Politikus Partai Demokrat Sebut Arcandra "Pengkhianat", Mengapa?

Kamis, 8 September 2016 | 00:11 WIB
0
555
Politikus Partai Demokrat Sebut Arcandra "Pengkhianat", Mengapa?

Angka 20 memiliki arti penting bagi mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar. Selama 20 hari ia tercatat sebagai menteri, selama 20 hari pula dia menjalani hidup tanpa kewarganegaraan alias stateless. Namun pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, tanggal 10 bulan 10 (dijumlahkan 20) tahun 1970 ini mengakhiri masa stateless-nya setelah pemerintah menetapkan Arcandra sebagai Warga Negara Indonesia.

Penetapan Arcandra sebagai WNI pada 1 September 2016 lalu itu dikemukakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR, Rabu 7 September 2016. SK Menteri Hukum dan HAM itu bernomor AHU-1 AH.10.01 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia atas nama Arcandra Tahar. Keputusan itu berdasarkan pemeriksaan dan tindak lanjut atas dwikewarganegaraan Arcandra.

"Arcandra Tahar dilahirkan di Padang, tanggal 10 Oktober 1970, karena pertimbangan atas perlindungan maksimum, serta bersangkutan akan menjadi tanpa kewarganegaraan, tetap menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia," demikian bunyi putusan yang ditandatangani oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkum HAM Freddy Harris atas nama Menteri Hukum dan HAM.

Adanya penetapan Arcandra sebagai WNI melalui SK Menteri Hukum dan HAM itu mengindikasikan bahwa selama 20 hari Arcandra berstatus penduduk tanpa kewarganegaraan. Hal itu terjadi ketika pada 12 Agustus lalu ia melepaskan kewarganegaraan Amerika Serikat, tiga hari sebelum Presiden Joko Widodo memberhentikannya selaku Menteri ESDM.

Bicara angka 20 tentu tidak menarik perhatian karena mungkin hanya kebetulan belaka. Lebih menarik adalah bicara tentang kemungkinan apakah Presiden Joko Widodo akan mengangkat kembali Arcandra Tahar selaku Menteri ESDM atau mencari Menteri ESDM yang benar-benar baru. Namun melihat betapa cepatnya pengembalian status Arcandra sebagai WNI yang cuma 20 hari, kemungkinkan Jokowi menempatkan kembali Arcandra di posisi semula sangat besar.

Arcandra "Pengkhianat"

Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil langsung bereaksi dan mempertanyakan kepatutan apabila Arcandra kembali dilantik jadi Menteri ESDM. Kalau layak barangkali layak, katanya, tapi apa memenuhi unsur kepatutan karena sudah diberhentikan lalu dikembalikan lagi. "Jangan blunder lagi. Jangan terperosok ke lubang yang sama lagi," politikus PKS ini mengingatkan sebagaimana dikabarkan Detikcom.

Reaksi sangat keras soal pengembalian status WNI Arcandra ditunjukkan Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman usai Yasonna mengumumkan penetapan status Arcandra sebagai WNI. Tanpa tedeng aling-aling, Benny menyebut Arcandra sebagai pengkhianat.

"Jangan karena untung di sebelah dia keluar sebagai WNI, lalu untung di sini kembali lagi jadi WNI. Pak Menteri (Yasonna) mengukuhkan, aturan dari mana? Kan bukan kita yang buat stateless. Kalau negara yang buat stateless masuk akal. Dia (Arcandra) 'kan pengkhianat! Yang sudah lama hidup di sini minta kewarganegaraan dipersulit. Ini jelas-jelas pengkhianat, kok tiba-tiba ada peneguhan," kata Benny sengit.

Berbeda dengan Benny, politikus PPP yang juga anggota Komisi III DPR Asrul Sani membela Arcandra. Arsul menilai pendapat Benny itu lebih karena konteks politik. "Secara hukum, pengembalian status WNI Arcandra bisa diterima," katanya.

Benny K Harman adalah politikus dari Partai Demokrat. Pernyataan kerasnya yang menyebut Arcandra "pengkhianat" mau tidak mau menimbulkan pertanyaan publik; ada apa ini?

Meski hanya 20 hari menjabat Menteri ESDM, namun sebagaimana dikemukakan Menteri ESDM ad interim Luhut Panjaitan saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Arcandra telah melakukan sejumlah gebrakan. Menurut Luhut, berkat kejelian Arcandra biaya investasi Blok Masela bisa turun dari US$ 22 miliar menjadi US$ 15 miliar.

Luhut juga menyebut Arcandra membantu mempercepat pengembangan Blok East Natuna dan berjasa dalam mendorong Pertamina memulai investasi di Blok Mahakam pada 2017 untuk mencegah anjloknya produksi gas di sana pada 2018. Selain gebrakan-gebrakan yang disebut Luhut tadi, Arcandra disebut-sebut akan memberantas mafia migas yang selama ini masih bergentayangan.

Masih ingat PT Petral? Petral adalah kependekan dari PT Pertamina Energy Trading Limited yang secara resmi telah dibubarkan Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla.  Alasannya, keberadaan Petral tidak memberi perbaikan pada bisnis Pertamina. Sebaliknya, justru malah menggerogoti induk perusahaan Pertamina. Terlebih-lebih, margin keuntungan dari impor migas yang luar biasa besar hanya dinikmati segelentir mafia dan kroninya. Pembubaran Petral saat itu memunculkan polemik dan menyeret-nyeret sesosok "nama besar".

Petral seharusnya dibubarkan sejak 2006 silam jauh sebelum Jokowi-JK membubarkannya, namun gagal. Mengapa gagal dibubarkan? Karena ada "orang kuat" di belakang yang melindungi Petral. Dahlan Iskan yang hendak membubarkan Petral saat itu juga gagal total, yang ada malah tiga kali ia dipanggil ke Istana, sebagaimana pernah diungkapkan mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri.

Kemungkinan besar para mafia yang pada masa lalu menangguk untung ratusan bahkan ribuan triliun rupiah dari perdagangan migas itu saat ini menyimpan uangnya di luar negeri. Namun seiring pemberlakuan Tax Amnesty, mau tidak mau pilihannya membawa kembali duit triliunan itu ke Indonesia, sekaligus minta diampuni. Kalau tidak, batas waktu pengungkapan harta perseorangan yang disimpan di bank-bank luar negeri pada 2018 akan datang juga.

Jika pengungkapan itu terjadi, maka malunya akan merembet sampai tujuh turunan bagi seseorang yang terbongkar menyimpan uang hasil "jualan" minyak dengan jumlah fantastis dan menyimpan uangnya tersebut di bank-bank luar negeri. Kini ruang gerak para mafioso migas memang semakin sempit.

***