Tes Covid-19, Jangan Memaksakan Memakai Rotan

Dalam krisis jangan lagi memaksakan memakai rotan, carilah akar yang mungkin kualitasnya tak sebaik rotan namun masih bisa berguna untuk mengurangi ancaman krisis.

Jumat, 18 September 2020 | 12:26 WIB
0
371
Tes Covid-19, Jangan Memaksakan Memakai Rotan
Ilustrasi (Pixabay.com)

Tes Covid-19, jangan memaksakan memakai rotan. Seperti kata pepatah Tak Ada Rotan Akar Pun Jadi, Indonesia memiliki kemampuan yang terbatas jadi harus lebih cerdas agar bisa memaksimalkan jumlah tes Covid-19, guna menekan penularan.

Tes PCR (polymerase chain reaction) memang yang terbaik namun selain keterbatasan alat dan lab, keterbatasan orang yang mampu mengoperasikan lab untuk PCR juga terbatas di Indonesia. Sehingga sampai sekarang (September 2020) jumlah tes yang bisa dilakukan hanya sekitar 30 sampai 40 ribuan spesimen per hari.

Rapid Test (Tes Cepat)

Rapid Test atau tes cepat yang banyak beredar di Indonesia adalah tes cepat antibodi. Tes cepat antibodi memiliki kelemahan dibanding PCR atau tes cepat antigen karena antibodi baru muncul setelah beberapa hari orang terinfeksi dan sering masih ada dalam darah selama beberapa minggu setelah orang tersebut sembuh.

India menggunakan tes cepat untuk mengatasi kurangnya tes PCR. Namun tes cepat yang digunakan bukan berdasar antibodi namun antigen.

Tes cepat antigen tidak menggunakan sampel darah melainkan mengambil sampel swab atau usap belakang tenggorokan atau hidung, sama seperti tes PCR.  Namun tes ini tidak membutuhkan mesin yang canggih untuk memprosesnya.

Sampel usap dicampur dengan bahan kimia yang memecah virus untuk mengeluarkan suatu protein spesifik virus. Campuran ini dialirkan ke kertas strip mengandung antibodi yang bisa mengikat protein spesifik virus, jika memang campuran sampel usap dan bahan kimia mengandung protein tersebut.

Penanda hasil positif bisa berupa timbulnya pendaran cahaya (fluorescent glow) atau munculnya garis hitam pada kertas strip. Proses ini hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit dan tidak membutuhkan lab.

Keunggulan Tes Cepat Antigen

Berbeda dengan tes PCR yang mampu mengidentifikasi satu molekul RNA virus pada satu mikro liter larutan sampel, tes antigen membutuhkan sampel yang mengantung ribuan atau puluhan ribu RNA virus per satu mikro liter.

Sensitivitas rendah yang merupakan keunggulan tes cepat antigen menurut Michael Mina seorang ahli imunologi Harvard T.H Chan. Karena bisa menangkap orang yang sedang tinggi viral loadnya. Viral load mencerminkan seberapa besar seseorang bisa menularkan virus ke orang lain. Semakin tinggi viral load semakin mungkin kita menjadi penular virus.

Hasil penelitian di Singapore memperoleh kesimpulan bahwa seseorang tak lagi menularkan setelah 11 hari positif walaupun tes PCR masih menunjukkan hasil positif.  Penelitian ini juga mengatakan bahwa tes PCR tak bisa menunjukkan viral load.

Baca : Setelah 11 hari pasien positif tak lagi menular

Harga tes cepat antigen juga jauh lebih murah dibanding PCR. Alat tes antigen buatan Abbot hanya berkisar USD 5 atau sekitar Rp 75 ribu, tes PCR di Surabaya paling murah biayanya adalah Rp 1,2 juta.

India

Sekarang ini India mampu melakukan 1 juta tes per hari. Walau sebagian tes tersebut adalah tes cepat antigen. BBC mengatakan dari tanggal 29 Juni sampai 28 Juli 2020, Delhi melakukan 587.590 tes Covid-19. 63 persen dari tes itu menggunakan tes cepat antigen.

Nature menemukan bahwa pertengahan Juli 2020 tambahan jumlah positif Covid-19 berkurang di Delhi dan jumlah harian orang meninggal menurun. Suatu fakta yang bisa jadi merupakan bukti tes cepat antigen berhasil membantu mengendalikan pandemi menurut Nature.

Saat ini India menggunakan tiga produk tes cepat antigen, buatan India, Korea Selatan dan Belgia. Akurasi produk-produk ini berkisar dari 51 persen sampai 84 persen menurut Indian Council of Medical Research.

Tetapi otoritas India tetap mewajibkan tes PCR bagi orang-orang bergejala walau tes antigennya negatif

Indonesia

Indonesia, saya pikir juga seharusnya mulai menggunakan tes cepat antigen untuk meningkatkan kapasitas tes. Apalagi peneliti Universitas Padjadjaran juga sudah berhasil membuat prototipe tes cepat antigen dengan akurasi 60 sampai 80 persen sehingga kita bisa memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri.

Selain itu seperti yang sudah ditulis oleh Pak Dahlan Iskan, Indonesia juga seharusnya memaksimalkan pool tes PCR. Pool tes yang bisa meningkatkan kapasitas sampai dengan berkali kali lipat.

Baca : Tiga Bersamaan

Terus terang saya tidak tahu apakah penggunaan pool tes PCR ini sudah dimaksimalkan atau belum?

Penggunaan tes cepat antigen atau pool tes PCR inilah yang bisa dibilang menggunakan akar ketika rotan tak tersedia.

Para Ahli Epidemi Indonesia

Terus terang saya bosan dengan saran ahli epidemi Indonesia. Selain 3T (Test, Trace dan Treat), kemungkinan akan menyarankan pengetatan PSBB atau kalau yang ini saya setuju sekali, ketegasan bagi pelanggar aturan PSBB.

Belum lagi ketika ahli menjadi penasihat pemerintah daerah. Apa yang dilakukan pusat salah terus (memang pusat tidak sempurna saya setuju). Tetapi ketika pemerintah daerah salah, tidak dikritisi keras malah ada kecenderungan dibela.

Ahli seharusnya selalu berdasar sains bukan siapa yang bayar, sehingga akan seimbang dalam mengkritisi.

Ahli seharusnya bisa membantu sumbang pikiran untuk mengatasi ketidakmampuan Indonesia. Sebagai contoh penggunaan tes cepat antigen atau pool tes PCR untuk mengatasi kekurangan tes Covid-19 di Indonesia. Sejauh yang saya tahu belum ada yang mengusulkan hal ini.

Sudah saatnya kita bukan lagi saling menyalahkan dan bersatu guna menghadapi pandemi ini. Dalam krisis jangan lagi memaksakan memakai rotan, carilah akar yang mungkin kualitasnya tak sebaik rotan namun masih bisa berguna untuk mengurangi ancaman krisis.

 Referensi : Nature,  BBC

Ronald Wan