Humanisme Jakob Oetama

Kamis, 18 Oktober 2018 | 10:41 WIB
0
597
Humanisme Jakob Oetama

Catatan di Hari Ulang Tahun Jakob Oetama 27 September 2018.

Masih segar di ingatanku saat pertama diterima Pemimpin Redaksi Harian Kompas ini di ruang kerjanya yang sederhana di Kantor Redaksi di Jalan Palmerah Selatan 26-27 Jakarta sekitar bulan Januari 1975. Ketika melamar kerja di surat kabar tersebut, tentunya.

Ruang kerja Pak Jakob Oetama lebih mirip sebuah laboratorium obat, dengan dinding tertempel tegel keramik putih di seantero ruangan, sampai setengah tembok lebih. Persis di seberang meja kerja Pak Jakob, ada ruangan tertutup semua kaca, persis lab obat. Di dalamnya bukan berisi tabung obat ataupun mikroskop – akan tetapi mesin telex yang mengeluarkan kertas berita dari kantor-kantor berita internasional 24 jam penuh, suaranya berisik. Di samping telex, ada sebuah mesin facsimile.

(Ruang Redaksi Kompas tahun 1975 itu memang bekas pabrik obat Konimex di Palmerah. Kompas menempati rumah obat tersebut dari 1972 sampai 1988. Sebelum itu, 1965-1972 Redaksi Kompas menempati kantor sederhana di Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta Kota. Mesin ketik bergantian, pagi sampai sore untuk sekretariat dan sore sampai malam untuk para wartawan dan staf redaksi).

Di ruang kerjanya waktu itu, pemimpin Redaksi Jakob Oetama tidak duduk sendirian. Di samping kiri dan kanannya berderet meja berukuran lebih kecil-kecil yang ditempati para redaktur. Di deretan kirinya ada Alfons Tarjadi, Marcel Beding, AF Dwiyanto (kesemuanya sudah almarhum), dan di sisi kanannya ada sederetan redaktur Majalah Intisari seperti Helen Iswara, Mary Jane Daniel, Suz Irawati (pemimpin Intisari), Nani Selamiharja dan paling ujung dekat pintu masuk ruang Redaksi, wartawan senior Threes Nio (sudah almarhumah).

Pintu di dekat meja Threes Nio -- yang terbilang antik, dengan mosaik kaca berwarna-warni era 1950-an -- sebenarnya adalah pintu samping gedung Konimex tersebut. Tetapi, pintu samping itu dijadikan pintu utama bagi para wartawan untuk memasuki Ruang Redaksi Kompas. Ruang Redaksi Kompas hanya tersekat ruang kaca tempat mesin telex dan facsimile, dengan mesin ketik yang berjumpalitan di atas meja. (Kalau wartawan menulis pakai pulpen, mesin ketik dijumpalitkan agar meja bisa dipakai landasan menulis).

Pintu depan bangunan Konimex itu juga pakai kaca bermosaik, seperti pintu samping. Tetapi hanya dibuka pada jam kerja siang sampai sore, tempat para sekretaris dan admin redaksi bekerja. Di depan pintu mosaik sekretariat, ada bangunan tambahan dengan pintu kaca lebar-lebar untuk ruang terima tamu redaksi. Di ruang tamu yang kecil itu, sangat sering dilakukan wawancara dengan berbagai nara sumber redaksi.

Humanisme Jakob dan Ojong

Ruang kerja sederhana yang kami tempati selama 16 tahun di Palmerah itu sungguh tempat bersejarah bagi Redaksi Kompas. Di tempat sederhana bekas pabrik obat itu dulu kami membangun semangat kebersamaan. Dan itu dicontohkan dengan posisi duduk Jakob Oetama, yang berada di satu ruangan terbuka dengan para redaktur.

Jakob Oetama menyapa langsung wartawan yang masuk melalui pintu samping, untuk dipanggil di depan mejanya. Sehingga ia tahu, apa perkembangan hari itu di lapangan. Pada perkembangan selanjutnya, ruang lebar di belakang tempat duduk Jakob Oetama, dijadikan ruang “Rapat Redaksi”. Atau ruang privat, jika Jakob Oetama berbincang lebih pribadi dengan tamunya, atau anggota redaksi.

Saat Kompas masih memiliki keterbatasan ruang redaksinya, Jakob Oetama menyapa satu-satu para anggota redaksi yang masuk melalui pintu samping Redaksi. Wartawan ditanyai langsung bagaimana hasil liputannya dari lapangan. Atau, Jakob Oetama bertanya pada para redaktur di deret meja dan kursi di samping kiri kanan tentang keberadaan wartawannya. Tahun 1975-an belum ada rapat rutin harian, rapat Redaksi seperti pada era 1990-an.

Harap dipahami, bahwa pada saat itu komunikasi satu-satunya antara para redaktur dengan para wartawan adalah melalui pesawat telpon. Dari lapangan, wartawan sering melapor perkembangan liputannya melalui umum. Belum ada handphone, apalagi layar sentuh yang dicolek sudah bisa nyambung dengan berbagai belahan dunia. Juga, sumber data masih berupa data kertas, buku-buku di perpustakaan, atau rilis, serta hasil wawancara para wartawan langsung dengan para narasumbernya. Belum ada Mbah Google, yang bisa dicolek setiap saat langsung nongol informasinya, setiap waktu dimanapun seperti masa kini.

“Wartawan Kompas harus bisa menyuarakan orang yang terpinggirkan, orang yang tidak bisa bersuara, dan orang yang tertindas...,” setiap kali Jakob Oetama menegaskan berulang-ulang pada para wartawannya. Pemberitaan Kompas, menurut Jakob Oetama, harus selalu berpusat pada manusianya. Dia rumuskan sebagai “Humanisme Transendental”...

Ekonomi Humanis

Ekonomi perusahaan yang dijalankan pada awal-awal Kompas berdiri, juga “ekonomi yang humanis”. Dan itu dicerminkan dalam wujud “uang makan dari boss sampai pesuruh, jumlahnya sama,” Semisal, sehari seribu rupiah. Baik Pak Jakob Oetama, maupun pemimpin umum Kompas PK Ojong waktu itu, uang makannya sama besar dengan karyawan dan bahkan pesuruh, seribu rupiah pula. Yang membedakan kesejahteraan mereka, tentunya gaji pokok, tunjangan jabatan, gratifikasi, bonus. Tunjangan Hari Raya? Baik karyawan yang beragama Islam maupun Kristen, sama-sama menerima tunjangan baik itu pada hari raya Natal, maupun Lebaran.

“Ekonomi humanis” di awal-awal perusahaan Kompas waktu itu juga tercermin dengan adanya uang yang mungkin hanya ada di Kompas, seperti uang jas hujan (diberikan secara berkala menjelang musim hujan), bensin sepeda motor wartawan digratiskan dan boleh menciduk langsung dari drum di bengkel motor milik kantor. Angsuran sepeda motor langsung dipotong dari gaji, setelah lebih dahulu ditambahkan komponen “angsuran” sejumlah angsuran yang wajib disetor. Statusnya “kendaraan dinas-pribadi” – kendaraan untuk kerja, tetapi boleh dibawa ke rumah dan dipakai setiap saat untuk keperluan pribadi sekalipun.

Demikian pula angsuran pajak. Tidak dipotongkan dari gaji pokok, akan tetapi ditambahkan terlebih dulu sejumlah tagihan pajak, untuk kemudian dipotong lagi untuk potongan pajak. Dulu perusahaan membayarkan pajak bagi karyawannya. Entah sekarang.

Tugas ke luar negeri? Uang saku dan uang makan bersih untuk tugas luar negeri (DLN, dinas luar negeri) -- di luar biaya hotel – per hari US $ 100, dan khusus Jepang US 125. Semua biaya hotel diganti.

Uang menjamu relasi, entah dengan pejabat atau nara sumber (narsum) baik itu artis, seniman, ataupun narsum lain – disediakan oleh kantor. Dulu ada juga yang namanya “uang jas”. Bagi yang memerlukan untuk lobi dengan pejabat, dan memerlukan stelan jas? Setahun sekali wartawan diberi uang jas, diganti kantor. Nyaris semua dijamin, hanya saja tidak boleh menerima amplop yang hubungannya dengan berita. Terima amplop? Ketahuan langsung dipecat.

Atau, kalau memang dari instansi pemerintah ada jatah uang saku untuk dinas luar kota atau luar negeri? Wartawan tinggal melaporkan jumlah uang ke sekretariat redaksi, dicatat jumlah dan dari mana, uang tersebut. Kemudian uang “amplop dari pemerintah” atau instansi swasta itu disimpan di sebuah “kas bersama”. Kas bersama ini sering digunakan untuk sumbangan sosial, yang sulit dipertanggung-jawabkan sebagai anggaran. Tentunya harus seijin pimpinan, dan dirapatkan.

Peran PK Ojong – yang pendiri Kompas bersama Jakob Oetama? Dialah pemimpin umum, yang menggariskan kebijakan keuangan dan bisnis perusahaan. Sosialis dan humanis, tidak mencampuri urusan konten tulisan redaksi, akan tetapi rajin menyapa langsung di lapangan – dari kalangan pesuruh, sampai pimpinan yang ditemui di luar ruangan.

Duet Jakob dan Ojong ini hanya sempat terinterupsi, saat Kompas diberangus penguasa Orde Baru pada 1978 selama dua minggu. Kompas nyaris tidak terbit lagi, kalau saja Jakob Oetama tidak bersedia berkompromi untuk tidak lagi mengritik keluarga istana dan berbagai hal politik, terutama menyangkut pemimpin Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun itu.

Nama PK Ojong sempat beberapa saat tak tampil dalam kotak kolom staf Redaksi, lantaran perbedaan sikap antara PK Ojong dan Jakob Oetama. Namun seiring perubahan politik, perubahan zaman, Kompas pun bertahan melalui berbagai badai politik – sampai saat ini.

Selamat Ulang Tahun hari ini, Pak Jakob Oetama (lahir di Magelang 27 September 1931, 87 tahun lalu). Semoga buah pikiran, dan sikap Humanisme Transendental yang ditanamkan sebagai roh Kompas sejak 1965 akan terus terjaga. Meski dari zaman ke zaman selalu dihempas gelombang perubahan politik, ekonomi, dan juga perubahan pimpinan Kompas sendiri... 

***

Jimmy S Harianto, purnatugas wartawan Harian Kompas.