Itulah sesungguhnya tragedi yang terjadi di atas panggung episode banjir di ibukota pada awal tahun baru ini yang terekam oleh Google.
Google, mesin pencarian canggih dengan kata kunci di jaringan internet, mencatat nama “Gubernur Terbodoh”. Coba saja ketik kata kunci itu. Dan lihat hasilnya: sebuah nama muncul. Sudah tahu, ya, siapa dia gubernur terbodoh.
Google itu memang mesin pencari yang super pintar. Bekerja dengan sistem algoritma komputer sangat canggih. Semua jejak digital akan terekam di “otak” Google. Saat ada permintaan dengan kata kunci pasti bisa dijawab dengan tepat oleh Google.
Google merekam semua ucapan dan tindakan kita dalam jejak digital. Sepertinya ada gubernur yang bangga pamer kebodohan selama ini yang jejak digitalnya terdeteksi dan lalu tersimpan di “otak” Google.
Apa yang disebut Google terbukti.
Nama yang dimaksud Google tampak memperlihatkan kebodohannya saat banjir seperti tsunami yang meluluh-lantakkan banyak wilayah Ibukota Jakarta akibat hujan yang sangat deras menyambut Tahun Baru 2020. Bahkan banjir di hari pertama tahun baru ini seperti sengaja ia jadikan panggung untuk mempertontonkan kebodohannya. Dan ia sungguh begitu menikmatinya.
Banyak orang yang sudah memperingatkan dirinya soal kesiapan menghadiri banjir. Peringatan ini berkali-kali dilayangkan. Tapi apa yang terjadi? Peringatan-peringatan itu seperti masuk dari kuping kiri lalu langsung keluar kuping kanan. Peringatan-peringatan itu tidak ada yang pernah benar-benar mampir di otaknya sedetik pun.
Ketika banjir benar-benar terjadi dan sebagian warga kota yang mengalaminya menjadi susah ia justru tak melakukan apa-apa untuk bekerja secepat mungkin mengatasinya. Ia justru sibuk membantah dengan mengeluarkan jurus-jurus mengeles lewat kata-kata panjang yang tak ada artinya sama sekali yang membuat warga semakin bingung dan ia terlihat seperti orang bodoh.
Kebodohan itu ia pamerkan di atas penderitaan korban banjir. Saat ada yang mengajak untuk segera bekerja ia justru menantang berdebat. Saat ditemukan banyak bukti bahwa pompa air banyak yang tak berfungsi -antara lain karena bahan bakar solarnya dijual- ia mencari alasan mengapa pompa-pompa air itu tidak difungsikan.
Ia pun berbohong dengan menyebut tak ada banjir di kawasan pemukiman elite padahal ketinggian banjir di situ sampai dua meter. Ketika ditugaskan untuk segera membereskan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya malah ia lempar ke orang lain yang harus menyelesaikannya.
Bukan itu saja. Kelalaian mengatasi banjir ini ia jadikan ajang main sinetron dengan judul “Gubernur Rasa Presiden” - dengan pemeran pembantu salah satu anak buahnya sendiri yang menyamar jadi warga gadungan - disaksikan beberapa media online yang sudah di-booking sebagai humas yang menyiarkan sinopsis copy paste.
Ia memilih mengambil alih pekerjaan pasukan oranye daripada memberdayakan pasukan oranye untuk bersiap-siap menghadapi banjir jauh-jauh hari sebelum banjir itu datang. Ia tega menyunat anggaran untuk mencegah banjir - termasuk anggaran untuk kerja pasukan oranye - yang dipotong sampai setengah triliun rupiah.
Ada yang bilang jangan kasih panggung orang bodoh buat dia terkenal. Tapi yang terjadi ada orang yang berdiri di atas panggung warga yang kelelep banjir untuk mempertontonkan kebodohannya. Dan dari atas panggung itu pun dia berteriak-teriak pakai TOA untuk membodoh-bodohi warga yang dianggap semuanya bodoh seperti dirinya.
Itulah sesungguhnya tragedi yang terjadi di atas panggung episode banjir di ibukota pada awal tahun baru ini yang terekam oleh Google: ada orang yang sengaja membodohi diri sendiri mengajak orang lain berbuat kebodohan yang sama dengannya dan terus berulang-ulang sampai tahun 2024 mendatang.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews