Dekonstruksi Musik Gambus oleh Grup Musik "S"

Filsafat berusaha mencari kebenaran, dan kita semua tentu berusaha mencari kebenaran, kalau bisa kita melakukannya sambil menikmati alunan musik gambus bernuansa kekinian.

Minggu, 21 Februari 2021 | 14:31 WIB
0
406
Dekonstruksi Musik Gambus oleh Grup Musik "S"
Nisa Sabyan (Foto: kumparan.com)

Teori "Dekonstruksi" Derrida ternyata tidak hanya dapat dilakukan untuk melakukan interpretasi dan mengkonstruksi makna-makna teks, narasi secara kontekstual. Teks bisa juga berupa fenomena, peristiwa atau kejadian yang meninggalkan jejak-jejak sebagai penanda yang bisa dilacak untuk mengkonstruksi makna yang ada di baliknya. 

Inilah yang dilakukan oleh sahabat dan kolega saya, mas Diki dalam tulisan berikut. Sebuah tulisan yang mencoba mengkonstruksi makna-makna kontekstual di balik kehadiran sebuah Band bergenre Gambus dengan nuansa Islami. Kehadirannya bisa dianggap sebuah disrupsi di bidang seni (musik) dengan pesan-pesan yang bisa menembus segmen generasi millenial yang tampaknya sudah mulai mengkiblat ke K-Pop ala Korea.

Atas izinnya, saya bagikan tulisan mas Diki disini untuk saling berbagi makna. InsyaAllah.

Selamat menyimak...

Kita tahu adanya satu grup musik yang tengah naik daun. Grup musik gambus berinisial S ini memang sekarang sedang gamang akibat kasus yang menimpa crewnya. Kita tentu prihatin dengan kasus tersebut. Kita berharap kasus itu segera mendapatkan solusi sehingga grup itu tetap eksis menyapa para penggemarnya, seperti saya ini.

Karena keprihatinan saya pada masalah itu, saya sengaja menyebut inisial nama orang dan nama grupnya saja. Saya tidak ingin melukai perasaan para penggemar grup ini maupun sanak keluarga anggota grup tersebut.

Selain suka pada lagunya, saya lihat grup ini bisa menerapkan satu teori filsafat yang disebut dekonstruksi, seperti yang dulu dicetuskan oleh Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis abad ke-20. Dia mengajukan teori berupa dekonstruksi. Sebuah teori yang menjelahkan bahwa kebenaran yang kita dapat pada suatu teks, tidaklah berupa kebenaran dari suatu pemaknaan tunggal. Pemaknaan berlangsung terus menerus.

Teori ini yang saya anggap dilakukan oleh grup asal Jakarta ini sehingga menjadi grup gambus papan atas di tanah air sejak tahun 2018.

Saya pertama mendengar nama grup ini dan menikmati lagunya, serta kagum pada N, vokalis utamanya adalah di sekitar tahun 2018. Saat itu grup itu mulai naik daun di blantika musik tanah air. Lagunya yang membawa grup ini tenar adalah satu lagu Arab berjudul Deen Assalaam. Lagu yang diciptakan oleh seseorang di Timur Tengah itu dibawakan grup itu dengan aransemen yang kekinian hingga disukai kalangan milenial.

Memang ada seorang teman yang besar di satu negara Teluk Persia, yang mengatakan bahwa N membawakan lagu itu dengan logat Indonesia yang kental. Tapi saya rasa itu tidak mengapa, karena justru itu memberi warna tersendiri bagi lagu itu.

Selain lagu itu bagus dengan aransemen kekinian dan sosok penyanyinya yang muda dan berpenampilan menarik, lagu itu memberi pesan yang menggembirakan bagi khalayak muda dan khususnya umat Muslim. Lagu itu menggambarkan bahwa ada satu agama yang membawa pesan perdamaian, yang dimaksud adalah agama Islam.

Lagu itu menggambarkan juga bahwa kita perlu saling menyayangi sesama umat manusia dan alam sekitar kita. “Kalau hati kita dipenuhi kasih sayang, dunia akan terasa lapang” begitu yang saya bisa ketahui makna sebagian lagu itu. Itu juga berarti sebaliknya kalau hati kita dipenuhi dengan kebencian, akan terasa sesak hidup ini.

Itu tentu makna dari teks yang ada di lagu itu. Kalau kita kembali pada teori dekonstruksi, tentu kita tidak sekedar memaknai suatu teks berdasarkan teks itu semata, lalu menegasikan konteksnya. Kita perlu memahami konteks, dalam memahami suatu teks. Contohnya adalah lagu itu menjelaskan bahwa agama Islam tidak identik dengan kekerasan.

Walapun banyak kekerasan terjadi misalnya di Timur Tengah dan Afrika Utara, baik dalam bentuk perang antara negara, perang saudara, maupun terorisme, adanya lagu ini bisa membantu khalayak untuk tidak memaknai kekerasan itu sebagai keterkaitan dengan agama tertentu. Ini suatu perubahan dalam memaknai sesuatu.

Pemahaman yang tadinya bernada negatif, menjadi cair bagi kita semua. Kita gembira mendengar lagunya, kita juga tercerahkan dari berbagai berita media (sebagai contoh suatu teks) yang sebagian bernada tendensius dan mengeneralisasikan kekejaman di Timur Tengah itu. Itulah pentingnya memberi makna yang berbeda pada suatu konsep yang sudah kita kenal selama ini. Minimal perubahan makna yang lebih menenangkan jiwa.

Tapi mengapa, sebagaimana saya sampaikan di awal tulisan ini, bahwa grup itu saya anggap menerapkan dekonstruksi? Saya langsung saja mencari di google dan menemukan bahwa AF, pendiri grup memang berniat membuat sesuatu yang baru dalam musik gambus. Dia terinspirasi oleh penampilan Maher Zain, penyanyi religi Islam asal Swedia. Dia ingin agar grupnya memiliki keunikan dan diterima khalayak luas, khususnya kalangan milenial.

Maka konsenya adalah membuat aransemen yang menarik bagi kalangan muda, mencari lagu yang cocok, dan tentu saja vokalis wanita yang punya kemampuan olah vokal yang prima. Kebetulan pula, vokalis utamanya, berinisial N, memang berpenampilan menarik, enerjik, dan usianya masih tergolong milenial.

Berbagai proses yang dilakukan AF sebagai inisiator grup S menunjukkan bahwa ia tidak hanya berhenti pada pemaknaan musik gambus yang sudah ada sebelumnya. Seperti dinyatakan Derrida tentang dekonstruksi, AF membongkar pemaknaan bahwa musik gambus adalah musik kalangan bawah dan tema yang dibawakan adalah hal yang tidak relevan dengan kekinian.

Yang lebih penting, AF memaksa khalayak (tanpa disadari) untuk menganggap musik yang disampaikan grupnya adalah unik dan nikmat, serta bergengsi. Kita lihat, beberapa waktu yang tidak lama setelah lagu itu meledak, kita sering mendengar lagu Deen Assalam diputar di berbagai mall.

Dalam pemaknaan yang belum didekonstruksi oleh AF dan crew, musik gambus tidaklah demikian. Itulah contoh aktualisasi teori dekonstruksi dalam merebaknya musik gambus dari grup S beberapa waktu lalu.

Selain membongkar makna yang sudah ada, teori dekonstruksi Derrida juga berupa menelaah makna yang terpinggirkan. Diketahui bahwa Derrida mengkritik filsafat Barat pada umumnya yang menyatakan bahwa makna yang sudah ada adalah makna utama. Karena itu, makna yang muncul kemudian adalah makna yang sifatnya lebih lemah.

Peristiwa yang disebut logosentrisme yang ditentang oleh Derrida ini juga ditampilkan oleh AF dalam grupnya. Dia mengangkat dan mengemansipasikan musik gambus yang biasanya hanya di komunitas terbatas dan kurang luas, menjadi bagian pentas yang ada di media TV maupun pentas di berbagai panggung. Di youtube kita bisa melihat pentas grup S di berbagai kota, berbagai provinsi, bahkan di luar negeri.

Sekali lagi, makna musik gambus yang semula bersifat pinggiran, menjadi salah satu mainstream.

Begitulah para pembaca, kekaguman saya pada satu grup gambus yang sayangnya sekarang sedang mengalami musibah. Semoga masalah itu cepat teratasi dan grup ini bisa tetap eksis di blantika musik tanah air.

Para penggemar sangat rindu pada inovasi seperti ini. Tanpa sadar, grup ini mengajarkan kita pada satu kajian filsafat yang sebetulnya sangat serius.

Filsafat berusaha mencari kebenaran, dan kita semua tentu berusaha mencari kebenaran, kalau bisa kita melakukannya sambil menikmati alunan musik gambus bernuansa kekinian.

Diki
17 Februari 2021