Kebijakan yang didasarkan pada temuan temuan dari ‘mesin pembaca’ yang polos atau laporan sepihak dari pemilik akun lain itu sungguh tidak mewakili spirit kemanusiaan.
Hari ini, Kamis 12 November 2020, pertama kali membuka halaman fabebook, ada beberapa notifikasi. Salah satunya adalah permintaan pertemanan dari Pepih Nugraha II. Saya kaget, benarkah ini Kang Pepih Nugraha, sahabat saya? Lalu saya tanyakan langsung. Ternyata benar, itu akun baru Kang Pepih. Alasan dia membuat akun baru adalah akun yang sebelumnya, existing account, sering terkena halting oleh facebook. Waduuuhh ...!
Saya jadi bertanya-tanya, ada apa dengan facebook? Setahu saya, konten yang biasa ditulis oleh Kang Pepih di facebook, tidak ada yang bisa dikategorikan menyerang pihak lain secara destruktif, atau menggunakan kata, kalimat yang tidak pantas. Pun tidak bertentangan dengan akal sehat yang berlaku universal, baik itu terkait etika atau aspek legal dalam bersosial media.
Kasus yang menimpa Kang Pepih bukan yang pertama, masih sederet teman yang pernah mengeluh akunnya disetrap oleh facebook, durasinya berbeda-beda. Umumnya, berdasarkan notifikasi yang mereka dapat, alasan penerapan ‘hukuman’ itu adalah melanggar standar komunitas yang berlaku di facebook.
Dari mana facebook mengetahui bahwa konten dari trit yang ditulis seseorang melanggar ‘standar komunitas yang berlaku di facebook’? Kemungkinannya dua: Pertama, berdasarkan hasil ‘membaca’ yang dilakukan oleh mesin atau aplikasi. Kedua, berdasarkan pengaduan dari pemilik akun lain.
Persoalannya, seakurat apa sebuah ‘mesin pembaca’ bisa menyimpulkan bahwa satu tulisan atau trit yang dibuat oleh satu pemilik akun facebook dinyatakan bersalah: malanggar standar komunitas yang berlaku di facebook?
Satu hal saja, apakah ‘mesin pembaca’ itu memiliki sense of humor, sehingga bisa membedakan mana hal yang serius, mana yang bercanda, dari satu trit? Apakah ‘mesin pembaca’ bisa memahami satu trit itu adalah satir, sindiran, atau bukan? Saya yakin tidak.
Terlebih lagi, trit di wall facebook yang ditulis oleh sekitar 130 juta pemilik akun facebook di Indonesia, adalah dalam Bahasa Indonesia. Seberapa pintarkah ‘mesin pembaca’ itu memahami satu tulisan dalam Bahasa Indonesia, dalam berbagai konteks?
Contoh, saya pernah mengunggah logo Airbus Industri yang mirip dengan logo Sinar Mas Group. Langsung ada pemberitahuan, “Apakah Anda menjual satu produk?” Saya paham. Pertanyaan itu disampaikan oleh ‘mesin pembaca’ yang polos. Selain itu, mungkin karena Airbus adalah kompetitor utama dari produsen pesawat Amerika (Boeing), tetangga facebook di Seattle sana. Jadi langsung ditanyakan.
Tapi, betapa konyolnya menanyakan, apakah saya berjualan pesawat Airbus di wall facebook saya. Apalagi dari data saya yang ditulis di akun, ketika membuat akun, facebook tahu siapa saya. Ini membuktikan, betapa rentannya untuk terjadi dispute jika facebook hanya mengandalkan ‘mesin pembaca’ dan pengaduan dari orang lain (pemilik akun).
Terkait dengan ‘standar komunitas yang berlaku atau diberlakukan di facebook’, saya bisa paham kalo itu sifatnya universal: menghormati HAM, tidak rasis, sopan, dan seterusnya. Tapi bagaimana jika standar itu sifatnya dinamis, dikaitkan dengan kepentingan bisnis atau keberpihakan politik (jika iya) facebook di Amerika, dunia, atau di satu negara? Kan sebagian besar pemilik akun tidak tahu itu.
Ini makin menambah rentan untuk terjadinya dispute, yang berakhir dengan hukuman atau bahkan likuidasi atas akun seseorang. Ini harus segera dibenahi.
Kemudian, jika pelanggaran itu didasarkan pada laporan seseorang (pemilik akun), maka betapa tidak logis dan gegabahnya facebook menjatuhkan hukuman pada satu pemilik akun, tanpa ‘pengadilan’ fair dan terbuka untuk berkomunikasi.
Maka tidak ada salahnya facebook memberika notifikasi dini dan mudah dibaca seperti notifikasi tentang komen dll. Sehingga, pemilik akun yang dianggap atau dilaporkan melanggar, bisa segera menyadarinya atau memberikan penjelasan.
Jadi, jika facebook berniat memperbaiki sistem untuk meningkatkan akurasi identifikasi dalam menjaga kepatuhan pemilik akun atas ‘standar komunitas yang berlaku di facebook’, sebagai pemilik akun facebook, saya siap menjadi Menteri Pertahanan ... eh, siap diajak berdialog atau menjadi adviser facebook untuk Bahasa Indonesia. Rate, bisa nego. Lohhh ... kok jadi minta job? Becanda Mark, ... becanda (tapi kalo beneran .. ya boleh juga sih).
Ketika membuat akun, facebook menyodorkan terms and conditions untuk disetujui atau tidak. Karena kita ingin memiliki akun facebook, yang pasti setuju. Tanpa dibaca dulu. Itu seperti kita mengajukan permohonan untuk memiliki (akun) kartu kredit dari satu bank. Itu adalah kontrak ‘legal’ antara kita calon pemilik akun facebook, dengan facebook sebagai pemilik platform. Sifatnya saling menguntungkan.
Ketika seseorang membuat akun facebook, maka crowd yang ‘dimiliki’ facebook jadi bertambah. Karena saling menguntungkan, maka secara ‘pemikiran rasional dan universal’, posisi kita sebagai pemilik akun dan facebook sebagai pemilik dan penyedia platform, adalah setara, egaliter.
Jadi, jika ada konten yang sifatnya berpotensi menimbulkan dispute, maka sudah seharusnya facebook memberitahu pemilik akun untuk menyadarinya, atau meminta penjelasan. Karena itu tadi, temuan itu didapat dari ‘mesin pembaca’ yang lugu dan pengaduan sepihak dari pemilik akun lain.
Sejak berdiri pada Februari 2004, facebook sudah membuka sekitar 2,7 miliar akun di seluruh dunia. Bagi pemiliknya, Kang Mark Zuckerberg, facebook adalah institusi bisnis, platform media yang menghasilkan pendapatan dari iklan dan lainnya. Nilai kapitalisasi pasar facebook di Bursa Wall Street (NYSE) per 22 Agustus 2020 sudah mencapai US$760,7 miliar.
Facebook bisa sebesar itu, perusahaan no.6 terbesar di dunia, karena adanya pemilik akun facebook yang berjumlah 2,7 miliar itu, di mana 130 juta (4,81%) di antaranya di Indonesia.
Seseorang memiliki akun facebook berarti orang itu memiliki kesepakatan dengan facebook. Apa yang mendasari kesepakatan itu, Mark? Kepercayaan. Saling percaya antara pemilik akun dengan facebook. Tentunya selama kesepakatan itu berlangsung, sekecil apapun, setiap pemilik akun telah berkontribusi bagi tumbuhnya facebook menjadi sebesar sekarang.
Pada akun facebook, orang menulis banyak hal. Bahkan tidak sedikit orang yang mempercayai facebook sebagai tempat aman menyimpan berbagai catatan pentingnya. Nah, di akun Kang Pepih Nugraha yang memiliki akun facebook sudah lebih dari 10 tahun, selain diikuti oleh lebih dari 19.000 akun lain, juga tersimpan ratusan tulisan, puluhan ribu trit, ribuan foto, ribuan interaksi, dan sejuta kenangan.
Alangkah facebook seperti tidak mempertimbangkan hal itu jika menghukum (halting tanpa batas waktu) apalagi melikuidasi satu akun, hanya karena temuan dari ‘mesin pembaca’ atau laporan sepihak dari pemilik akun lain yang tidak bersetuju dengan trit dari satu pemilik akun. Tentu, seseorang yang akunnya dilikuidasi facebook, bisa membuat akun baru.
Meski membuat akun baru itu gratis, tapi dia harus kehilangan semua yang telah ditulis di akun lama selama lebih dari 10 tahun, dengan segala kenangan yang menyertainya. Tidak semudah itu, Mark ... (hiks ..., hiks ...). Akun baru tidak akan bisa menggantikan akun lama.
Jika kebijakan itu terus berlangsung dan tidak segera ada perubahan, itu sungguh bertentangan dengan sikap dan perilaku luhur yang ditunjukkan oleh Mark dan Pricilia Chan, seperti dalam artikel ‘Hati Yang Memberi’ yang pernah saya tulis.
Kebijakan yang didasarkan pada temuan temuan dari ‘mesin pembaca’ yang polos atau laporan sepihak dari pemilik akun lain itu sungguh tidak mewakili spirit kemanusiaan dari Mark dan Pricilia. Facebook yang sudah menjadi soulmate bagi setiap para pemilik akunnya, hendaknya lebih mengedepankan penghormatan atas loyalitas yang telah ditunjukkan oleh para pemilik akun. Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews