Demi mencapai tujuan politik yang ditargetkan para kontestan dalam fase kampanye Pilgub DKI Jakarta kali ini, dibutuhkan berbagai varian strategi pada tataran praktis yang sesuai dengan konstelasi persaingannya. Di sini, pernyataan Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication bahwa “politics in the age of mediation” tak bisa dihindari.
Proses pemasaran politik tak lagi bertumpu pada teknik retorika dalam kampanye-kampanye di panggung terbuka, melainkan mulai memanfaatkan perkembangan media dan teknologi komunikasi massal.
Kita tak bisa memungkiri lagi bahwa media merupakan mediator politik paling efektif dalam mengomunikasikan pelbagai gagasan-gagasan maupun kritik-kritik di antara pelaku politik. Daya jangkau media yang luas serta mempunyai efek persuasif yang sangat kuat menjadi nilai plus-plus.
Dalam buku yang saya tulis bersama Gun Gun Heryanto “Komunikasi Politik Sebuah Pengantar”, kami turut memperkenalkan aplikasi strategi marketing politik melalui media yang dikategorikan dalam tiga bentuk saluran media yaitu melalui media lini atas (aboveline media), media lini bawah (belowline media), media baru (new media).
[irp]
Tiap-tiap jenis saluran media di atas mempunyai karakteristik tersendiri. Aboveline media (surat kabar, tv, radio, film dan majalah) memiliki karakteristik, seperti; penyebaran informasi yang sama dapat disebarkan bersifat serempak, khalayak penerima pesan cenderung akronim, dan mampu menjangkau khalayak secara luas.
Banyak ruang yang bisa dimanfaatkan lewat media lini atas dalam memersuasi publik, terutama menyoal kemampuan jenis media ini dalam melakukan pengulangan informasi dan penanaman platform politik secara hypodermic. Teori jarum hipodermik ini muncul sekitaran tahun 1950-an oleh Wilbur Schram, dimana proses penyampaian politiknya satu arah dan cenderung dapat mengubah persepsi publik.
Tahun 2014, Nielsen merilis data bahwa penonton televisi di Indonesia mencapai 95 persen dengan rata-rata waktu yang dihabiskan sekitar 4-5 jam. Artinya, masyarakat Indonesia termasuk golongan Heavy Viewers (penonton berat).
Secara kultivasi, tentu media lini atas merupakan cara praktis untuk memengaruhi konstituen yang lebih memilih pasif terhadap informasi. Tantangannya, mungkin hanya pada publik attentive yang perlu didekati dengan akurasi data dalam pemberitaan ketimbang sekadar menyuguhkan iklan yang selewat lalu.
Sedangkan karakteristik belowline media (poster, leaflet, folder, spanduk, baligo, point of purchase, bus stop, bus panel, flyers, dsb), punya ciri khas berbeda, seperti; komunikan yang dijangkau lebih spesifik baik dalam jumlah maupun wilayah sasaran, mampu menjangkau khalayak yang tak dijangkau media lini atas, dan cenderung tidak serempak.
Pada praktiknya, media ini saya rasa kurang cocok dengan tipologi pemilih di Jakarta yang lebih rasional dan ideologis. Mereka tak butuh cawe-cawe politik yang sloganistik, melainkan penyajian rekam jejak politik yang komplit.
Namun, bukan berarti media satu ini tak bisa digunakan di Jakarta. Media ini bisa digunakan untuk merangsang euforia pribadi konstituen agar merasa sekelompok dengan pemilih lain. Misalkan dengan penggunaan kaos, flayer, poster yang bisa digunakan secara missal pada saat kampanye terbuka.
Kampanye politik lewat media lini bawah (belowline media) bisa digunakan oleh semua kontestan karena cost yang dikeluarkan tak sebesar anggaran belanja iklan di televisi, radio, dan koran. Selain murah, media lini bawah lebih bersifat personal sehingga proses propaganda dan persuasif dari partai politik langsung mengenai sasaran individu.
Lain perkara pula dengan new media, dalam hal ini internet (direct mail, blog interaktif, e-PR, media sosial, website, dsb), hanya mampu menjangkau khalayak yang memiliki ketersediaan sarana internet dan khalayak yang melek teknologi tersebut, media ini unggul dalam kecepatan penyebaran informasi dan pengembangan wacana publik.
[irp]
Khusus untuk Pilgub Jakarta, fenomena new media dalam urusan politik begitu menarik. Dengan potensi pemilih mencapai 7,4 jutaan yang ditunjang dengan tingginya penggunaan internet, di antara mereka berusia 18-24 tahun dengan prosentase 38 persen, dan usia 25-34 tahun mencapai 28 persen, juga ada kaum tetua dengan 3,2 persen.
Tentu saja, media ini sangat potensial dijadikan medium kampanye, mulai dari distribusi gagasan dan persuasi hingga sesi penyajian negasi atas agitasi yang dilancarakan lawan politik.
Kita juga bisa mengetahui diskursus yang menambah panasnya eskalasi politik lewat media sosial. Salah satu contohnya yakni rilis terbaru dari politicawave, dimana share of awareness publik atas perbincangan politik ketiga pasangan calon gubernur DKI semakin masif, mencapai 251 jutaan perbincangan.
Ada sekitar 193 ribu lebih atau setara 69 persen perbincangan di media sosial tentang Ahok-Djarot, juga Anies-Sandi yang mencapai 32 ribuan perbincangan atau setara 13 persen, dan Agus-Sylviana dengan prosentase perbincangan sebanyak 10 persen atau 25.000 share of awareness.
Kalau sudah begini, menang dan tidaknya para kontestan DKI 1 dipengaruhi juga oleh penggunaan media yang dirancang tim pemenangan masing-masing. Jika penggunaan media dalam menjangkau kantung-kantung pemilih maupun basis massa tradisonal setiap paslon tidak dimaksimalkan, maka tak menutup kemungkinan para pemilih bermain hati dengan paslon yang sering bersilaturahim dalam wujud media-media komunikasi tersebut.
***
[irp]
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews