Perempuan dan Kesenjangan Digital: Peran beserta Hambatan (1)

Kamis, 24 Desember 2020 | 07:53 WIB
0
223
Perempuan dan Kesenjangan Digital: Peran beserta Hambatan (1)
Ilustrasi: Perempuan dan Internet

Artikel ini melihat sejauh mana kesenjangan gender dalam transformasi digital merugikan perempuan, dan upaya untuk memaknai realitasnya dalam konteks perempuan Indonesia.

Tulisan ini merupakan bagian pertama hasil tinjauan literatur terhadap laporan-laporan selama 2019 hingga 2020, baik dari organisasi independen maupun pemerintah seperti World Wide Foundation, Women Will, Google, GSM Association, Organisation for Economic Co-operation and Development, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Data laporan mengenai kesenjangan gender dalam akses teknologi menunjukkan perempuan cenderung memiliki tingkat literasi, pendidikan, dan keterampilan digital lebih rendah ketimbang laki-laki.

World Wide Web Foundation (2020) dalam laporan Hak-Hak Daring Perempuan, mengungkapkan perempuan di seluruh dunia dibombardir oleh budaya misogini online, perilaku agresif, ujaran kebencian, ancaman kekerasan, pelecehan, dan balas dendam pornografi yang melibatkan informasi pribadi untuk pencemaran nama baik.

Laporan GSM Association (2020) juga mencatat perempuan cenderung tidak mandiri secara finansial ketika kesenjangan gender digital kian meluas. Perempuan terus menunjukkan tren lebih jarang dan kurang intens mengakses internet selama dua dekade terakhir.

Sebagaimana temuan studi Ono dan Zavodny (2003), akses ke internet dan perangkat digital lainnya idealnya memberi manfaat finansial serta sosial. Individu yang memiliki keterampilan digital mampu menghasilkan 15% lebih banyak, secara rata-rata dibandingkan individu tanpa keterampilan digital. Begitu pun soal kesempatan mendapatkan pekerjaan, sebab internet menjadi sarana utama membuka peluang yang demikian.

Di sisi lain, Women Will turut memberi gambaran bagaimana optimisme perempuan Indonesia 23% lebih tinggi jika sebagai pengguna internet. Data lainnya mengungkapkan sebanyak 40% perempuan usia 25 sampai 34 tahun nyatanya lebih memilih mendirikan usaha sendiri daripada bekerja di perusahaan orang lain.

Jika merujuk pada pernyataan World Economic Forum (2020), kesetaraan gender diperlukan karena alasan ekonomi. Alasan ekonomi menjadikan perempuan memiliki akses penuh terhadap potensi diri mereka. Selama masih ada kesenjangan gender, perempuan tidak akan dapat memaksimalkan potensinya. Lebih dari itu, kesetaraan gender juga merupakan masalah keadilan.

Lalu bagaimana sebenarnya perempuan di belahan dunia ketiga menggunakan internet? Hambatan apa saja yang dihadapi? Serta apa komitmen jangka panjang untuk memberdayakan agar kehidupan berdigital menjadi lebih bermakna bagi kehidupan perempuan seutuhnya.

Bagaimana Sebenarnya Perempuan Menggunakan Teknologi?

Penggunaan internet dapat diartikan cara kita menggunakan internet dan frekuensi pemakaian, waktu yang dihabiskan, perangkat, dan kegiatan, hingga alasan mengapa beberapa orang lainnya tidak menggunakan internet.

Menurut Women Will (2020), mayoritas orang yang tidak menggunakan internet di Asia Pasifik, menggunakan ponsel untuk kegiatan daring. Misalnya, perempuan Filipina cenderung melihat internet sebagai alat komunikasi yang berharga daripada cara pria melihatnya. Sama halnya bagi perempuan Australia, cenderung mengapresiasi informasi on demand dibanding kaum pria.

Perempuan Thailand menghabiskan paling banyak waktu daring dibandingkan seluruh perempuan Asia Pasifik. Sedangkan perempuan India sebaliknya, menghabiskan paling sedikit waktu mengakses internet. Smartphone juga masih menjadi perangkat popular untuk mereka mengakses internet.

Hambatan-Hambatan yang Dihadapi Perempuan

Menariknya sekitar 53% perempuan Indonesia masih bergantung kepada teman atau keluarga untuk belajar cara mengakses internet. Pada titik ini, sejalan dengan apa yang dikatakan Melhem dkk (dalam Kemenpppa, 2019), di negara berkembang, salah satu kendala perempuan terkait penggunaan dan akses teknologi informasi adalah faktor teknis.

Namun lanjutnya, faktor sosial budaya juga turut andil membatasi akses perempuan dalam memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana pengembangan dan pemberdayaan. Terry dan Gomez (dalam Kemenpppa, 2019) menambahkan, permasalahan infrastruktur dan konektivitas, serta ketersediaan waktu dan biaya menjadi hambatan paling utama bagi perempuan negara berkembang.

Paradigma dominan bahwa seorang perempuan idealnya berperan sebagai ibu rumah tangga, sehingga kebanyakan waktu dan tenaga dihabiskan untuk mengurus keluarga. Kurang dari 40% perempuan melihat internet sebagai alat rumah tangga (Women Will, 2020).

Artinya, di Indonesia belum banyak kesadaran perempuan melihat internet sebagai potensi untuk mengembangkan diri, sekalipun sebagai ibu rumah tangga. Meski 40% perempuan Indonesia menyadari keinginan untuk berbisnis, hanya 37,49% yang mengakses internet (Kemenpppa, 2019), dan sekitar 25%-nya lagi menggunakan internet untuk bersosialisasi dengan orang yang memiliki minat yang sama.

Internet dan Produksi Kultural

Jika menarik kesimpulan dari seluruh data yang dipaparkan di atas, mempermasalahkan infrastruktur dalam kesenjangan digital tidaklah cukup memadai. Melalui riset, Google (2019) menyarankan seseorang harus dapat mengontrol kapan, di mana, dan bagaimana mereka terhubung.

Agensi, mobilitas, dan rutinitas harian seseorang merupakan faktor penting yang menentukan kemampuannya mengakses internet. Sayangnya, ada persepsi bahwa akses internet bagi perempuan harus dibatasi. Internet dianggap sebagai ancaman bagi peran dan reputasi perempuan.

Penelitian Google (2019) juga mencermati ada kekhawatiran keterpaparan perempuan ke akses internet dapat berpotensi mengalami ancaman dan gangguan yang berimplikasi pada tanggung jawab sosial. Persepsi ini pada akhirnya membatasi agensi digital perempuan seperti pelarangan perangkat dan pembatasan waktu, dan pada akhirnya berdampak merusak kemampuan literasi perempuan untuk mengakses internet.

Paparan konten sosial di internet dianggap memungkinkan perempuan muda untuk terjebak dalam promiskuitas. Melalui penggunaan jejaring sosial misalnya, mendorong keinginan tidak senonoh, atau melihat konten online eksplisit seperti video skandal. Dalam kasus ekstrim, Google juga menambahkan, penggunaan internet dikaitkan dengan perilaku promiskuitas lain seperti berselingkuh.

Lalu apa tawaran dalam diskusi isu kesenjangan gender digital ini? Dan bagaimana membongkar lebih jauh internet sebagai arena produksi kultural? Selanjutnya akan dibahas dalam artikel bagian kedua “Perempuan dan Kesenjangan Digital: Internet sebagai Arena Produksi Kultural”.

Referensi:

Herbert, S. (2017). Digital development and the digital gender gap.

Mariscal, J., Mayne, G., Aneja, U., & Sorgner, A. (2019). Bridging the gender digital gap. Economics: The Open-Access, Open-Assessment E-Journal, 13(2019-9), 1-12.

Ono, H., & Zavodny, M. (2003). Gender and the Internet. Social Science Quarterly, 84(1), 111-121.

Santos, N. S., García-Holgado, A., & Sánchez-Gómez, M. C. (2019, October). Gender gap in the Digital Society: a qualitative analysis of the international conversation in the WYRED project. In Proceedings of the Seventh International Conference on Technological Ecosystems for Enhancing Multiculturality (pp. 518-524).