Sesuai Kodrat, Sederajat dan Tetap Bermartabat

Selasa, 21 April 2020 | 08:04 WIB
0
305
Sesuai Kodrat, Sederajat dan Tetap Bermartabat
ilustr: BuddhaZine

Bulan April bagi bangsa Indonesia selalu bermakna penting, khususnya bagi kaum perempuan. Peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April selalu menjadi momentum untuk mengingatkan kembali kesederajatan kaum perempuan terhadapa kaum pria. Namun mencermati perkembangan gerakan perempuan ini dari waktu ke waktu terlihat kecenderungan kebablasan dan bahkan banyak kaum perempuan yang dengan sadar melecehkan kaumnya sendiri.

Kodrat Perempuan

Dalam konteks kesetaraan gender dunia dan juga terjadi di Indonesia, banyak kaum perempuan yang melupakan kodratnya sebagai perempuan maupun sebagai manusia. Dalam dunia kerja, hanya demi terlihat memiliki kemampuan sebagai pencari nafkah, banyak kaum perempuan yang mengingkari kodratnya. Demi profesi tertentu yang menuntut kecantikan penampilan, perempuan rela untuk menunda pernikahan dan bahkan bersedia untuk tidak hamil selama dia berada dalam profesi tersebut. Bukankah ini melawan kodratnya sebagai perempuan yang tidak mungkin bisa digantikan oleh kaum pria. Profesi yang menuntut pengingkaran terhadap kodrat perempuan justru seharusnya diperjuangkan oleh kaum perempuan untuk dihapus dan bukan justru didukung dengan menjalani profesi itu.

Perlu disadari bahwa kodrat perempuan memang berbeda dengan pria maka pemaksaan untuk menyejajarkan secara menyeluruh dua jenis kelamin manusia ini sungguh akan sia-sia dan menjadi cenderung tidak manusiawi. Kesederajatan dalam hak yang seharusnya diperjuangkan oleh kaum perempuan. Perlakuan yang sama terhadap kaum perempuan dan pria justru harus dilawan. Peran perempuan yang tidak sama dan yang tidak dapat tergantikan oleh pria justru harus sangat dihargai dan dijunjung tinggi.

Masalah akibat dari hubungan sex, selama ini perempuan selalu dalam posisi direndahkan. Apabila terjadi kehamilan akibat hubungan tanpa status selalu perempuan yang menjadi tumpuan kesalahan dan harus sebagai pihak yang menyandang aib. Selanjutnya banyak dari mereka yang rela melakukan aborsi. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan mau direndahkan? Seandainya pihak pria tidak bersedia menanggung akibat dari kehamilan, seharusnya justru pihak perempuan tidak harus menggugurkannya melainkan menunjukkan bahwa ia mampu tetap menjunjung tinggi kodratnya sebagai perempuan dengan mempertahankan bayi yang dikandungnya dan membesarkannya kelak. Kaum pria yang sering tidak manusiawi dalam hal ini harus dilawan dengan tindakan kaum perempuan yang lebih manusiawi.

Program keluarga berencana seharusnya diperlakukan sama untuk kaum perempuan maupun pria. Pengguna alat kontrasepsi tidak selalu harus kaum perempuan. Selama ini yang sering terjadi selalu kaum perempuan yang paling banyak menjadi sasaran gerakan keluarga berencana atau pengaturan pertambahan penduduk di mana pun. Sudah saatnya kaum perempuan gencar mengampanyekan gerakan pria sebagai pelaksana program pengaturan keturunan.

Kodrat perempuan para ibu yang memiliki hubungan emosional yang kuat dengan anaknya seharusnya dipertahankan dan bahkan semakin diperbaiki. Di jaman modern ini justru semakin terasa pentingnya meningkatkan hubungan emosional kaum ibu dengan anaknya. Intensitas dan kualitas yang menurun dalam komunikasi ibu anak saat ini terlihat berakibat pada semakin seringnya perilaku kenakalan remaja. Anak-anak yang memiliki relasi yang baik dengan ibunya relatif tidak banyak bermasalah dengan pergaulan sosialnya. Dalam hal ini bukan berarti bahwa kaum perempuan tidak harus menjalani profesi sesuai dengan kemampuan dan keinginannya melainkan perlu disadari bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk meneruskan keturunan yang semakin berkualitas. Tentu dalam hal ini juga tidak bisa di pungkiri dan tidak bisa diabaikan peran ayahnya.

Martabat Perempuan

Kata “perempuan” di Indonesia sekarang ini dirasakan lebih bermartabat daripada kata “wanita” oleh para penggerak kesetaraan gender. Kata “wanita” yang dalam bahasa jawa diartikan sebagai wani ditata, berani diatur, dimaknai sebagai kelemahan dibanding kata “perempuan” yang diartikan dari kata empu, yang membentuk. Perempuan yang dimaknai sebagai yang membentuk dalam kenyataanya belum bisa memerankan sebagaimana makna kata itu. Bahkan banyak yang malahan berperilaku bertentangan dengan makna kata itu artinya belum menjadi bagian yang penting dalam pembentukan karakter, bahkan dalam lingkup yang paling kecil sekalipun, masyarakat keluarga.

Demi terlihat sederajat atau bahkan lebih powerful dari kaum pria, banyak kaum perempuan yang dengan sadar melecehkan kaumnya sendiri. Demi terlihat mandiri banyak kaum perempuan yang benar-benar tidak mau ditata alias seenaknya sendiri. Mereka rela mengeksploitasi diri dan menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek. Meletakkan nilai diri dibawah kepentingan bisnis dan ekonomi. Padahal dalam kehidupan bermasyarakat yang beradab semestinya setiap individu, pria maupun perempuan, bersedia ditata dan menata diri demi keharmonisan kehidupan sosial.

Sering terjadi kasus yang aneh di Indonesia. Misalnya, terjadi seorang perempuan yang sukses dalam karirnya menikah dengan pria yang secara karir dan pendapatan karir jauh di bawahnya, biasanya ini sering terjadi karena perempuan tersebut tidak ingin karirnya terganggu dan ingin terlihat lebih bermartabat. Namun dalam perjalanan rumah tangganya sering kali kemudian hancur, manakala suaminya justru lebih memerankan sebagai bapak rumah tangga saja atau bahkan tidak mau menjadi pencari nafkah sama sekali, maka sang istri lalu merasa hanya diperalat sebagai mesin pencari uang. Ujungnya adalah perceraian, seperti yang nampak banyak terjadi pada keluarga selebritis meskipun banyak juga terjadi dimasyarakat saat ini. Bukankah disini justru perempuan melecehkan martabatnya sendiri? Pencapaian kesederajatan atas dasar untuk mengalahkan justru akan berakibat pada kemerosotan martabat perempuan.

Tuntutan kuota 30% bagi wakil perempuan di parlemen Indonesia seharusnya menjadi kesempatan bagi kaum perempuan Indonesia untuk menjadi politisi yang bersih dan lebih peka terhadap jeritan rakyat kecil yang miskin. Layaknya kepekaan seorang ibu terhadap persoalan anaknya. Jangan malahan seperti yang terjadi saat ini dimana banyak dari mereka yang menjadi bagian dari tindak korupsi yang akut di negara ini. Menjadi wakil rakyat yang semestinya menjadi contoh perempuan yang maju dan bermartabat tapi yang terjadi justru sebaliknya, banyak yang menjadi pelaku kawin cerai dan keluarganya berantakan.

Perempuan yang bermartabat adalah perempuan yang memposisikan diri dalam peran dan kodratnya. Perempuan yang memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan pria dalam pengambilan keputusan. Perempuan yang mendapat perlakuan yang fair sesuai dengan kodratnya. Sesuai dengan kodratnya berarti bahwa mereka yang berhasil dalam karirnya dibidang apapun tetap harus lebih mementingkan kodratnya sebagai perempuan, sebagai ibu yang tidak mungkin tergantikan oleh kaum pria. Kesederajatan kaum perempuan seharusnya tetap dalam kodrat dan martabatnya. Kaum perempuan dan kaum pria memiliki kodrat dan perannya masing-masing yang sering tidak bisa saling menggantikan. Kaum perempuan dan kaum pria memang sudah seharusnya saling melengkapi dan bukan saling mengalahkan.

Akhirnya, selamat memperingati peran besar Ibu Kartini. Selamat menata kembali peran yang benar dan tepat kaum perempuan Indonesia. Selamat menjadi bagian yang penting dalam pembentukan martabat keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

***
Solo, Selasa, 21 April 2020. 7:45 am
'salam damai penuh cinta'
Suko Waspodo
suka idea
antologi puisi suko