Akhirnya saya mendarat lagi di Muscat. Rabu kemarin. Setelah lebih 40 tahun tidak ke Oman.
Ke Oman-lah saya pertama kali ke luar negeri. Sebagai wartawan Tempo. Tahun 1978 atau 1979. Sekitar itu.
Sejak itu saya tidak pernah ke sana lagi.
Sebelum ke Oman saya memang pernah ke Tawau. Saat saya jadi wartawan pemula di Samarinda. Dapat tugas liputan ke Nunukan.
Saya belum pernah punya paspor. Camat Nunukan-lah yang membuatkan pas lintas-batas. Dengan KTP sementara warga Nunukan.
Tapi itu tidak saya anggap ke luar negeri. Karena tidak pakai paspor. Ke sananya pun naik speed boat. Di sana juga pakai bahasa Indonesia. Makanan di warungnya sama. Piring-gelasnya sama. Pokoknya bukan luar negeri sama sekali.
Baru saat ke Oman itulah merasa sudah ke luar negeri.
Kini saya tidak kenal lagi Muscat yang dulu. Sudah berubah total. Hanya rajanya yang masih sama: Sultan Qaboos. Dan hotelnya yang juga masih sama: Intercontinental Hotel.
Di hotel inilah saya dulu menginap. Selama seminggu. Untuk pertama kali merasakan hotel bintang lima. Di umur saya yang 28 tahun.
Rute ke Oman pun dulu panjang sekali. Dari Surabaya ke Jakarta dulu. Lalu ke Singapura. Naik Singapore Airlines. Ke Abu Dhabi dulu. Dari sini naik Gulf Air ke Muscat.
Sekarang sudah sangat beda. Sudah ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Muscat. Tiap hari. Menggunakan pesawat Oman Air. Inilah untuk pertama kalinya saya naik Oman Air.
Ternyata penuh juga. Begitu banyak jemaah umroh yang kini transit di Muscat, ibukota Oman.
Di ruang tunggu saya bertemu pak Edy Setiawan. Alumni akuntansi Unair. Yang kini punya perusahaan travel. Setelah pensiun dari kantor akuntan HTM.
Ia membawa rombongan tur ke Mesir. Lalu akan jalan darat ke arah Palestina. Bermalam di dekat terusan Suez. Dari Palestina ke Jordania. "Saya hanya dapat kursi 30 di Oman Air. Yang 18 orang naik Saudi," katanya.
"Tur jalur ini sekarang populer," katanya.
Berarti kini banyak pilihan. Untuk umroh maupun untuk tur seperti itu. Bahkan untuk ke Eropa.
Transitnya tidak lagi hanya bisa di Dubai. Atau Abu Dhabi. Atau Doha, Qatar. Sudah ada pilihan lain: transit di Muscat.
Pesawatnya juga tidak hanya Emirates, Etihad atau Qatar Airways. Kini sudah ada Oman Air.
Oman, Emirat, Qatar adalah tiga negara kecil bertetangga. Kini ada empat penerbangan raksasa dari tiga negara itu. Semua menghubungkan Indonesia-Mekkah. Atau Indonesia-Eropa. Sama saja: transit di Doha, Dubai, Abu Dhabi atau Muscat.
Sebagai pendatang baru Oman Air tahu bagaimana harus merebut pasar: yang lain pakai Boeing 777. Oman pakai 787 Dreamliner. Jarak antar kursinya lebih longgar. Beberapa centimeter. Kelas bisnisnya juga seperti first class.
Harganya pun lebih murah.
Saya juga bertemu dua anak muda Jakarta. Yang bekerja di perusahaan minyak di Dammam, Saudi Arabia. Ia juga selalu lewat Muscat. Dengan pertimbangan harga tadi.
Tiba di Muscat saya langsung ingin bernostalgia. Ke hotel Intercontinental. "Masih ada. Masih bagus," kata sopir saya.
Benar.
Saya langsung mengenali bangunannya. Tidak berubah. Hanya lingkungannya yang tidak sama lagi. Sudah banyak toko dan restoran di sekitarnya. Sudah jadi kota. Sudah beda dengan 40 tahun lalu. Hotel ini dulunya seperti sendirian di padang pasir.
Saat memasuki Intercontinental saya malu mengingat masa lalu. Yang beberapa keju di hotel ini saya bawa pulang. Itulah untuk pertama kalinya saya melihat keju. Tidak berani memakannya. Rasanya aneh. Akan saya tunjukkan ke istri: seperti inilah makanan di hotel bintang lima.
***
Dahlan Iskan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews