Catatan Perjalanan ke Baduy [1] Menenun dan Perempuan Baduy

Tidak heran, jika siapa pun yang berkunjung ke permukiman Baduy akan disuguhi bunyi tak-tek-tok dari setiap emperan rumah panggung.

Senin, 28 Juni 2021 | 21:43 WIB
0
225
Catatan Perjalanan ke Baduy [1]  Menenun dan Perempuan Baduy
Penenun Baduy (Foto: Dok. pribadi)

Mirsyah atau Mirsah. Perempuan delapan belas tahun ini, bersuami dengan satu anak. Sama dengan umumnya perempuan Baduy, ia nikah pada usia sangat muda: belum genap 15 tahun. Tanpa pacaran, sebab itu dilarang adat (ulah jinah papacangan = jangan berjinah dan berpacaran. Itu salah satu "pikukuh" adat).

Mereka dijodohkan orang tua untuk hidup bersama pasangannya sepanjang hayat di kandung badan. Tak ada kata cerai bagi mereka.

Juga sama dengan perempuan Baduy lain, ia pandai menenun. Sejak usia 12 tahun, sudah belajar menenun. Di Baduy Dalam, kepandaian menenun merupakan keharusan, karena kebutuhan pakaian tidak dibenarkan didatangkan dari luar.

Pohon randu yang tumbuh nyaris di setiap pekarangan, merupakan sumber bahan baku pembuatan benang.

Di Baduy Luar, menenun selain untuk mencukupi kebutuhan sandang sendiri juga merupakan sumber tambahan penghasilan keluarga. Produk tenunan Baduy, kini bukan hanya dijual di kawasan Baduy Luar dan sekitar Baduy Luar tetapi sudah merambah jauh ke luar kawasan Baduy.

Bahan baku berupa benang untuk memproduksi kain tenun, sebagian besar dibeli di pasar bebas. Ini bedanya denga produksi kain tenun di Baduy Dalam.

Maka tidak heran, jika siapa pun yang berkunjung ke permukiman Baduy akan disuguhi bunyi tak-tek-tok dari setiap emperan rumah panggung.

Itulah suara alat tenun yang dioperasikan perempuan Baduy berkalung dan bergelang emas. Tak jarang di samping tempat mereka menenun, seorang bayi tertidur lelap dalam ayunan kain.

(Bersambung)

***