Barak dan Penjara Monumen Derita Masa Silam [Pulau Galang 5]

Jumat, 5 Agustus 2016 | 12:43 WIB
0
603
Barak dan Penjara Monumen Derita Masa Silam [Pulau Galang 5]

Sebuah plang bertuliskan “KHONG PAN SU CAM PAO” membawa saya ke dua buah barak berbentuk “L” bekas penampungan pengungsi Vietnam yang lokasinya berada di tanah rendah. Itu adalah dua dari puluhan barak yang pernah berdiri di sana, yang kini diabadikan sebagai kenangan, tragedic of the past.

Meski sudah menjadi “monumen” yang semestinya diurus agar pesan masa silam bisa sampai kepada generasi berikutnya, nampak tidak terurus dan menuju kehancuran total. Atap barak yang terbuat dari seng dengan dinding kayu itu keadaannya menyedihkan, sama seperti nasib penghuninya di masa silam.

Beberapa bagian seng sudah terangkat dan mengelupas karena akumulasi panas-dingin dipermainkan irama alam, terseret pergantian siang-malam. Sebagian tiang penyangganya sudah terkulai dimakan rayap. Kalaupun masih ada tiang yang berdiri, barangkali dengan dorongan kelingking saja tiang itu sudah rubuh.

Ukuran satu barak cukup luas, yang saya perkirakan bisa menampung ratusan jiwa. Saya teringat rumah gadang di Sumatera Barat yang bisa menampung puluhan keluarga, tentu saja keluarga dekat atau sanak-saudara yang masih dalam satu garis keturunan. Di barak ini, yang dalamnya melompong begitu saja, terserak ratusan jiwa yang tidak berasal dari satu klan. Bisa jadi satu sama lain tidak saling mengenal.

Bisa dibayangkan perkembangan psikologi penghuni di dalamnya, saat anak-anak mendengar bahkan menyaksikan “kegiatan” orang dewasa yang sebenarnya belum waktunya mereka saksikan. Sebaliknya, lelaki dewasa tergiur dengan gadis remaja yang beranjak dewasa, yang tertidur merana di sana. Semoga gadis itu bukan Nguyen, gadis Vietnam yang masih menancap dalam ingatan saya.

Di Pulau Galang, pulau berhutan karet seluas kurang lebih 80 hektar ini, barak para pengungsi Vietnam (beberapa di antaranya juga pengungsi Kamboja) terkonsentrasi di dua sayap. Saya memusatkan pada Khong Pan Su Cam Pao ini. Barak yang sudah terkepung rumput tinggi ini, kini dibiarkan kosong.

Dari foto-foto lama yang dipajang di kuil Quam Am Tu (akan saya ceritakan dalam tulisan seri terakhir), saya bisa merekonstruksi para pengungsi itu tengah melakukan kegiatan sehari-hari. Mulai menanak nasi, mandi, mencuci, sampai sesekali berinteraksi dengan penduduk lokal.

Dalam satu barak lainnya yang agak tinggi lokasinya, beberapa penduduk lokal nampak tengah bercengkerama. Sebuah tali jemuran terentang dipenuhi pakaian. Benar-benar tidak menunjukkan monumen sesungguhnya, yang sebaiknya dijadikan cermin sebuah perjalanan hidup manusia yang tidak boleh menimpa generasi berikutnya. Perang dimanapun tidak membawa kemenangan, tetapi membawa kesengsaraan.

Tahun 1996 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Bosnia, Kroasia, dan bahkan sempat melintas Serbia. Khususnya di Bosnia, dengan bantuan pengamanan pemerintah setempat dan PBB, saya melihat-lihat keganasan perang di bekas kamp-kamp penyiksaan tentara Serbia terhadap warga Bosnia. Sebuah pembersihan etnis yang gila-gilaan yang tidak menyisakan rasa kemanusiaan, juga rasa belas kasihan.

Waktu itu seorang warga Bosnia menjelaskan, hampir semua lelaki Bosnia yang tertangkap dibantai tanpa ampun oleh anak buah Slobodan Milosevic, sementara perempuan Bosnia diperkosa ramai-ramai, bergiliran, hanya sekadar untuk mengaburkan identitas Bosnia, agar nama Bosnia lenyap dari muka Bumi. Seluruh akta atau keterangan dibakar, dari KTP sampai rekening bank, sehingga orang Bosnia bukanlah siapa-siapa. Itulah perang. Di Bosnia, di Maluku, di Vietnam, perang sama saja; membawa petaka dan derita.

Manusia perahu dari Vietnam umumnya membuka mata dan perhatian dunia akan sebuah petaka perang yang berimbas pada derita orang. Di Pulau Galang, pengungsi ini mendapat perhatian penuh badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR). Melihat jejak sejarah yang ditinggalkan, Pulau Galang dengan pengungsi Vietnam di dalamnya merupakan sebuah “pemerintahan” ad interim (sementara), setidak-tidaknya ada administrasi yang mengatur warga pengungsi, entah itu diatur UNHCR yang bekerja sama dengan Otorita Batam. Mulai fasilitas kesehatan, sekolah Perancis yang dekelola LSM Perancis Ecoles Sans Frontieres (sekolah tanpa batas), sarana ibadah, kuburan, sampai penjara!

Penjara? “Ya, penjara untuk pengungsi yang melanggar aturan,” jelas John, sopir yang mengantar saya. Saya memintanya menepi. Saya ingin melihat penjara itu dari dekat. Saya kembali teringat novel itu. Dalam salah satu bagian, si gadis melankolis Nguyen pernah dianggap melanggar aturan dan dijebloskan ke dalam penjara. Inikah penjara tempat dimana Nguyen pernah mendekam?

Saya meminta izin kepada petugas jaga untuk mengabadikan penjara berjeruji besi itu. Saya cermati dengan saksama, hanya ada dua sel dengan jeruji panjang-panjang membentuk pintu lipat berjeruji besi. Sehingga yang saya bayangkan, siapapun yang berada di dalamnya akan terlihat jelas dari luar. Sengajakah untuk mempermalukan si pelanggar aturan? Saya tidak tahu. Yang jelas, dua sel penjara itu bagian dari bangunan dua tingkat di mana keduanya berada di bawah. Di atas penjara itu ada kamar-kamar dengan jendela kaca. Untuk apa sebenarnya bangunan itu?

Saya kemudian menemukan jawaban atas pertanyaan itu bukan dari John, sopir sekaligus pemandu saya, tetapi dari sebuah plakat yang terdapat di samping halaman depan bangunan itu. Begini bunyinya:

“Bangunan ini selain menjadi markas satuan Brimob Polri yang bertugas di ex-camp pengungsi Vietnam, juga berfungsi sebagai tempat tahanan para pengungsi,” demikian alinea pertama yang saya baca. Saya harus mengakui bahwa informasi John akurat sampai di sini.

Alinea kedua, “Pengungsi yang ditahan di tempat ini adalah mereka yang mencoba untuk melarikan diri dari camppengungsian dan yang bertindak kriminal seperti mencuri, memperkosa, dan membunuh sesama pengungsi.”

Saya agak bergidik membaca kata-kata kriminal seperti mencuri, memperkosa, membunuh. Saya bahkan tidak menyadari kalau saya sebenarnya sedang traveling dan seharusnya merasakan hal yang happy-happy saja.

Saya mengenyahkan argumen bahwa traveling itu hanya untuk senang-senang. Bagi saya, traveling juga bisa berarti kegiatan menggali ilmu pengetahuan di lapangan, memuaskan rasa ingin tahu, mengenal wilayah dan mengenal seni budaya masyarakat setempat.

Mencuri. Memperkosa. Membunuh.

Benarkah itu dilakukan pengungsi Vietnam? Benarkah orang-orang yang menderita itu saling menikam dan menghabisi sesamanya sehingga diperlukan dua sel penjara ini? Kalau demikian, apa kesalahan Nguyen saat itu? Semoga gadis itu bukan salah satu korban perkosaan atau bahkan korban pembunuhan!

Saya meneruskan membaca alinea ketiga dan keempat plakat itu:

“Operasional bangunan ini diserahkan kepada pemerintahIndonesia dalam hal ini oleh Satuan Brimob Polri.”

“Seiring dengan peninggalan pengungsi pada tahun 1996, satuan Brimob yang bertugas di sini ditarik kembali ke markasnya di Batam kemudian bangunan ini diserahkan kepada Otorita Batam. Saat itu kondisi bangunan sudah mengalami banyak kerusakan sehingga oleh Otorita Batam diperbaiki kembali.”

Saya menarik napas panjang selepas membaca alinea terakhir plakat itu.

Tidak terasa, isi kepala saya dengan cepat merekonstruksi apa yang terjadi sekitar 30-an tahun lalu meski dengan ingatan yang sepotong-sepotong, saat prahara politik mendera kawasan Indochina di utara kita, khususnya Vietnam dan Kamboja. Orang-orang Vietnam berjudi nasib menjadi manusia perahu, terapung berbulan-bulan di tengah lautan tanpa kepastian. Sementara orang Kamboja yang tidak sempat mengungsi menjadi korban pembantaian rezim Khmer Merah di ladang pembantaian (The Killing Fileds), sebelum Komunis Vietnam menginvasi negeri ini. Di Kamboja ini, jutaan manusia terbantai sebelum mampu menjadi manusia perahu. Sekali lagi, itulah ganasnya perang!

Saya menyudahi “ziarah” kenangan saya di penjara Pulau Galang ini, sambil sesekali mengenang dan membayangkan Nguyen berdiri di kaki bukit di samping gereja, melambaikan tangan mengajak saya untuk mendengarkan segala ceritanya. Tetapi itu tidak akan pernah pernah terjadi, sebab Nguyen hanya ada dalam fantasi saya saja. Besok saya akan akhiri perjalanan ke Pulau Galang ini dengan menulis tentang religiositas para pengungsi Vietnam yang diwujudkan dalam sebuah kuil dan gereja di sana.  (Bersambung)

***