Proses yang dilakukan negara untuk menghasilkan desain yang terbaik, justru makin membuat masyarakat “salah paham” dan menggampangkan terhadap profesi arsitek.
Ketika dulu saya memutuskan mendaftar kuliah di jurusan arsitektur, saya sudah tahu kalau profesi arsitek di Indonesia kurang dihargai. Hal ini saya lihat dari pengalaman Om saya yang berprofesi sebagai arsitek. Banyak orang yang menganggap pekerjaan arsitek itu cuma modal kertas, tapi minta bayaran mahal.
Orang–orang tidak menyadari kompetensi khusus yang dimiliki arsitek dalam merancang bangunan. Ternyata hingga hari ini, hal tersebut belum banyak berubah.
Hari–hari ini dengan kontroversi desain bangunan istana negara, kekurang tahuan masyarakat mengenai profesi arsitek terlihat lagi. Ada orang yang mengira bahwa mendesain gedung, yang utama perancangnya harus paham seni. Sehingga seniman apa saja berhak ikut mendesain bangunan. Padahal, mendirikan bangunan membutuhkan pengetahuan mengenai teknik konstruksi juga.
Setelah itu adalagi yang berpikir bahwa merancang bangunan cukup tahu seni dan teknik konstruksi saja. Sehingga tidak heran banyak orang yang memilih membayar tukang saja daripada membayar jasa arsitek. Padahal masih banyak aspek lain yang harus diperhatikan ketika merancang bangunan, agar supaya bangunan dapat berfungsi optimal.
Bangunan adalah “wadah” aktivitas manusia, maka tentunya kegiatan yang akan diwadahi beserta perilaku manusianya juga harus dipahami.
Memahami aktivitas yang akan diwadahi akan mempengaruhi tata ruang dari bangunan yang direncanakan. Tidak hanya tata ruang, tapi hingga detail interiornya.
Aspek yang lain… bangunan yang baik, tidak hanya yang bisa berdiri dan tidak rubuh. Harus dipikirkan utilitasnya, responnya terhadap iklim, harus hemat energy, harus aman, harus pemeliharaannya mudah dan masih banyak hal lain yang harus dipikirkan.
Itulah sebabnya, meski produk jasa seorang arsitek cuma kertas, tapi untuk menampilkan sesuatu di kertas tersebut butuh belajar lama. Belajar secara formal saja minimal 4 tahun. Itupun lulus, masih belum bisa disebut berprofesi arsitek. Karena masih banyak kompetensi yang harus dipelajari.
Kembali mengenai desain bangunan istana negara, proses yang dilakukan negara untuk menghasilkan desain yang terbaik, justru makin membuat masyarakat “salah paham” dan menggampangkan terhadap profesi arsitek. Dan yang disesalkan adalah pelanggaran terhadap undang–undang yang disahkan pemerintah sendiri. Di mana merancang bangunan adalah scope pekerjaan arsitek.
Kalau dalam hal ini saja tidak ada ketegasan, untuk apa ada profesi arsitek? Yang terlihat dalam hal ini justru kurangnya penghargaan terhadap salah satu profesi di negeri ini.
Masyarakat sendiri juga tidak kalah kocaknya. Ada masyarakat “kurang cerdas” yang selalu berpikir kalau pemerintah pasti benar! Sedangkan yang terparah adalah kelompok “bucin”, yang menganggap bahwa semua keputusan presiden pasti benar dan pasti keren.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews