Bendera

Rabu, 7 September 2016 | 10:40 WIB
0
848
Bendera

Cerpen: Pepih Nugraha

Penahanan Tole oleh aparat kepolisian menjadi berita. Bukan karena ia masih berusia 9 tahun, masih duduk di bangku kelas tiga sebuah sekolah dasar di ujung timur Pulau Jawa, tetapi karena tuduhan seram yang dialamatkan kepada bocah ingusan itu: makar!

Bayangkan, intel kepolisian sektor setempat menangkap dan menahan Tole karena anak itu nyata-nyata terbukti telah mengibarkan bendera negara tetangga Malaysia persis pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia kemarin. Kitab undang-undang mengatakan, mengibarkan bendera asing di negara berdaulat makar hukumnya dan siapapun yang melakukannya wajib ditangkap, tanpa pandang bulu tanpa lirik usia, dan pelaku pengibaran bendara asing itu tidak lain Tole.

Aparat intel bekerja cepat dan petang itu Tole digelandang ke kantor polisi dengan wajah pucat bagai mayat. Celana pendeknya basah oleh air kencing akibat menahan rasa takut yang luar biasa. Di depan penyidik dan sejumlah media massa yang meliput peristiwa ini, tanpa berbelit-belit Tole mengakui perbuatannya; mengibarkan bendera Malaysia di halaman rumah kakek-neneknya.

Tentu saja polisi ingin mendalami mengapa bocah ini begitu nekat mengibarkan bendera asing, bendera Malaysia pula, yang tingkat sentimen bangsa ini terhadap negara jiran itu begitu tinggi.

“Kamu tahu akibat dari perbuatanmu mengibarkan bendera asing itu di halaman rumah kakek-nenekmu, Le?” tanya penyidik

Tole menggelengkan kepala.

“Kamu tahu bendera negara kita apa?”

Tole mengangguk, “Merah Putih.”

“Lha kamu kok berani-beraninya mengibarkan bendera selain Bendera Merah Putih?”

“Cuma sekadar kain saja, Pak Polisi.”

“Lha memang cuma kain, tapi itu berisi simbol, berisi lambang negara, lambang kedaulatan sebuah negara, paham?”

Tole menunduk, “Ya.”

“Darimana kamu memperoleh bendera Malaysia ini?” selidik polisi lagi sambil memperlihatkan barang bukti, jepretan tustel dan sorot kamera video wartawan terus mengikuti jalannya interogasi. Tidak ada seorang pun yang mendampingi Tole si anak kampung itu saat diinterogasi. Kakek-neneknya sudah terlalu tua untuk sekadar mendampingi cucu satu-satunya itu. Drama kehidupan Tole tengah diabadikan oleh belasan mata kamera wartawan.

“Lha kamu dengar toh, Le? Dari mana kamu mendapatkan bendera ini?”

“Kubeli di toko buku waktu diajak Paman Jo jalan-jalan ke Surabaya.”

“Sekarang di mana pamanmu itu?”

“Kata kakekku Paman Jo bekerja di Jakarta.”

“Kerja apa?”

“Pemulung.”

“Ya sudah, sekarang kamu jawab dulu pertanyaan saya...” penyidik terdiam sesaat, lupa harus bertanya apa. “Oh ya, apa maksudmu mengibarkan bendera Malaysia di halaman rumah kakek-nenekmu?”

“Tidak ada maksud apa-apa?”

“Mengapa kamu tidak mengibarkan Sang Saka Merah Putih saja daripada mengibarkan bendera asing?”

“Ya... lagi mau mengibarkan bendera Malaysia saja.”

“Mengapa tidak mengibarkan Bendera Merah Putih?”

“Bendera Merah Putih tidak mengikat batinku selain kewajibanku untuk menghapalnya, sebagaimana perintah guru di kelas,” bocah itu sudah mulai lancar menjawab, bahkan jawaban yang sangat dewasa di usianya yang masih tergolong bau kencur.

“Maksudmu, bendera Malaysia mengikat batin dan pikiranmu, begitu?”

“Benar.”

“Coba kamu jelaskan lebih gamblang lagi!”

“Apalagi yang harus kujelaskan, Pak?”

“Yang itu loh... yang kamu bilang bendera Malaysia mengikat batinmu!”

“Oh... Ya memang begitu.”

“Tidak bisa kamu jawab cuma ‘ya memang begitu’, harus kamu jelaskan.”

Wartawan dan beberapa aparat polisi yang menyaksikan interogasi itu menjadi berdebar-debar menunggu jawaban Tole si bocah ingusan yang dituduh makar itu, sebuah tuduhan mahaberat tetapi juga menggelikan.

Bagaimana mungkin seorang bocah dituding mau menggulingkan negara melalui pengibaran bendera asing di halaman rumah kakek-neneknya!

“Karena....” tampak Tole ragu untuk melanjutkan.

“Teruskan saja, tidak perlu ragu!”

“Karena.... bendera Malaysia itulah yang selama ini menghidupiku, bendera itulah yang menghidupi kakek-nenekku, menyekolahkanku, memberiku uang jajan dan mainan, banyak lagi...”

Hening sejenak. Mata kamera wartawan terus bekerja.

“Maksudmu?”

“Malaysia yang menghidupiku selama ini.”

“Coba lebih dijelaskan lagi!”

“Emakku bekerja sebagai TKW di Malaysia sejak aku mulai masuk sekolah dasar.”

“Oh... Maksudmu, ibumu bekerja di Malaysia sudah tiga tahun, begitu?”

“Ya, benar.”

“Bapakmu?”

“Bapak kawin lagi dengan perempuan lain setahun yang lalu, mungkin tidak tahan menunggu Emak pulang, Bapak tidak seperti aku.”

“Lalu apa hubungannya dengan pengibaran bendera Malaysia di halaman rumah kakek-nenekmu?”

“Kangen.”

“Kangen?”

“Ya, kangen sama Emak.”

“Memangnya ibumu tidak pernah pulang?”

“Belum pernah pulang.”

“Apa hubungannya kangen sama ibumu dengan pengibaran bendera Malaysia?”

“Sudah tiga bulan Emak tidak ada kabar beritanya, tidak pula mengirim Ringgit buatku, buat kakek-nenekku.”

Hening. Beberapa wartawan menarik nafas panjang. Juga polisi, sampai-sampai penyidik itu merasa perlu menyenderkan badan ke kursi.

“Ada yang perlu kujelaskan lagi, Pak Polisi?” pertanyaan bocah itu tiba-tiba memecah keheningan, seperti gelas kristal terempas ke lantai marmer.

“Emh, begini...” penyidik itu melanjutkan tetapi seperti tidak tahu ke mana arah perkataan. “Begini saja...”

“Bapak mau memaafkanku jika apa yang kulakukan dianggap salah?”

“Eh... belum tentu,” penyidik tergagap. “Maksud saya, begini... Jadi itulah alasanmu mengibarkan bendera Malaysia di halaman rumah kakek-nenekmu?”

“Sudah kukatakan, cuma kangen sama Emak.” Bocah itu mulai terisak, air matanya mengalir membasahi pipi yang legam akibat sering terkena sengatan matahari. “Izinkan aku pulang, Pak Polisi!”

“Emh... belum boleh, kamu harus bermalam di sini, Tole!”

“Di mana?”

“Di kantor ini,” polisi cepat menjawab.

“Baik,” kata Tole, “tapi bolehkah kupinjam bendera Malaysia itu selagi aku menginap di sini?”

“Bendera ini buat barang bukti, Le.”

“Jadi tidak boleh kupinjam?”

“Buat apa? Buat selimut agar kamu tidak kedinginan, begitu?”

“Bukan,” jawabnya, “buat kupeluk saja.”

“Buat kamu peluk?”

“Ya, buat pengobat kangenku kepada Emak di sana, di Malaysia.”

Semua hadirin berusaha menahan nafas.

Nun jauh di sana, beribu-ribu mil jauhnya dari ujung timur Pulau Jawa, beberapa paramedis disaksikan Polisi Diradja Malaysia, memasukkan sesosok jenazah perempuan ke dalam cadaver dingin di kamar mayat sebuah rumah sakit pemerintah di Kuala Lumpur. Jenazah perempuan itu diketahui sebagai TKW asal Indonesia korban penganiayaan majikan barunya.

“Kupinjamkan ini untuk malam ini saja,” kata penyidik sambil menyerahkan bendera Malaysia. “Tapi awas jangan sampai hilang, ya, sebab ini barang bukti!”

Tole mengangguk, meraih bendera itu, lalu memeluknya erat.

Seorang wartawati televisi menitikkan air mata.

Penyidik balik badan tanpa berkata-kata.

Tinggallah sunyi mendaulat suasana.

***