Islam dalam hal ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS)? Publik sudah mengetahuinya, bersama Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto, PKS mendukung pasangan Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno.
Merujuk kembali kepada pernyataan SBY bahwa pesta demokrasi untuk memilih gubernur DKI Jakarta sebagai "Pilkada rasa Pilpres", ada baiknya mengembalikan ingatan pada Pilpres 2014 lalu di mana PPP, PAN, dan PKS, dalam hal ini "partai-partai hijau", berlabuh ke dalam perkawanan besar bernama Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Prabowo sebagai motor penggeraknya.
Gerindra tentu saja masuk di dalam KMP, plus Partai Golkar yang dalam Pilkada ini mengusung gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Djarot Saiful Hidayat. PD tidak lagi direken sebagai bagian KMP karena sikapnya yang selalu "mengambang" bak sesuatu yang mengapung di atas air dan terbawa hanyut atau "berayun" seperti pendulum. PD tidak juga mendukung koalisi besar lainnya, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Menarik ditelisik, bahwa KMP atau mantan anggota KMP yang dulu terbentuk di Pilpres 2014, kini terpecah di tiga kaki pada Pilkada DKI Jakarta. PPP dan PAN bersama PD mendukung Agus-Sylviana, PKS yang membentuk koalisi dua partai alias Koduapa bersama Gerindra mendukung Anies-Sandiaga, dan Partai Golkar yang dulu juga bagian KMP mendukung pasangan Ahok-Djarot bersama PDIP, Nasdem, dan Hanura.
Pertanyaannya, dengan "diaspora" di tiga kaki semacam itu, bagaimana dengan loyalitas partai-partai politik itu kepada pasangan calon yang didukungnya?
Pertanyaan ini penting untuk diajukan karena sudah bukan rahasia umum lagi bahwa koalisi besar KMP saat ini tergembosi dengan hengkangnya PPP, PAN, dan Golkar yang berlabuh ke KIH. Anggota KMP saat ini hanya tinggal Gerindra dan PKS dan itu tercermin dari konsistensi keduanya dalam menyorongkan Anies-Sandiaga.
Melihat diaspora "partai-partai hijau" yang kini merapat ke PD dengan Agus-Sylviana sebagai calon yang diusungnya, sesungguhnya ini sangat menguntungkan pasangan Ahok-Djarot, apalagi jika Pilkada berlangsung dua putaran. Pilkada dua putaran dimungkinkan jika pada putaran pertama tidak ada pasangan calon yang sulit meraih suara 50 persen plus 1. Bagaimana hitung-hitungannya kok bisa dikatakan menguntungkan Ahok-Djarot?
Pertama, dengan adanya tiga pasang calon, jelas ini memecah suara "koalisi besar" pemilik 54 kursi DPRD yakni PPP, PKB, PAN, PD, Gerindra, dan PKS. Padahal, koalisi besar lainnya; PDIP, Golkar. Nasdem, dan Hanura memiliki kursi lebih sedikit, yakni 52.
Jika "Poros Cikeas" bersatu dengan "Poros Kertanegara" dalam mengusung pasangan gubernur dan calonnya, posisi Ahok-Djarot sungguh diujung tanduk banteng. Melihat jumlah kursi saja, meski hanya selisih dua kursi, Ahok-Djarot sudah kalah. Namun sayang, "Poros Baru" itu tidak lahir dari "Poros Cikeas" dan "Poros Kartanegara". Mereka pecah kongsi.
Kedua, jika Pilkada berlangsung dua putaran, loyalitas tiga "partai hijau" PPP, PKB, dan PAN benar-benar diuji; masuk final putaran kedua atau pun tersingkir. Jika masuk final di mana Anies-Sandiaga tersingkir, maka PPP, PKB, dan PAN bisa menjadi "musuh dalam selimut" bagi PD yang mengusung Agus-Sylviana".
Bisa saja keberadaan ketiganya di KIH akan membuat PD menaruh curiga, misalnya PPP, PKB, PAN justru menggembosi PD dari dalam. Bagaimanapun, tawaran kursi, posisi, dan jabatan di level nasional dari KIH jauh lebih menarik dan menggiurkan, bukan?
Bukan rahasia umum lagi, KIH di mana di dalamnya ada PDIP, sangat berkepentingan agar Ahok-Djarot memenangkan palagan Pilkada ini, meski Presiden Joko Widodo menyatakan "netral" alias tidak mendukung siapa-siapa.
Di sisi lain, jika yang masuk ke putaran kedua pasangan Anies-Sandiaga yang didukung Gerindra dan PKS, bisa dipastikan yang tersingkir di putaran pertama dalam hal ini PPP, PKB, PAN yang adalah anggota KIH akan melabuhkan dukungannya kepada pasangan Ahok-Djarot. PD yang biasa "mengambang" sejatinya akan bergabung bersama Gerindra dan PKS. Tetapi namanya "mengambang", bisa juga nyangkut di koalisi pendukung Ahok Djarot.
Melihat konstelasi politik yang asyik ini, wajar kalau semua pasangan calon ingin memenangi pertarungan cukup satu putaran saja. Akan tetapi, hal ini sulit dilakukan, bahkan oleh pasangan Ahok-Djarot sendiri.
Dan jika Pilkada berlangsung dua putaran, maka semua analisa di atas berlaku dengan keuntungan psikologis, matematis, dan faktor loyalis menjadi milik Ahok-Djarot.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews