Posisi Polri Menjelang Pilkada DKI, Terlalu Hati-hati?

Rabu, 19 Oktober 2016 | 07:33 WIB
0
203
Posisi Polri Menjelang Pilkada DKI, Terlalu Hati-hati?

Ada satu persoalan berat dihadapi pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri), terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Dari persoalan beraroma SARA hingga teror, dan nyaris seluruhnya memang isu yang sangat sensitif, mengemuka di ibu kota.

Memang, sejatinya, wewenang paling besar di sini dalam kaitan dengan apa yang terjadi di wilayah hukum DKI, maka Polda Metro Jaya satu-satunya yang juga paling bertanggung jawab. Tapi dari persoalan yang muncul, tak lagi hanya mengemuka di DKI, melainkan merembet ke mana-mana.

Bahkan ada salah satu calon kepala daerah yang sempat mengultimatum akan melakukan aksi tersendiri ketika kasus yang berkaitan dengan tuduhan penistaan agama dilemparkan ke Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mencuat. Menjadi salah satu bukti, persoalan di DKI tak hanya berhenti di sini.

Mudahnya akses ke media memang telah membuat berbagai isu menjalar hingga ke sel-sel terkecil di negeri ini. Maka itu, gonjang-ganjing berhubungan dengan tudingan penistaan agama pun merebak hingga ke daerah-daerah lain. Terlebih lagi, isu itu memang mengundang penasaran khalayak, tak heran jika sebagian media justru terkesan memelihara isu tersebut.

[irp]

Manalagi memang terbukti, dengan terpeliharanya kasus itu, media-media diuntungkan dengan animo pembaca yang kian tinggi hingga lonjakan traffict yang dapat menjadi magnet untuk iklan. Satu sisi itu lumrah saja, tapi di sisi lain mencemaskan.

Belum lagi ketika menyimak kecenderungan pemelintiran yang acap dengan mudah ditemukan di media sosial, meski sebagian di antaranya merujuk ke media mainstream. Lantas disahuti dengan berbagai hujatan dan perang caci maki, yang meluncur begitu saja.

Ada potensi konflik di sana, di ranah yang akrab disebut dunia maya.

Di situlah, keberadaan Polri sejatinya memang sangat dibutuhkan. Entah untuk mengantisipasi sebuah potensi konflik benar-benar terjadi, atau menindak para pelaku yang memang secara frontal menunjukkan sikap anarki, entah lewat aksi atau pernyataan-pernyataan yang menjurus agitasi.

Tapi, di situ juga Polri memperlihatkan semacam kegamangan.

Sebut saja dalam kasus yang berhubungan dengan demonstrasi yang baru terjadi pekan lalu. Kapolda DKI, Irjen Pol M. Iriawan memang terjun langsung di mana demo itu berlangsung. Ia menyaksikan langsung atas apa yang terjadi di sana.

Memang, tak ada sesuatu yang mengarah pada perusakan dalam aksi itu, juga tak ada kekerasan secara fisik. Namun, saya haqqul yaqin, M. Iriawan yang turut mengawasi demo di lokasi, menyimak seperti apa orasi dan jargon-jargon yang diumbar oleh otak demonstrasi itu sendiri.

[irp]

Namun, Kapolda Metro pun terlihat terlalu hati-hati dan sempat mengemukakan kepada pers, bahwa ia tak menemukan ancaman di hari demo itu berlangsung. "Baru kata-kata saja, bukan ancaman. Tidak ada ancaman hari ini," begitu ungkapnya, seperti dilansir Tribunnews. 

Faktanya, kalimat-kalimat semacam "Bunuh" dan "Bakar", dengan motivasi yang mengesankan sedang membela agama, meluncur dari salah satu penggerak demo tersebut.

Bahkan dari foto-foto yang sempat viral di jejaring sosial, anak-anak pun dilibatkan dan memamerkan aksi yang mengarah ke anarki, semisal foto seorang anak yang terekam sedang menendang foto gubernur DKI. Terlepas aksi anak tersebut, misalnya, bukanlah suatu yang terkesan terlalu serius, tapi setidaknya telah menunjukkan seperti apa kebencian dan penularan kemarahan telah mendapatkan tempat hingga kepada bocah yang sejatinya tak mengetahui apa-apa.

Ada penularan pikiran-pikiran berbau anarki di sini, dan gelagat diterimanya pilihan untuk anarki yang dipersepsikan sebagai opsi tepat, namun terlihat ditujukan untuk mengintimidasi kalangan aparat.

Tak berlebihan kiranya jika seorang pengamat sekelas Arbi Sanit pun, baru-baru ini sempat mencemaskan gelagat yang terlihat dari aksi demo tersebut.

"Itukan sudah bergaya teroris seakan-akan ingin melawan negara. Karena mereka sudah memaksakan kehendak menuju ke radikalisme. Tinggal setingkat lagi menjadi terorisme. Itu jalurnya sudah ke sana itu. Ada di jalur radikalisme, ekstrimisme, dan ujungnya terorisme," kata Arbi, seperti dikutip dari Netralnews.com, Minggu, 16 Oktober 2016.

Di situlah, ada pekerjaan besar menunggu Polri dan kalangan berwenang dan berkaitan dengan isu yang merebak atau sengaja terus di-blow up itu.

Namun, dari sikap yang diperlihatkan Polri sejauh ini, terkesan terlalu hati-hati dan tak ingin dipandang gegabah dalam mengambil sikap. Terbukti alih-alih mengambil sebuah langkah cepat, aparat kepolisian memilih untuk membaca situasi lebih jauh. Apalagi memang isu yang sedang merebak itu bersentuhan langsung dengan sentimen keagamaan yang memang rentan dengan konflik massal.

[irp]

Satu sisi, langkah Polri yang terkesan memilih waspada dalam menentukan sikap memang pantas diapresiasi, terlepas mereka terkesan terlalu menahan diri. Persoalannya, masalah itu masih terus merebak, dan bahkan jika menyimak via tren yang mengemuka di jejaring sosial dan apa yang sedang jadi viral, isu tersebut kian menular dan memunculkan diskusi-diskusi yang mengarah ke rencana-rencana yang dapat mengancam negara.

Maka itu saya pribadi mengamini apa yang pernah diungkapkan Arbi Sanit dalam wawancara dengan kalangan media. Bahwa, yang sedang terjadi itu menunjukkan sebuah gejala serius yang mengarah pada pembenaran radikalisme yang diusung lewat baju semangat beragama.

"Demo tidak jadi masalah, tapi ucapan, orasi, pidato, bahkan spanduk yang sudah bersifat menghasut begitu kerasnya bertindak yang mengarah ke tindakan ekstrim dan radikal, nah itu sudah melawan demokrasi. Kalau melawan demokrasi di jaman sekarang itu sama halnya dengan melawan negara," kata Arbi Sanit, yang juga melihat fenomena itu sebagai hal serius.

Maka itu, kehati-hatian Polri idealnya jangan sampai mengesankan mereka ragu dalam bertindak. Apalagi ketika situasi yang sedang mengemuka memang begitu dekat dengan hal yang begitu sensitif. Okelah di satu sisi Polri tak ingin membuat persoalan menjadi kian runyam jika gegabah, tapi mereka pasti memiliki skenario dan cara bijak untuk mengantisipasi hal itu.

Salah satu di antaranya, campaign yang mencuat pada isu-isu menjurus SARA, sejauh ini terkesan didiamkan. Sementara diketahui, bahwa sebuah isu yang berkembang di dunia maya tak jarang mampu membawa dampak mobilisasi hingga hal-hal yang anarkis. Dan, saya meyakini, Polri memiliki catatan seputar itu.

Sebut saja, kasus lain, seperti mencuat di ranah Twitter, salah satu petinggi di Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang sempat memunculkan kalimat bernama ancaman berbungkus "Jihad akbar". Meski hal itu terang-terang kental agitasi, namun belum terdapat tindak lanjut tegas dari Polri.

Di situ terkadang memunculkan tanda tanya? Apakah Polri terpenjara oleh rasa segan pada institusi sekelas MUI, atau tak ingin dipersepsikan sebagai "penjahat" oleh kalangan mayoritas yang memang acap secara diam-diam "merindukan" jihad yang ditafsirkan secara sempit.

Maka itu, saat ini, langkah-langkah konkret dan tegas dari aparat kepolisian menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang masih menginginkan Pilkada mendatang tak ternoda oleh hal-hal negatif dan mengarah pada perpecahan.

Tanpa bukti itu, akan sangat disayangkan jika kehadiran Kapolda Metro ke lokasi pun akhirnya hanya tercatat tak lebih sebagai sebuah pencitraan.

***

[irp]