Dari sisi eksplorasi kesenian, atau katakanlah kualitas dunia pop hiburan kita, mereka hanyalah orang-orang yang beruntung, tapi kemudian celaka.
Mendengar kabar teranyar Nunung, yang terlintas justeru wajah Asmuni, Srimulat. Tak ada yang aneh ketika mendengar Nunung (bersama suaminya), ditangkap Polisi karena pemakaian narkoba (sabu). Apalagi Nunung alumni Srimulat.
Kalimat terakhir dari paragrap di atas, seolah men-judgment Srimulat sebagai sesuatu yang buruk. Maafkanlah, itu yang mengingatkan saya pada Pak Asmuni.
Sebenarnya bosen membahas masalah ini. Saya kenal secara pribadi beberapa orang Srimulat. Pernah bekerja sama, dan mendengar curhatan senior mereka, Pak Asmuni, hingga mewarisi saya dua bundel naskah-naskah Pak Teguh Srimulat yang masih menggunakan mesin ketik.
Di Slipi Jakarta, saya tinggal berjejer rumah dengan pelawak Ndiwek-Njombang itu. Di warung Rujak Cingure Asmuni, hampir tiap malam begadangan mendengar masa-masa kejayaan mereka yang kemudian nyungsep.
Tahun-tahun terakhir menjelang kepindahan ke Mojokerto, Jawa Timur, Asmuni mengaku sudah capek, tak bisa lagi mengendalikan para alumnus Srimulat. Hampir kebanyakan menjadi artis popular, berubah kaya, tapi justeru banyak yang blangsak dalam kehidupan pribadinya. Antara lain terjerat narkoba.
Kedekatan dengan para anggota Srimulat, bukan hanya karena pernah menyutradarai mereka dalam sinetron komedi (1997, ketika SCTV masih di Surabaya), tapi sebelumnya saya ikut dalam proses ‘naiknya kembali’ Srimulat, melalui Indosiar tempat saya bekerja. Waktu itu Kadir dan kawan-kawan kesulitan mendapat sponsor untuk biaya pentas reuni mereka di Senayan (1996).
Penciuman bisnis Anky Handoko, direktur Indosiar, menanggung semua biaya produksi itu. Tapi barter acara itu jadi program TV di Indosiar. Sejak itu, Aneka Ria Srimulat yang lama nyungsep, kembali bersinar.
Mulai dari sanalah, kehidupan para pelawak Srimulat berubah drastis. Dari yang sudah putus asa, menjadi OKB dan hedonis baru. Sibuk mondar-mandir, karena tanggapan seolah tak henti seantero Indonesia. Dalam komedi yang kami garap di Surabaya, menjadikan beberapa top figur Srimulat dalam satu frame, tidaklah mudah.
Sebagai juga anak tobong (bapak saya pemain kethoprak tobong), saya kenal dan tahu persis bau keringat dan kehidupan para seniman panggung model Srimulat. Mendengar ‘kasus’ kayak Nunung itu, jadi biasa rasanya. Judi, minuman beralkohol, dan seks.
Pernah Nunung, yang mestinya besok hari melawak di Mabes AU, tak bisa memenuhi tanggung-jawabnya. Gegara sebelumnya, semalaman habis syuting di Indosiar, bersama geng pelawak Srimulat main kertu ceki (kartu Cina) hingga subuh. Bukan soal begadangannya, tapi acara itu seperti biasa, dibarengi dengan minuman beralkohol, hingga berbotol-botol. Hasilnya, Nunung tak bisa bangun, dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Cerita model-model gitu, banyak. Meski alasan Nunung, ketika ditangkap polisi kemarin, memakai sabu untuk menambah stamina. Alasan klasik yang dulu juga dipakai Rafi Ahmad ketika tertangkap menggunakan narkoba.
Sebenarnya memang agak masuk akal, karena kerja di televisi adalah kerja eksploitasi. Mereka bisa kerja ‘lebih’ dari 24 jam, terus-menerus, di tengah kantuk dan capek, juga dalam kejenuhan wasting time.
Belum lagi di arena syuting, ketika saya memegang acara komedi di sebuah stasiun TV sampai akhirnya tahu, ada para pengedar narkoba yang lalu-lalang. Membantu agar para artis dapat dopping dan syuting lancar? Tidak persis begitu saya kira. Yang pasti karena duit begitu mudah didapat dan berpindah tangan.
Untuk sekali syuting, kelas Nunung di ‘Ini Talkshow’, tidaklah kecil. Bisa mencapai belasan juta rupiah. Kalau itu dilakukan tiap hari, dan bahkan sehari bisa menjalani 2-3 program, wajar jika orang seperti Sule bisa masuk kategori milyarder. Nunung, meski hanya 1 program acara Net TV, tetap tergolong pelawak tajir, duit mengalir kayak air.
Dalam dunia hiburan kita, yang terjadi memang eksploitasi. Stasiun TV mengeksploitasi, artis juga melakukan hal sama. Di luar itu, ada orang yang memanfaatkan kesempatan. Baik kelemahan sistem industri hiburan, maupun sistem ketahanan mental artisnya. Bagi artis sekelas Nunung, atau dulu Polo, Gogon, Tessy, Doyok, mengkonsumsi sabu 2 gram senilai Rp 6 juta, yang akan habis beberapa hari, empleng saja.
Tapi dari sisi eksplorasi kesenian, atau katakanlah kualitas dunia pop hiburan kita, mereka hanyalah orang-orang yang beruntung, tapi kemudian celaka. Tak bisa mengembangkan diri menjadi makin keren dengan kerja-kerja kesenian. Itu juga salah satu sebab, kenapa dunia komedi kita menjadi produk seni papan bawah, walau kini ada stand-up comedy sekalipun.
Mereka terjerembab ke dunia eksploitasi, yang acap jadi racun bagi yang tak tahan uji dan nyali. Apalagi kalau ada seniman yang ngeluh, nggak bisa mikir kalo nggak nenggak.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews