Pemilu 2019, Hary Tanoe Harus Buktikan Perindo Bukan “Partai Simulasi”

Sabtu, 17 September 2016 | 10:31 WIB
0
586
Pemilu 2019, Hary Tanoe Harus Buktikan Perindo Bukan “Partai Simulasi”

“Partai-partai politik besar membunuh bayi partai-partai kecil, bahkan menghabisi partai yang baru lahir.”

Demikian analogi yang tepat saat partai politik yang belum memiliki kursi di DPR RI terancam tidak bisa mengusung calon presiden dan wakilnya pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang. Pasalnya, pemerintah mengusulkan hasil Pemilihan Legislatif 2014 digunakan parpol untuk mengusung calon presiden pada 2019.

Apa makna usulan pemerintah ini jika dikabulkan DPR?

Sudah pasti, partai yang pada Pemilu 2014 lalu tidak mendapat kursi seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), juga partai baru yang lolos verifikasi Kementrian Hukum dan HAM untuk ikut Pemilu 2019 seperti Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Islam Damai Aman (Idaman), tidak bisa mencalonkan calon presidennya.

Padahal, PBB memiliki Yusril Ihza Mahendra yang kini sedang berjuang untuk menjadi bakal calon gubernur DKI Jakarta, PKPI punya AM Hendropriyono yang baru dilantik, Perindo punya Hari Tanoesoedibjo yang sudah beriklan sekian lama tentang partai dan dirinya di televisi miliknya serta mejeng di ruang-ruang publik, dan Idaman punya Rhoma Irama yang popularitasnya sudah tidak diragukan lagi.

Jika aturan ini disepakati, sudah barang tentu keempat nama itu tidak akan pernah bisa menjadi bakal capres pada Pilpres 2019. Dari keempat nama itu harus diakui, Hary Tanoe-lah yang paling siap menghadapi Pilpres 2019 mendatang. Mengapa paling siap?

Pertama, tentu saja karena Perindo sudah pasti dapat mengikuti Pileg 2019 untuk pertama kalinya. Kedua, Hary Tanoe selain sering mengiklankan partai yang dibentuknya di jaringan stasiun televisi miliknya, juga mengiklankan gambar dan sosok Hary Tanoe sendiri dalam ukuran besar di beberapa sudut kota kabupaten sampai kecamatan di kota-kota padat penduduk di Indonesia.

Memang gambar Hary Tanoe dengan pose ganteng dan berwibawa serta tangan yang ditangkup di depan perut itu tidak mengabarkan dirinya sebagai Capres 2019 dari Perindo. Tetapi publik yang melihat poster atau baliho raksasa di sudut-sudut kota itu mafhum, Hary sedang mengupayakan dirinya menjadi bakal capres dengan kendaraan yang dibentuknya, Perindo, sebagai manifestasi hak politiknya.

Sebagai partai baru, popularitas Perindo memang melejit, setidak-tidaknya dikenal anak-anak yang mahir melantunkan mars Perindo yang berungkali diperdengarkan di jaringan televisi MNC miliknya, melebihi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang hanya sekali putar di awal siaran.

Disusul kemudian aktivitas Hary di berbagai kesempatan, termasuk “blusukan” ke pesantren untuk menemui para kyai, tidak terbilang saat Hary menyapa orang papa dan anak-anak tidakmampu. Sebelum mendirikan Perindo, Hary sempat berlabuh di Partai Nasdem dan singgah sesaat di Partai Hanura.

Sudah barang tentu popularitas Perindo jauh lebih melejit ketimbang Partai Idaman milik Bang Haji Rhoma sekalipun, bahkan lebih terkenal dari PBB dan PKPI, dua parpol yang pada Pileg 2014 gagal meraih kursi. Perindo dengan Hary Tanoe-nya adalah partai yang paling siap pada Pileg maupun Pilpres 2019 sebelum petaka itu datang.

Petaka di sini tidak lain diserentakkannya Pileg dan Pilpres secara bersamaan sehingga melayanglah harapan Hary dapat diusung Perindo sebagai bakal capres.

Partai "Hiperealitas”

Merujuk pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008, maka parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai rapat terbatas mengenai RUU Pemilu di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa 13 September 2016 meminta agar partai berlomba dulu sebelum bisa mengusung capresnya.

Maksud “berlomba” di sini agar partai-partai kecil yang tidak mendapat kursi seperti PBB dan PKPI serta partai baru yang sudah berhak ikut pemilu seperti Perindo dan Idaman berjuang untuk mendapatkan suara untuk ditukar menjadi kursi DPR sebanyak-banyaknya.

Tjahjo juga tidak menampik kemungkinan adanya satu partai baru yang akan lolos seleksi di Kementerian Hukum dan HAM dan bahkan sudah bersiap mengusung calon presiden namun ia meminta parpol baru tersebut untuk bersabar.

Meski tidak menyebut nama kira-kira yang dimaksud Tjahjo adalah Perindo. “Ada satu partai baru yang sudah siap capres, ya nanti di 2024," kata Tjahjo.

Pasalnya, hasil Pileg 2014 bakal digunakan parpol untuk mengajukan calon pada Pilpres 2019 karena pileg dan pilpres digelar serentak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Alhasil, hasil Pileg 2019 tidak bisa digunakan untuk mengusung calon.

Celakanya, aturan mengenai pileg dan pilpres serentak bakal dirumuskan dalam draf revisi UU Pemilu yang diusulkan pemerintah dan akan segera diserahkan ke DPR untuk pembahasan lebih lanjut.

Meminjam istilah filsuf Perancis Jean Baudrillard mengenai konsep simulacra atau simulacrum, bahwa realitas sosial yang tercermin di media massa itu hanya sekadar simulacrum atau simulasi belaka, Hary Tanoe harus membuktikan pada Pileg 2019 ini bahwa Perindo bukanlah “Partai Simulasi”, bukan pula “Partai Hiperealitas” sebagaimana terkenal di televisi miliknya, melainkan partai nyata yang membumi sehingga menjadi pilihan publik, setidak-tidaknya alternatif yang baik dari partai-partai politik yang ada.

Merujuk Undang-Undang Dasar 1945 jelas disebutkan, calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik peserta pemilu. Tidak ada pasal yang mengatur mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sehingga wajar ketentuan mengenai ambang batas dalam RUU Pemilu yang baru selayaknya dihapus untuk memenuhi azas keadilan.

Jika aturan ini dihapus atau gagal disepakati, sudah pasti Hary Tanoe bisa mencalonkan diri di Pilpres 2019 dengan catatan Perindo mendapatkan kursi signifikan minimal 20 persen dan kalau pun kurang dari itu bisa berkoalisi dengan partai lain.

Sebaliknya, jika DPR sepakat dengan pemerintah mengenai diadakannya Pileg dan Pilpres serentak di Pemilu 2019, Hary Tanoe harus mengubur cita-citanya, setidak-tidaknya sampai pada Pilpres 2024 mendatang.

Namun, Tjahjo bersikukuh bahwa hasil Pileg 2014 bakal digunakan sebagai syarat pencalonan presiden karena pada 2019 pemilihan legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, hasil Pileg 2019 tidak bisa digunakan untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Di dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 diatur bahwa parpol atau gabungan parpol minimal harus mengantongi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Aturan mengenai hal inilah yang akan dirumuskan dalam draf revisi UU Pemilu yang baru.

Dengan aturan yang dibuat pemerintah ini, maka partai yang bisa mengikuti Pemilihan Presiden 2019 mendatang adalah 10 parpol yang kini memiliki kursi di DPR sebagai berikut;

1. Nasdem 8.402.812 – 6,72 persen

2. PKB 11.298.957 – 9,04 persen

3. PKS 8.480.204 – 6,79 persen

4. PDI Perjuangan 23.681.471 – 18,95 persen

5. Golkar 18432312 – 14,75 persen

6. Gerindra 14.760.371 – 11,81 persen

7. Demokrat 12.728.913 – 10,19 persen

8. PAN 9.481.621 – 7,59 persen

9. PPP 8.157.488 – 6,53 persen

10. Hanura 6.579.498 – 5,26 persen

PBB berada di urutan 11 dengan perolehan suara 1.825.750 atau 1,46 persen, disusul PKPI dengan 1.143.094 auara alias 0,91 persen.

***