Menghargai Profesi

Proses yang dilakukan negara untuk menghasilkan desain yang terbaik, justru makin membuat masyarakat “salah paham” dan menggampangkan terhadap profesi arsitek.

Rabu, 7 April 2021 | 07:01 WIB
0
229
Menghargai Profesi
Rancangan istana baru (Foto: Grid.id)

Ketika dulu saya memutuskan mendaftar kuliah di jurusan arsitektur, saya sudah tahu kalau profesi arsitek di Indonesia kurang dihargai. Hal ini saya lihat dari pengalaman Om saya yang berprofesi sebagai arsitek. Banyak orang yang menganggap pekerjaan arsitek itu cuma modal kertas, tapi minta bayaran mahal.

Orang–orang tidak menyadari kompetensi khusus yang dimiliki arsitek dalam merancang bangunan. Ternyata hingga hari ini, hal tersebut belum banyak berubah. 

Hari–hari ini dengan kontroversi desain bangunan istana negara, kekurang tahuan masyarakat mengenai profesi arsitek terlihat lagi. Ada orang yang mengira bahwa mendesain gedung, yang utama perancangnya harus paham seni. Sehingga seniman apa saja berhak ikut mendesain bangunan. Padahal, mendirikan bangunan membutuhkan pengetahuan mengenai teknik konstruksi juga. 

Setelah itu adalagi yang berpikir bahwa merancang bangunan cukup tahu seni dan teknik konstruksi saja. Sehingga tidak heran banyak orang yang memilih membayar tukang saja daripada membayar jasa arsitek. Padahal masih banyak aspek lain yang harus diperhatikan ketika merancang bangunan, agar supaya bangunan dapat berfungsi optimal.

Bangunan adalah “wadah” aktivitas manusia, maka tentunya kegiatan yang akan diwadahi beserta perilaku manusianya juga harus dipahami.

Memahami aktivitas yang akan diwadahi akan mempengaruhi tata ruang dari bangunan yang direncanakan. Tidak hanya tata ruang, tapi hingga detail interiornya. 

Aspek yang lain… bangunan yang baik, tidak hanya yang bisa berdiri dan tidak rubuh. Harus dipikirkan utilitasnya, responnya terhadap iklim, harus hemat energy, harus aman, harus pemeliharaannya mudah dan masih banyak hal lain yang harus dipikirkan.

Itulah sebabnya, meski produk jasa seorang arsitek cuma kertas, tapi untuk menampilkan sesuatu di kertas tersebut butuh belajar lama. Belajar secara formal saja minimal 4 tahun. Itupun lulus, masih belum bisa disebut berprofesi arsitek. Karena masih banyak kompetensi yang harus dipelajari.

Kembali mengenai desain bangunan istana negara, proses yang dilakukan negara untuk menghasilkan desain yang terbaik, justru makin membuat masyarakat “salah paham” dan menggampangkan terhadap profesi arsitek. Dan yang disesalkan adalah pelanggaran terhadap undang–undang yang disahkan pemerintah sendiri. Di mana merancang bangunan adalah scope pekerjaan arsitek.

Kalau dalam hal ini saja tidak ada ketegasan, untuk apa ada profesi arsitek? Yang terlihat dalam hal ini justru kurangnya penghargaan terhadap salah satu profesi di negeri ini. 

Masyarakat sendiri juga tidak kalah kocaknya. Ada masyarakat “kurang cerdas” yang selalu berpikir kalau pemerintah pasti benar! Sedangkan yang terparah adalah kelompok “bucin”, yang menganggap bahwa semua keputusan presiden pasti benar dan pasti keren.

***