Wisata Seks Halal dan Peran MUI yang Dipertanyakan

Paling tidak di dalam setiap dakwah di majelis-majelis taklim, soal kawin kontrak dibahas secara mendalam. Biar seluruh jamaah menjadi paham.

Kamis, 25 November 2021 | 13:15 WIB
0
600
Wisata Seks Halal dan Peran MUI yang Dipertanyakan
AL, warga negara Arab Saudi pelaku KDRT hingga menewaskan korbannya (Sumber: pikiran-rakyat.com)

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mengakibatkan korban meninggal dunia, baru-baru ini kembali terjadi di Cianjur, Jawa Barat.  

Diduga karena dipicu rasa cemburu yang berlebihan, pelaku yang diketahui bernama Abdul Latif, warga negara Arab Saudi, tanpa berpikir panjang telah menyiram Sarah, istri yang baru 1,5 bulan dinikahi, dengan air keras, sampai menimbulkan 80 persen luka bakar pada tubuh korban, sehingga akhirnya nyawanya tidak tertolong lagi. 

Adapun pernikahan warga negara Arab Saudi dengan perempuan asal Cianjur itu, kemudian diketahui  merupakan suatu pernikahan yang dikenal dengan istilah kawin kontrak. 

Sementara sebutan kawin kontrak identik dengan istilah yang dikenal di dalam agama Islam dengan sebutan nikah mut'ah. 

Sebagaimana dijelaskan salah seorang cendekiawan Muslim, yang juga pakar tafsir Al Quran, Quraisy Shihab, di dalam bukunya yang berjudul Mistik,Seks,dan Ibadah, bahwa mut'ah dalam pengertian bahasa adalah kenikmatan, kesenangan dan kelezatan. 

Sedangkan nikah mut'ah didefinisikan sebagai pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu, hari atau bulan yang disepakati calon suami istri. Jika batas waktu itu berakhir, maka secara otomatis perceraian terjadi. 

Demikian juga sebagimana dijelaskan dari riwayat dan hadits terkait nikah mut'ah. Konon Rasulullah Saw pernah membolehkan untuk melakukan nikah mut'ah tersebut, akan tetapi kemudian dengan pertimbangan mashlahat dan mudharat, atau baik-buruknya akibat dari nikah mut'ah tersebut, akhirnya berdasarkan hasil ijtima para ulama diputuskan untuk dilarang untuk dilakukan oleh setiap Muslim yang beriman. Hukumnya pun adalah haram

Terlebih lagi dalam konteks di zaman sekarang ini. Fenomena nikah mut'ah yang identik juga dengan kawin kontrak, semakin jelas akan keharamannya.  

Sebab, jika ditinjau dari perspektif rukunnya, nikah mut'ah, atau kawin kontrak dipandang bathil karena ketiadaan saksi, wali, dan pembatasan masa nikah yang menjadikan nikah tidak sah.  

Kalau pun ada saksi dan wali, tidak jarang para pelakunya adalah palsu. Quraish Shihab juga mengatakan, bahwa nikah mut'ah tidak sejalan dengan tujuan perkawinan yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu pernikahan tentunya diharapkan langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.

Sebagaimana yang marak terjadi di kawasan Puncak, Bogor, dan Cianjur, Jawa Barat. Sehingga dampaknya sangat jelas begitu fatal, dan menimbulkan pembunuhan yang tidak diharapkan. 

Akan halnya fenomena kawin kontrak yang marak terjadi di kawasan wisata tersebut, sebenarnya sudah bukan merupakan permasalahan yang perlu ditutup-tutupi lagi. 

Sepuluh tahun yang lalu sebuah video yang berjudul INDONESIA: Halal Sex yang diunggah di You Tube oleh akun channel bernama FRANCE 24 English, cukup menghebohkan. Sehingga prostitusi yang berbalut wisata halal bernama kawin kontrak di kawasan Puncak Bogor dan Cianjur itupun menjadi perhatian dunia. 

Sebenarnya pihak pemerintah pusat dan daerah pun, dalam hal ini Pemkab Cianjur, terlihat menaruh perhatian terhadap masalah kawin kontrak ini. Terlebih lagi setelah mencuatnya kasus pembunuhan yang dilakukan warga negara Arab Saudi terhadap pasangan kawin kontraknya.  

Pihak Pemkab Cianjur, sebagaimana dikatakan Bupati Herman Suherman, mengaku sebenarnya telah menerbitkan peraturan bupati (Perbup)  tentang pencegahan kawin kontrak pada Juni 2021 lalu. 

Begitu juga dengan pemerintah pusat. Melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sebagaimana dijelaskan Deputi  Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, pemerintah juga memaksimalkan gerakan-gerakan di masyarakat, melalui forum-forum di daerah dan para aktivis untuk melakukan sosialisasi. 

Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, diketahui sudah mengeluarkan fatwa terkait kawin kontrak sejak 25 Oktober 1997 silam. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram. 

Akan tetapi walaupun pihak pemerintah telah mengeluarkan peraturan, dan ulama telah menyampaikan fatwanya, kenapa sampai saat ini praktik prostitusi terselubung dengan diberi label kawin kontrak itu masih saja terus terjadi? 

Terlebih lagi sekarang ini pemerintah tengah menggalakkan sektor pariwisata untuk dijadikan andalan dalam meningkatkan devisa negara. Sehingga program tersebut jangan sampai berbenturan dengan kultur masyarakat mayoritas, terutama di Jawa barat yang kental dengan keislamannya.

Suka maupun tidak, baik pemerintah maupun ulama tampaknya belum bekerja secara maksimal dalam upaya memutus mata rantai terjadinya praktik perzinaan berbalutkan kawin kontrak itu. 

Misalnya saja antara pemerintah pusat dengan daerah perlu untuk duduk bersama kembali untuk membuat peraturan yang mengikat, dan disertai sanksi yang tegas. Kemudian peraturan itu jangan hanya disimpan di lemari arsip saja, melainkan harus disosialisasikan secara gencar sampai membuahkan hasil nyata, kepada seluruh lapisan masyarakat, tentu saja. 

Demikian juga kepada para ulama, khusus yang tergabung di dalam wadah MUI, daripada berdebat urusan politik negara, apa lagi urusan dana hibah anggaran, maupun persoalan biaya label halal yang menggiurkan, akan lebih elok dan tepat apabila soal kawin kontrak ini menjadi topik bahasan yang diprioritaskan. 

Paling tidak di dalam setiap dakwah di majelis-majelis taklim, soal kawin kontrak dibahas secara mendalam. Biar seluruh jamaah menjadi paham. 

Sebab hal ini sudah menyangkut kemaslahatan umat, urusannya tidak hanya sebatas di dunia saja. Melainkan juga sudah urusan akhirat. Bagaimana kelak di akhirat pertanggungjawaban ulama jika umatnya banyak terjerumus masuk ke dalam neraka???

***