Jalan Sunyi Mas AE

Setiap tulisan pendeknya adalah teror yang selalu menghantui saya, mencegah saya berhenti di satu kesimpulan yang sama. Ia mengajarkan untuk tak pernah selesai, dan harus bergerak terus...

Selasa, 14 April 2020 | 19:21 WIB
0
434
Jalan Sunyi Mas AE
AE Priyono (Foto: Detik.com)

Pageblug kali ini memang keparat betul!

Ketika kita tidak berada di lingkaran kaum parno, tidak ikut jadi panikan. Tidak ikut menimbun apa pun, karena di luar tidak ada yang bisa dipakai nimbun. Juga untuk apa? Tidak juga ikutan berlebihan ikut dalam gank-gank-an lockdown, PSSB, atau polemik perlu mudik atau tidak. Tidak ikut mempermasalahkan, Covid-19 itu hasil konspirasi, atau tentara Tuhan, atau cara alam menghukum manusia.

Tidak berada dimana pun. Tetap saja, kita ikut diseret sedih karena fenomena dan dampaknya. Satu per satu, pribadi yang kita kenal baik, pergi begitu saja. Sebagian tersebab hal lain, apa pun itu. Sebagian sangat besar jelas terdampak langsung pandemic ini. Ujungnya sama saja, gugatan yang sangat naif: kenapa harus sekarang?

Beberapa hari yang lalu, bekas tukang kebun saya meninggal. Seorang yang sangat sepuh, yang pernah menjadi narasumber Mas Linus Suryadi Ag (alm) dalam salah satu buku tentang kronik budaya Jawa masa lalu. Ia dikenal sebagai salah satu pemikat burung perkutut terakhir yang ada di Jogja.

Apa itu "pemikat"? Tukang pikat adalah seorang yang punya kemampuan alami memikat burung. Ia menangkap perkutut bermutu dengan cara diajak ngomong. Ya, diajak ngomong dengan bahasa manusia. Bukan dengan bahasa burung misalnya, sebagaimana mitos Nabi Sulaiman.

Entah bagaimana cerita dan caranya, si burung yang dipikat akan turun mendekat, dan membiarkan dirinya ditangkap dengan tangan kosong tanpa perlawanan sedikit pun. Di masa tuanya, keahlian tersebut hilang seturut menghilangnya vegetasi di daerah selatan Jogja. Pepohonan satu persatu lenyap, sawah tak tersisa, Dan ia menua menjadi tukang sampah di kampung kami. Ironi dan tragik sebagaimana budaya Jawa yang semula dilingkunginya...

Dan hari ini, mas AE Priyono salah satu intelektual independen idola dan panutan saya meninggal. Tidak terlalu mengagetkan, karena gerah-nya, sakitnya sudah cukup lama. Hanya sekali lagi saya mengutuki waktunya, yang seolah tidak tepat. Caranya yang tidak adil. Cara sederhana manusia menggugat Kuasa Ilahi yang kadang terasa jadi lucu. Kanjeng Gusti Allah kok dilawan.

Mas AE sudah lama sakit, walau pun sering disembunyikannya, lebih tepat seolah tidak dirasakannya. Tapi teman-teman dekatnya dengan mudah ikut merasakan sakitnya itu. Walau ia tetap terbuka diajak diskusi, kemana saja. Di mana saja dan oleh siapa saja. Karena banyak yang butuh perspektif, cara pandangnya melihat fenomena suatu kasus, yang barangkali bagi sebagian orang.

Pikirannya selalu segar, spesifik, mendalam dan kata sahabat-sahabat dekatnya tidak pernah berulang (baca: copy paste). Termasuk saya, saat menemukan suatu kasus yang terasa sangat absurd dan tak terjelaskan....

Dalam konteks itulah, saya terakhir berdiskusi dengannya. Kebetulan sekali, kasusnya adalah apa yang dianggap oleh publik sebagai penistaan agama. Tampak gagah secara teks dan tema. Walau senyatanya jadi wagu dan lucu bagaimana mungkin seorang wanita, minoritas, dan tak berdaya berani melakukannya.

Hingga seketika, kasus ini mengundang simpati luas dan lebih daripada itu besar keinginan publik untuk ikut terllibat dengan cara menolong. Dan saat itu, kami adalah satu tim kecil, yang ndilalah berani bersikap kalau pun kita harus ikutan menolong. Kita harus tahu sendiri duduk perkara dan cerita sebenarnya. Sesuatu yang bagi lingkaran media saat ini, menjadi barang mewah dan mahal sekali.

Ya melalui penelitian lapangan yang obyektif! Bukan sekedar reportase yang sering bukan sekedar njomplang, tetapi terutama tidak adil bagi sebagian pihak. Dan dalam konteks inilah, kami bersepakat menemui dua orang yang kita anggap paling bisa dipercaya. Di luar mas AE, yang lainnya senior saya mbakyu Ida R. Noor, seorang sosilog yang saya pikir sangat memahami masalah-masalah konflik sosial secara akademis.

Kami ceritakan, hasil temuan kami di lapangan. Bahwa tidak semua hal yang dikatakan media adalah benar, tidak semua fakta apa dan siapa korban-nya sepenuhnya dapat dipercaya. Dan terutama yang tak pernah diliput (dan tentu saja sengaja disembunyikan) adalah konspirasi busuk di belakangnya.

Sedemikian absurdnya, kasus ini. Hingga kami memutuskan untuk menutup dan menghentikannya. Biarlah ini jadi sejenis X-File dalam hidup kami. Tanpa keinginan sedikitpun untuk mempublikasikan temuan kami. Karena kami sadar, tim kecil ini bukanlah kelompok gila kasus dan pencari sensasi.

Itu bukan kami! Kami memilih jalan sunyi, sebagaimana jalan hidup yang kemudian kami pahami dengan sangat terlambat. Sebagai apa yang ditempuh oleh mas AE di sepanjang karier intelektualnya...

Terlahir di Temanggung, 6 November 1958 dengan nama lengkap (yang publik pasti sangat jarang mendengar): Anang Eko Priyono. Anang sebenarnya adalah nama panggilan anak kecil yang artinya anak lanang. Nickname yang wajar saja di lingkungan keluarga Jawa, disembunyikan ketika seseorang beranjak dewasa. Sehingga ia lebih akrab dikenal sebagai Mas AE.

Baca Juga: Mengenang AE Priyono, Jalan Intelektual yang Semakin Sunyi

Ia adalah salah contoh langka, di mana minatnya sangat linier dan konsisten sejak zaman mahasiswa: dunia membaca, menafsir, dan menulis. Sebuah dunia yang sesungguhnya tidak terlalu butuh gelar akademis apa pun. Saya termasuk yang percaya, gelar muluk-muluk seperti S1 hingga S3, belakangan hanya membuat orang terkungkung. Kalau tidak mau dikatakan menjadi arogan untuk bersedia bersikap terbuka dan saling berbagi secara tulus.

Jadi wagu setiap hari ada pertanyaan berulang kok Doktor cara berpikirnya begitu? Yang harusnya dijawab secara simpel: Doktor kok jadi ukuran. Saya membaca buku hasil editorial pertama beliau, kumpulan tulisan-tulisan Kuntowijoyo berjudul "Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi". Sebuah buku yang di luar sangat penting, sekaligus menjelaskan "bagaimana sebaiknya Islam hidup dan bergerak" di Indonesia. Itulah salah satu legacy penting yang akan selalu dikenang sepanjang hayat Indonesia itu ada.

Sebagaimana galibnya intelektual independen, sangat mudah dipahami bahwa ia tidak "mapan dalam zona nyaman di satu rumah yang sama". Ia tak pernah menetap. Setelah hijrah dari Jogja, ia pernah bekerja di LP3ES, Harian Republika, Demos, dan lembaga riset yang lain-lain. Dan belakangan apa yang ia sebut sebagai Public Virtue Institute, lembaga virtual kajian kritis dengan sarana berbagi dan belajar bersama di media sosial.

Seraya terus ajeg mengikuti riset dan advokasi isu-isu HAM yang dianggap sebagai minat abadinya. Di luar itu ia selalu menyisakan ruang kontemplasi spiritual dan meminati kajian-kajian sufisme. Ia selalu terpukau dan mengapresiasi Iqbal, Rumi dan Ibn Arabi.

Di akhir-akhir masa hidupnya, saya pikir tak ada orang yang membaca buku sebanyak dirinya. Nyaris tiap 2-3 hari sekali, ia membagikan resume sebuah buku baru. Dan tak sekedar itu, menawari buku-buku terbaik hasil kurasinya tersebut dalam format PDF. Saya ikut mengkoleksinya, walau sejujurnya tak pernah sempat untuk ikut membacanya....

Mas AE, kalau ukurannya adalah kemewahan harta atau kenikmatan kekuasaan tentu ia jauh sekali dari padanya. Sesuatu tak pernah ia cecap sedikit pun, bahkan cenderung menjauh. Walau saya tahu benar, lingkaran persahabatan dan mantan rekan sekerjanya, nyaris semua telah ikut menikmatinya.

Ia memilih jalan sunyi intelektualisme. Bagi saya ia salah satu tipe pribadi, yang setelah memilih dan menyimpulkan, tak lama kemudian ia lalu meragukannya. Ia adalah orang yang ikut berjuang, mencegah Prabowo Subianto berkuasa, namun kemudian juga sangat mengkhawatirkan oligarkisme yang teguh dijaga terus hidup oleh Jokowi.

Setiap tulisan pendeknya adalah teror yang selalu menghantui saya, mencegah saya berhenti di satu kesimpulan yang sama. Ia mengajarkan untuk tak pernah selesai, dan harus bergerak terus...

Hingga hari ini, di Jakarta 12 April 2020, Sang Penguasa Waktu menghentikannya. Covid-19 hanya faktor yang mempercepatnya. Sugeng kondur mas, saya yakin bagi panjenengan surga dan neraka itu tak terlalu penting: untuk dirindukan atau ditakutkan.

Saya selalu percaya pada tesismu: agar manusia jangan jumawa. seolah tahu siapa Tuhan...

***
.