3 Jenis Media Ini Perlu Digunakan Dalam Kampanye Pilgub DKI Jakarta

Selasa, 25 Oktober 2016 | 11:00 WIB
0
467

Demi mencapai tujuan politik yang ditargetkan para kontestan dalam fase kampanye Pilgub DKI Jakarta kali ini, dibutuhkan berbagai varian strategi pada tataran praktis yang sesuai dengan konstelasi persaingannya. Di sini, pernyataan Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication bahwa “politics in the age of mediation” tak bisa dihindari.

Proses pemasaran politik tak lagi bertumpu pada teknik retorika dalam kampanye-kampanye di panggung terbuka, melainkan mulai memanfaatkan perkembangan media dan teknologi komunikasi massal.

Kita tak bisa memungkiri lagi bahwa media merupakan mediator politik paling efektif dalam mengomunikasikan pelbagai gagasan-gagasan maupun kritik-kritik di antara pelaku politik. Daya jangkau media yang luas serta mempunyai efek persuasif yang sangat kuat menjadi nilai plus-plus.

Dalam buku yang saya tulis bersama Gun Gun Heryanto “Komunikasi Politik Sebuah Pengantar”, kami turut memperkenalkan aplikasi strategi marketing politik melalui media yang dikategorikan dalam tiga bentuk saluran media yaitu melalui media lini atas (aboveline media), media lini bawah (belowline media), media baru (new media).

[irp]

Tiap-tiap jenis saluran media di atas mempunyai karakteristik tersendiri. Aboveline media (surat kabar, tv, radio, film dan majalah) memiliki karakteristik, seperti; penyebaran informasi yang sama dapat disebarkan bersifat serempak, khalayak penerima pesan cenderung akronim, dan mampu menjangkau khalayak secara luas.

Banyak ruang yang bisa dimanfaatkan lewat media lini atas dalam memersuasi publik, terutama menyoal kemampuan jenis media ini dalam melakukan pengulangan informasi dan penanaman platform politik secara hypodermic. Teori jarum hipodermik ini muncul sekitaran tahun 1950-an oleh Wilbur Schram, dimana proses penyampaian politiknya satu arah dan cenderung dapat mengubah persepsi publik.

Tahun 2014, Nielsen merilis data bahwa penonton televisi di Indonesia mencapai 95 persen dengan rata-rata waktu yang dihabiskan sekitar 4-5 jam. Artinya, masyarakat Indonesia termasuk golongan Heavy Viewers (penonton berat).

Secara kultivasi, tentu media lini atas merupakan cara praktis untuk memengaruhi konstituen yang lebih memilih pasif terhadap informasi. Tantangannya, mungkin hanya pada publik attentive yang perlu didekati dengan akurasi data dalam pemberitaan ketimbang sekadar menyuguhkan iklan yang selewat lalu.

Sedangkan karakteristik belowline media (poster, leaflet, folder, spanduk, baligo, point of purchase, bus stop, bus panel, flyers, dsb), punya ciri khas berbeda, seperti; komunikan yang dijangkau lebih spesifik baik dalam jumlah maupun wilayah sasaran, mampu menjangkau khalayak yang tak dijangkau media lini atas, dan cenderung tidak serempak.

Pada praktiknya, media ini saya rasa kurang cocok dengan tipologi pemilih di Jakarta yang lebih rasional dan ideologis. Mereka tak butuh cawe-cawe politik yang sloganistik, melainkan penyajian rekam jejak politik yang komplit.

Namun, bukan berarti media satu ini tak bisa digunakan di Jakarta. Media ini bisa digunakan untuk merangsang euforia pribadi konstituen agar merasa sekelompok dengan pemilih lain. Misalkan dengan penggunaan kaos, flayer, poster yang bisa digunakan secara missal pada saat kampanye terbuka.

Kampanye politik lewat media lini bawah (belowline media) bisa digunakan oleh semua kontestan karena cost yang dikeluarkan tak sebesar anggaran belanja iklan di televisi, radio, dan koran. Selain murah, media lini bawah lebih bersifat personal sehingga proses propaganda dan persuasif dari partai politik langsung mengenai sasaran individu.

Lain perkara pula dengan new media, dalam hal ini internet (direct mail, blog interaktif, e-PR, media sosial, website, dsb), hanya mampu menjangkau khalayak yang memiliki ketersediaan sarana internet dan khalayak yang melek teknologi tersebut, media ini unggul dalam kecepatan penyebaran informasi dan pengembangan wacana publik.

[irp]

Khusus untuk Pilgub Jakarta, fenomena new media dalam urusan politik begitu menarik. Dengan potensi pemilih mencapai 7,4 jutaan yang ditunjang dengan tingginya penggunaan internet, di antara mereka berusia 18-24 tahun dengan prosentase 38 persen, dan usia 25-34 tahun mencapai 28 persen, juga ada kaum tetua dengan 3,2 persen.

Tentu saja, media ini sangat potensial dijadikan medium kampanye, mulai dari distribusi gagasan dan persuasi hingga sesi penyajian negasi atas agitasi yang dilancarakan lawan politik.

Kita juga bisa mengetahui diskursus yang menambah panasnya eskalasi politik lewat media sosial. Salah satu contohnya yakni rilis terbaru dari politicawave, dimana share of awareness publik atas perbincangan politik ketiga pasangan calon gubernur DKI semakin masif, mencapai 251 jutaan perbincangan.

Ada sekitar 193 ribu lebih atau setara 69 persen perbincangan di media sosial tentang Ahok-Djarot, juga Anies-Sandi yang mencapai 32 ribuan perbincangan atau setara 13 persen, dan Agus-Sylviana dengan prosentase perbincangan sebanyak 10 persen atau 25.000 share of awareness.

Kalau sudah begini, menang dan tidaknya para kontestan DKI 1 dipengaruhi juga oleh penggunaan media yang dirancang tim pemenangan masing-masing. Jika penggunaan media dalam menjangkau kantung-kantung pemilih maupun basis massa tradisonal setiap paslon tidak dimaksimalkan, maka tak menutup kemungkinan para pemilih bermain hati dengan paslon yang sering bersilaturahim dalam wujud media-media komunikasi tersebut.

***

[irp]