PKS, Parpol di Balik Makin Pecahnya Koalisi Kekeluargaan

Minggu, 11 September 2016 | 22:55 WIB
0
538
PKS, Parpol di Balik Makin Pecahnya Koalisi Kekeluargaan

Segala rencana yang diniatkan untuk menghancurkan seseorang apalagi dibangun dengan fondasi kemarahan sesaat dengan semangat menjegal, biasanya hasilnya tidak akan pernah baik. Sejarah telah sering membuktikannya. Situasi yang kurang menguntungkan ini menimpa koalisi 7 partai politik yang menamakan diri Koalisi Kekeluargaan alias KoKeluar yang terancam bubar.

Ibarat daun yang jatuh berguguran di musim semi, ketujuh parpol itu sedang melayang-layang tertiup angin dan terancam jatuh berserakan menimpa bumi. Padahal lahirnya KoKeluar dibarengi semangat menjegal calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Jika pada masa lalu ketidakkompakan KoKeluar akibat belum berhasilnya mengusung bakal calon gubernur dan wakilnya, ditambah  pembentukan koalisi itu tidak atas restu masing-masing ketua umum partai, sekarang ancaman bubar jalan itu atas hadirnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tiba-tiba memunculkan Mardani Ali Sera selaku bakal calon wakil gubernur mendampingi Sandiaga Uno.

Sekadar mengingatkan kembali, KoKeluar dideklarasikan oleh 7 pentolan parpol level Jakarta, yakni Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta Nahrowi Ramli, Ketua Umum DPW PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo, Ketua PLT DPD PDIP DKI Jakarta Bambang DH, Ketua DPW PAN Eko Patrio, Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta M. Taufik, Ketua DPW PPP DKI Jakarta Abdul Azis, dan Ketua DPW PKB DKI Jakarta Hasbiallah Ilyas.

Sering disebut-sebut inisiator KoKeluar adalah Bambang Dwi Hartono alias Bambang DH yang saat itu menjabat Ketua PLT DPD PDIP DKI Jakarta. Meski Bambang diakui bukanlah “yesterday afternoon poltician”, namun kader tulen PDIP yang pernah menjabat Walikota Surabaya ini akhirnya tergelincir dengan dicopot selaku Ketua PLT DPD PDIP beberapa hari setelah menginisia terbentuknya KoKeluar.

Kegalauan KoKeluar sudah terlihat sejak awal pembentukan kongsi dengan semangat menjegal Ahok dengan gagalnya mengusung pasangan bakal calon gubernur Jakarta dan wakilnya. Kendati Gerindra ada di dalamnya dan sudah mengusung nama Sandiaga Uno, toh KoKeluar tidak berani mencarikan pasangan Sandiaga agar tidak jomblo, setidak-tidaknya menyebut pasangan calon.

Keretakan sudah semakin nampak ketika Sandiaga Uno mengumumkan pasangannya yang dianggap oleh beberapa anggota KoKeluar sebagai "sepihak", yakni dengan mendudukkan Mardani selaku bakal calon wakil gubernur.

Padahal, Gerindra dan PKB sebelumnya sudah menjalin keakraban dengan harapan orang yang ditunjuk selaku wakil Sandiaga adalah sosok yang disetujui PKB. Bagi Sandiaga yang memang sudah lama menjomblo dan ngebet mencari pasangan, masuknya PKS yang memiliki 11 kursi DPR adalah oase di tengah gersangnya padang pasir bakal calon.

Dengan 26 kursi di tangan, Gerindra dan PKS cukup membentuk koalisi dua partai alias KoDuapa tanpa harus berteman dengan partai lainnya. Alhasil, Sandiaga-Mardani seperti melambaikan tangan perpisahan kepada partai-partai lainnya.

Tak pelak, yang pertama berang adalah PKB karena merasa didepak begitu saja dan tidak pernah diajak bicara sebelumnya, mentang-mentang hanya memiliki 6 kursi DPRD saja. Di bawah Ketua PWNU Jakarta Saefullah yang juga Sekretaris Daerah DKI Jakarta, ia langsung menggaet Yusril Ihza Mahendra untuk bermanuver membuat "Poros Baru". Poros baru ini berpotensi mengusung pasangan bakal calon gubernur dan wakilnya sendiri.

"PKB dan PKS itu susah menyatu. Politik memang elastis. Kalau PKB dukung Yusril, ini juga unik. Artinya Masyumi rangkulan sama PKB yang representasi NU, bisa-bisa perolehan suara pasangan Sandiaga-Mardani paling buncit alias jurukunci," kata Anto Kasihanto, pengguna Facebook yang menanggapi ulasan PepNews! sebelumnya.

Ada benarnya. Sandiaga-Mardani pasangan yang sebelumnya kurang dikenal, khususnya sosok Mardani, meski Sandiaga lumayan menonjol. Nama Yusril, Ahmad Dhani dan Yusuf Mansyur jauh lebih populer di kalangan warga Jakarta. PKB mau tidak mau harus berkongsi dengan PPP dan mencari teman koalisi lainnya agar bisa menggenapi 22 kursi sebagai syarat minimal pencalonan.

Celaka 13 kalau PPP melirik Yusuf Mansyur, misalnya, secara perolehan kursi PPP yang 10 kursi jauh lebih banyak dibanding PKB yang hanya memiliki 6 kursi. Dengan berkongsi saja PD (10 kursi) , PAN (2 kursi), dan PPP (10) kursi, maka total 22 kursi cukup untuk membuat "Poros Baru" yang justru dicita-citakan dan diniatkan PKB. Maka boleh dibilang, jika tidak pandai pandai menyiasati perkoncoan, PKB akan ditinggalkan kawan-kawan. Kalau sudah begini kejadiannya, hal paling praktis adalah melabuhkan dukungan kepada pasangan kuat yang hampir pasti menang.

Keruwetan semakin bertambah ketika PPP yang secara politis dan ideologis sulit berbaur dengan PKS menyatakan tidak mau atas keberadaan PKS yang datangnya terkesan tiba-tiba tanpa pembicaraan sebelumnya. Alhasil, PPP pun ogah mendukung Sandiaga. Memang dengan 26 kursi KoDuapa, yakni koalisi dua partai (Gerindra dan PKS) cukup mengusung pasangan calon, tetapi sudah dipastikan bakal minim dukungan.

***